Mohon tunggu...
Santi Titik Lestari
Santi Titik Lestari Mohon Tunggu... Penulis - Mari menulis!!

Menulis untuk mengawetkan ide dan berbagi ....

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa Indonesia dalam Kancah Kepentingan

5 Oktober 2019   12:25 Diperbarui: 5 Oktober 2019   12:44 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesalahan Penulisan Imbuhan | Sumber: kaskus.id

Ketika belajar bahasa Indonesia pada masa-masa sekolah dahulu, entah kenapa tidak ada kesan istimewa untuk mata pelajaran ini. Kadang, yang terlintas malahan rasa bosan dan kurang berminat. Namun, anehnya, pernah suatu kali, rapor saya mendapatkan nilai 9 untuk bahasa Indonesia. Senang sih sekalipun saya tidak tahu pasti apa yang menyebabkan saya mendapat nilai segitu. Saya hanya mendengarkan, mencatat, dan mengerjakan sesuai dengan apa yang saya pahami.

Berada dalam lingkungan yang memaksa saya untuk memahami bahasa Indonesia bukanlah cita-cita saya. Bermula dari SMU yang ternyata saya mendapat jurusan bahasa, yah mau tak mau bertemu lagi deh dengan bahasa ini, lebih intens lagi. Ketika diterima di salah satu perguruan tinggi negeri, ternyata jurusan Sastra Indonesialah yang menerimaku .. haha. Sekalipun ada rasa sedih, duh kenapa tidak diterima di sastra yang lainnya yang sudah saya pilih juga.

Bahasa Indonesia Itu Biasa. Masa?

Kesan pertama biasanya menggoda, tetapi tidak pada masa kuliah. Kesan pertama biasa saja. Kesan kedua malah aneh. Melirik banyaknya mata kuliah yang aduhai ... apa ini? Sastra mistik? Filologi? Sastra Feminis? Linguistik? Semantik? Sintaksis? Rasanya makin tidak yakin. Ketidakyakinan ini menjadi teman setia semasa kuliah. Hanya bermodal gamang, tetapi tetap mau mendengarkan, mencatat, dan mengerjakan tugas, eh ... nilainya nggak mengecewakan. Lagi-lagi, sebenarnya saya tidak terlalu menjiwai apa yang saya pahami. Saya hanya menghafal. Pada masa tertentu, semua itu akan gampang pudar dan saya tak ingat lagi.

Melewati berbagai mata kuliah, bahasa Indonesia itu masih biasa dalam pandangan saya. Namun, saya penasaran. Kalau memang biasa saja mengapa ada jurusan khusus semacam ini, termasuk sastranya. Akhirnya, yang membuat saya sedikit menyanjungnya adalah ketika membaca puisi-puisi sastrawan Indonesia. Mulai dari Chairil Anwar, Goenawan Mohammad, Taufik Ismail, Sapardi Djoko Damono, sampai Remy Silado, yang salah satu bukunya "Puisi Mbeling" pernah saya jadikan bahan skripsi dengan metode penelitian Semiotika.

Setelah membaca puisi-puisi mereka, ada yang menggugah perasaan dan pikiran saya. Puisi seindah ini tak hanya buah perenungan dan pergulatan diksi penyairnya, tetapi juga nilai estetik dari diksi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia punya emas yang berkilauan berupa kata-kata yang sarat makna ketika kita bisa menggunakannya dalam konteks, suasana, nilai, dan ekspresi yang tepat. Sedikit merenungkan hal ini, akhirnya saya mendapatkan sedikit pencerahan tentang kebosanan dan ketidaktertarikan saya pada bahasa Indonesia.

Saya sadar bahwa selama itu, saya hanya memandang bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran, bukan sebagai sebuah keindahan. Bahasa Indonesia ternyata bukanlah bahasa yang biasa, melainkan bahasa yang sarat makna. Dengan tanpa mengabaikan kaidahnya, bahasa Indonesia bisa membuat karya-karya sastra bernilai sangat estetis dan meninggalkan kesan bagi pembacanya.

Masyarakat Indonesia Punya Tanggung Jawab terhadap Bahasa Indonesia

Sumber gambar: wasbang9.files.wordpress.com
Sumber gambar: wasbang9.files.wordpress.com
Selain sarat makna, bahasa Indonesia juga dipakai dalam berbagai bidang, dalam berbagai kepentingan. Hanya, setiap kepentingan ini kadang juga tidak begitu memedulikan bagaimana seharusnya memperlakukan bahasa Indonesia. Dalam bidang bisnis, misalnya, penggunaan bahasa Indonesia pasti disesuaikan dengan tujuan/sasaran dari bisnis tersebut, yang pasti bertujuan untuk persuasif. Penggunaan bahasa Indonesia baik dalam nama produk, bahasa promosi, maupun slogan, biasanya tidak ditulis sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Penulisan dibuat semenarik mungkin, sekalipun secara kaidah penulisan bahasa Indonesia tidak benar, asal itu menarik, mudah diingat, persuasif, dan mengena, itulah yang dipilih.

Ketika bepergian, cobalah mengamati ada berapa banyak nama toko, produk, slogan, baliho, teks iklan, dan sejenisnya, yang kebanyakan ditulis sesuai tujuan/kepentingan bidangnya.Selain itu, kesalahan penulisan yang paling sering saya jumpai adalah penulisan imbuhan "di" diikuti kata kerja, dan kata yang berimbuhan "di" yang menyatakan keterangan tempat.

Semua imbuhan "di" diikuti kata kerja harus ditulis serangkai, misal: dimasak, dibeli, dicuci, ditulis, ditangkap, dan lain-lain. Semua kata berimbuhan "di" yang menyatakan keterangan tempat harus ditulis secara terpisah, misal: di rumah, di sekolah, di sungai, di lapangan, di pasar, di halaman, di kota, di piring, dan sejenisnya. Kesalahan penulisan semacam ini banyak sekali dijumpai dalam bidang apa pun, termasuk surat-menyurat dalam instansi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun