Mohon tunggu...
Santi Titik Lestari
Santi Titik Lestari Mohon Tunggu... Mari menulis!!

Menulis untuk mengawetkan ide dan berbagi ....

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Suami dan Istri Bekerja: Mengurai Persepsi dan Realitas

29 Mei 2025   14:31 Diperbarui: 29 Mei 2025   14:31 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Shutterstock

Sepertinya terasa ideal sekali ketika melihat sebuah keluarga yang perannya sudah sesuai porsinya. Suami bekerja dan istri mengurus rumah serta anak, dan memastikan kebutuhan keluarga tercukupi. Jika ada sesuatu yang kurang, tinggal bilang ke suami dan dia akan memenuhinya. Belum lagi ketika keluarga butuh piknik, selalu ada waktu (dan uang) untuk bisa melakukannya. Ditambah lagi ketika istri butuh curhat, suami ndengerin. Begitu pula sebaliknya. Ketika anak menginginkan sesuatu, orang tua pasti bisa mewujudkannya. Tak ketinggalan ketika anak belajar, istri selalu bisa mendampingi. Atau, ketika istri sedang ada keperluan, suami bisa gantian mendampingi anak belajar. Oh, indahnya.

Faktanya tidak semua keluarga seideal itu. Bahkan, ada yang perannya tidak dilakukan dengan cukup baik, ya karena banyak faktor penyebab tentunya. Menyoroti keluarga yang suami istri sama-sama bekerja, juga pasti banyak alasannya. Bisa karena ekonomi keluarga memang tidak mencukupi, jadi istri harus bekerja. Bisa juga karena istri memang suka bekerja karena merasa sayang dengan jejang pendidikan yang pernah diraihnya. Bisa juga karena istri bosan di rumah, jadi kerja aja biar bisa keluar rumah dan bertemu banyak orang. Mungkin masih ada alasan-alasan lainnya ...

Yang menggelitik pikiran saya bukanlah alasannya, tetapi bagaimana respons suami dengan istri yang juga bekerja. Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan suami/kaum pria, melainkan sekadar mencurahkan apa yang menggelitik di pikiran ini beberapa pekan terakhir. Sekadar mengamati, mendengar curhatan, dan mengalami sendiri (karena saya juga bekerja), memang muncul respons beragam terkait suami yang istrinya juga bekerja. Sebagian besar pasti suami tertolong karena ada yang membantunya dalam perekonomian keluarga. Selebihnya, mungkin respons suami tak selalu sama. Namun, dibalik setiap respons pasti ada hal yang mendasarinya, entah faktor lingkungan, karakter/sifat, relasi dalam keluarga, dll..

1. Rekan sekerja yang seimbang.
Karena suami istri sama-sama bekerja, rasa gotong royong makin kuat. Tidak ada rasa menuntut yang berlebihan satu sama lain, tetapi suami istri bisa menjadi rekan sekerja yang saling melengkapi. Apa pun kebutuhan dalam keluarga bisa dipikirkan dan ditanggung bersama. Tidak peduli suami dan istri gajinya berapa, intinya penghasilan dipakai untuk kesejahteraan keluarga dan lainnya sesuai kebutuhan.

2. Membanggakan pasangan.
Suami istri yang sama-sama bekerja bisa saling mendukung kehidupan pribadi masing-masing. Suami juga akan bangga kalau istrinya berkarier dan berhasil. Tidak hanya secara finansial akan saling mendukung, tetapi sebagai partner hidup tentu juga merasa bangga karena bisa maju bersama-sama.

3. Berat sebelah.
Karena istri juga bekerja, ada suami yang malah sedikit demi sedikit mulai melimpahkan tanggung jawabnya ke istri. Suami yang seharusnya menjadi kepala rumah tangga dan memenuhi kebutuhan keluarga, malah mulai melepas tanggung jawabnya. Pelan-pelan beban keluarga berpindah ke pundak istri. Suami merasa sayang dengan gajinya yang harus keluar banyak untuk keluarga. Perlahan, suami hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu, selebihnya istrinya yang harus memikirkan. Bisa jadi beban pihak istri malah semakin berat. Lama-lama, istri merasa keberatan dengan semua tanggung jawab ini dan mulai protes.

4. Alasan Berhemat, padahal pelit.
Tidak jarang, ketika suami istri sama-sama bekerja, suami mulai membatasi pengeluarannya untuk urusan keluarga. Suami masih bertanggung jawab untuk kebutuhan-kebutuhan mendasar (misal: makan harian), tetapi untuk kebutuhan lainnya mulai "mundur perlahan", apalagi kebutuhan piknik/menyenangkan keluarga. Alih-alih pakai kata "berhemat", sebenarnya suami memang pelit. Suami tidak akan mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak dia minati. Jangankan piknik, menawari istri dan anak-anaknya beli camilan saja mungkin tidak dilakukannya. Yang akan dipikirkannya adalah kapan dia mau beli sesuatu untuk dirinya. Anehnya, sesuatu yang ingin dia beli itu diceritakan ke anak dan istrinya, yang notabene mereka ingin ditraktir sekali saja.

5. Menjadi pemain yang kalah.
Beda lagi dengan karakter ini. Suami istri sama-sama bekerja, tetapi ketika keduanya melihat ada kebutuhan mendesak dalam keluarga, suami maunya jadi pemain yang kalah. Apalagi kalau hal itu harus mengeluarkan uang, lebih baik diam saja dan pura-pura tidak tahu. Suami berharap istrinya saja yang ambil tindakan lebih dahulu. Istrinya saja yang mengeluarkan uang untuk kebutuhan mendesak itu. Istrinya saja yang berinisiatif.

6. Jurus mengasihani diri.
Gaji istri yang lebih besar dari suami tidak selalu membuat suami punya respons yang sama. Ada yang merasa biasa saja, ada yang ikut senang dan bersyukur. Ada juga lho yang minder. Parahnya, ada yang malah memanfaatkan situasi ini dengan jurus mengasihani diri. Ketika kebutuhan-kebutuhan keluarga harus dicukupi, suami selalu akan bilang: Kamu saja dulu, aku 'kan nggak ada uang lebih; Kamu saja yang cukupi dulu, aku kan uangnya tinggal ini (hanya alasan, padahal uangnya belum dipakai sama sekali untuk keluarga), dll.. Sebenarnya suami masih punya uang cukup, tetapi karena mentalnya mental mengasihani diri, ya jadinya selalu akan mengeluh dan mengeluh kurang, atau merasa tidak punya uang, padahal masih punya uang.

7. Mencari kesenangan lain.
Bagian ini paling menyakitkan ketika suami mulai melirik kesenangan-kesenangannya yang lain, dan mulai mengabaikan keluarga. Merasa istrinya juga bekerja dan ada pendapatan tambahan, suami mulai cari celah-celah untuk menyenangkan dirinya sendiri. Awalnya, mungkin tidak terasa, tetapi lama-kelamaan bisa merugikan keluarga karena pastilah kesenangan-kesenangannya akan menjadi hal prioritas dibandingkan kebutuhan esensi dalam keluarga. Akhirnya, istri jugalah yang harus menanggungnya.

8. Abai terhadap kebutuhan istri.
Istri yang bekerja biasanya dianggap istri yang mandiri. Namun, istri tetaplah istri yang perlu dikasihi dan diberi perhatian. Walau sudah memiliki gaji sendiri, suami tetap perlu untuk peduli dengan kebutuhan istrinya. Perlu apa? Minimal ditanyailah. Atau, ngobrol barenglah. Gaji itu bukan segalanya. Uang apalah artinya tanpa kepedulian. Sirna cepat seperti uap. Kalau suami tidak pernah peduli lagi dengan istrinya, bahkan istri harus mengusahakan sendiri kebutuhan-kebutuhannya, ya lama-lama hidup sendiri-sendiri aja. Ngapain hidup bersama kalau hanya untuk numpang tidur berdua di rumah, tanpa ada rasa ingin peduli dan mengerti. Istri ditanyai aja juga sudah senang, ada yang memedulikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun