Mohon tunggu...
Santa Kartika Pebriani Silaban
Santa Kartika Pebriani Silaban Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Katolik Santo Thomas Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Berkomitmen menyajikan perspektif unik terhadap berbagai isu, menghadirkan sudut pandang kritis dan analitis untuk memperkaya wawasan pembaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Saya Juga Pernah Lebih Memilih Handphone daripada Dosen

10 Juli 2025   11:53 Diperbarui: 10 Juli 2025   11:53 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya masih mengingat dengan jelas momen ketika duduk di ruang kelas, seolah-olah menyimak, padahal perhatian saya lebih banyak tertuju pada handphone yang terletak di pangkuan. Sambil sesekali mengangguk, saya membuka media sosial, membalas pesan, dan menelusuri berbagai hal yang bahkan tidak relevan dengan topik perkuliahan hari itu. Kala itu, saya merasa tidak ada yang salah. Namun semakin hari, saya mulai sadar: saya hadir secara fisik, tetapi absen secara mental. Saya mulai mempertanyakan, apakah saya benar-benar menghargai proses belajar?

Ternyata saya tidak sendiri. Pemandangan mahasiswa yang sibuk dengan handphone di tengah perkuliahan kini menjadi hal yang sangat umum. Bahkan, kondisi ini sering dianggap wajar, karena dilakukan secara massal. Sayangnya, yang perlahan hilang bukan hanya perhatian terhadap materi, tetapi juga etika dasar menghormati ruang belajar.

Normalisasi Distraksi: Ketika Perhatian Bukan Lagi Prioritas

Hari ini, sangat mudah menjumpai mahasiswa yang menunduk bukan untuk mencatat, melainkan untuk membaca chat atau menyaksikan konten di media sosial. Situasi ini telah menjadi bagian dari budaya digital modern. Handphone tidak lagi sekadar alat bantu, tetapi telah menjadi pusat perhatian, bahkan di ruang yang seharusnya didedikasikan untuk menyerap ilmu.

Alasannya beragam: materi yang dirasa membosankan, dosen yang dianggap kurang interaktif, atau sekadar ingin mencari pelarian dari rutinitas akademik yang terasa berat. Namun di balik itu, ada krisis yang lebih dalam krisis dalam menata ulang makna hadir sebagai pembelajar. Kehadiran fisik seringkali dijadikan alibi bahwa proses belajar sudah dijalankan, padahal esensinya belum tentu terjadi.

Yang mengkhawatirkan, ketergantungan terhadap handphone ini tidak lagi memunculkan rasa bersalah. Justru, ketika ada mahasiswa yang fokus mendengarkan dan mencatat, ia bisa dianggap "terlalu serius". Ketika gangguan menjadi norma, maka fokus akan dianggap aneh. Inilah tantangan etika baru yang mulai menghantui ruang kelas.

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari budaya digital yang membentuk ulang cara kita mengelola perhatian. Handphone menawarkan stimulus cepat, informasi singkat, dan hiburan yang tersedia setiap saat. Berbeda dengan proses pembelajaran yang menuntut kesabaran, konsentrasi, dan keterlibatan aktif. Otak kita, yang terbiasa dengan kecepatan dunia digital, menjadi kesulitan untuk bertahan dalam ritme belajar yang lebih lambat dan mendalam.

Secara psikologis, handphone memberi ilusi produktivitas dan koneksi. Membalas pesan, membuka materi lain, atau membaca artikel sambil kuliah, seringkali terasa seperti "multitasking yang wajar". Padahal, dalam kenyataannya, perhatian kita menjadi terpecah dan tidak optimal. Proses belajar yang seharusnya bersifat fokus dan mendalam, tergantikan oleh pola pikir cepat konsumsi dan cepat lupa.

Saya menyadari sendiri bahwa ketika saya terlalu sering mengandalkan handphone di kelas, saya bukan hanya kehilangan pemahaman, tapi juga melemahkan kebiasaan berpikir kritis. Ketika distraksi menjadi dominan, kapasitas untuk menyimak dan bertahan dalam perenungan intelektual juga ikut terkikis.

Menghidupkan Kembali Etika Belajar di Era Digital

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun