Mohon tunggu...
Sapraji
Sapraji Mohon Tunggu... Konsultan Politik | Manajemen | Analis Kebijakan Publik | Peneliti | Penulis

Political Consultant, Management, Public Policy Analyst and Founder of IDIS INDONESIA GROUP

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Good Governance: Indah Diatas Kertas, Rapuh di Lapangan

7 September 2025   23:05 Diperbarui: 7 September 2025   23:05 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Good Governance. (Foto: Idisign)

Sudah lebih dari dua dekade Indonesia mengusung jargon good governance. Istilah ini begitu akrab di telinga publik hadir di seminar akademik, tercantum dalam rencana pembangunan, hingga menjadi retorika pejabat ketika bicara soal reformasi birokrasi. Namun, pertanyaannya apakah good governance benar-benar hidup dalam praktik, atau sekadar mantra kosong yang diulang tanpa makna? 

Tulisan ini mencoba menyingkap jurang lebar antara wacana dan kenyataan. Di satu sisi, Indonesia ingin tampil sebagai negara demokratis dengan tata kelola modern, transparan, dan partisipatif. Di sisi lain, masyarakat justru masih menghadapi birokrasi lamban, hukum yang tidak adil, dan ruang partisipasi yang makin menyempit. 

Akuntabilitas yang Rapuh, Transparansi yang Semu 

Prinsip akuntabilitas menuntut pemerintah bertanggung jawab atas kebijakan dan tindakannya. Namun, praktiknya jauh panggang dari api. DPR yang seharusnya jadi pengawas justru sering terjebak konflik kepentingan. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memang rutin menemukan potensi kerugian negara hingga ratusan triliun, tetapi tindak lanjutnya minim. Banyak rekomendasi berhenti di meja birokrasi tanpa konsekuensi hukum.

Ironisnya, lembaga yang dulu menjadi simbol harapan rakyat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini seperti kehilangan taring. Sejak revisi UU KPK 2019, independensi melemah, dan penindakan korupsi makin lamban. Akuntabilitas yang diharapkan menjadi pilar justru semakin rapuh. 

Transparansi juga tak kalah problematis. Indonesia memang punya UU Keterbukaan Informasi Publik, bahkan mengembangkan digitalisasi layanan. Namun, akses data publik masih sering ditutup rapat. Data kemiskinan, lingkungan, hingga kesehatan kerap dipublikasikan setengah hati atau dikemas sesuai kepentingan politik. Digitalisasi birokrasi memang memudahkan layanan administratif, tetapi tidak otomatis melahirkan transparansi substantif. Alih-alih memperkuat kontrol rakyat, data besar (big data) justru terkonsentrasi di tangan pemerintah. 

Akibatnya, transparansi lebih banyak jadi jargon ketimbang kenyataan. Publik dibiarkan menatap dari luar, tanpa benar-benar bisa mengawasi jalannya pemerintahan. 

Partisipasi Publik yang Terkikis, Supremasi Hukum yang Retak  

Salah satu janji utama demokrasi adalah partisipasi rakyat. Namun, di Indonesia partisipasi kerap sebatas formalitas. Musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) misalnya, sering hanya menjadi daftar usulan tanpa realisasi. Konsultasi publik atas rancangan undang-undang pun dilakukan seadanya, lebih mirip formalitas untuk menggugurkan kewajiban.

Lebih menyedihkan lagi, kritik warga di ruang digital sering dianggap ancaman. Pasal karet UU ITE masih menjadi alat ampuh untuk membungkam suara kritis. Alih-alih dipandang sebagai kontribusi, kritik warga justru diposisikan sebagai gangguan. Partisipasi publik pun makin terkikis, digantikan partisipasi semu yang hanya melegitimasi keputusan elite. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun