Perubahan tidak harus besar. Saya memulainya dari tindakan sederhana: menyimpan handphone di dalam tas, mematikan notifikasi saat perkuliahan berlangsung, dan mencatat secara manual agar tetap terhubung dengan pembahasan. Tindakan kecil ini ternyata memberi dampak besar terhadap kualitas belajar dan rasa percaya diri saya di kelas.
Saya juga mulai melihat dosen bukan semata penyampai materi, tetapi sebagai mitra intelektual yang sedang berusaha mentransfer pengalaman dan pemikiran. Menghargai kehadiran dosen bukan sekadar duduk diam, melainkan menghadirkan pikiran secara utuh.
Lebih jauh dari itu, saya menyadari bahwa mengelola perhatian adalah bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri. Belajar bukan hanya tentang nilai akhir, tetapi tentang bagaimana kita membentuk karakter: disiplin, menghormati, dan menyadari kapan harus menundukkan layar demi membangun pemahaman yang lebih bermakna.
Pilihan Kecil, Dampak Besar
Handphone tidak salah. Namun, ketika kehadirannya menjadi lebih dominan daripada proses berpikir, mendengar, dan menyimak, maka kita perlu bertanya: apakah kita sedang belajar, atau sekadar duduk dan menunggu waktu berlalu?
Sebagai mahasiswa, kita punya kuasa untuk memilih. Memilih hadir secara utuh, atau hadir setengah hati. Memilih memberi perhatian kepada dosen yang sudah mempersiapkan materi, atau membiarkan notifikasi mencuri waktu kita. Di tengah derasnya arus informasi dan hiburan, hadir dengan penuh kesadaran adalah bentuk etika sekaligus keberanian. Karena sesungguhnya, dalam setiap sesi belajar, yang sedang kita bangun bukan hanya pengetahuan tetapi diri kita sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI