Menghidupkan Dakwah Walisongo di Era Digital: Antara Warisan Spiritual dan Kreativitas Zaman
Dakwah Walisongo bukan sekadar bagian dari sejarah Islam Nusantara---ia adalah model peradaban yang membaurkan spiritualitas, budaya, dan strategi sosial dalam satu harmoni. Di era digital ini, semangat Walisongo perlu dihidupkan kembali dalam format yang relevan: kreatif, terbuka, dan tetap bersandar pada akar hikmah Islam.
Dakwah yang Membumi dan Membuka Hati
Walisongo berdakwah bukan dengan kekuasaan, tapi dengan kelembutan. QS. An-Nahl: 125 menjadi fondasi: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan nasihat yang baik, dan berdialoglah dengan cara yang paling baik." Â
Sunan Kalijaga, misalnya, menghadirkan gamelan Sekaten (dari syahadatain) dan tembang-tembang bertema spiritual sebagai media yang meresap ke dalam jiwa masyarakat Jawa.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin (Darul Ma'rifah, Beirut, 2005, Jilid 2, hlm. 342--345) menekankan pentingnya al-hilm---kelembutan hati sebagai senjata utama dakwah. Ibnul Hajj al-Maliki dalam Al-Madkhal (Darul Fikr, Kairo, 1981, hlm. 112--115) bahkan menyarankan para dai untuk memahami adat dan budaya sebelum menyampaikan Islam.
Seni dan Simbol sebagai Bahasa Dakwah
Dakwah Walisongo merayakan estetika: wayang, batik, tembang, dan bahkan baju takwo (taqwa) dijadikan simbol-simbol Islam yang membumi. Risalah Qusyairiyah karya Imam Al-Qusyairi (Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1990, hlm. 221--223) menyebut simbol sebagai "cahaya tersirat" yang membantu manusia memahami nilai-nilai tinggi.
Agus Sunyoto melalui Atlas Walisongo (Iman Publishing, Jakarta, 2012, hlm. 48--59) mengurai strategi sinkretisme kultural yang dijalankan Walisongo---suatu bentuk indigenisasi dakwah yang elegan dan berjangka panjang.
Akhlak Sosial dan Keteladanan Nyata
Sunan Drajat dikenal dengan prinsip mikul dhuwur mendhem jero---memuliakan sesama dan menyembunyikan aib. Beliau mendirikan pesantren di pesisir Lamongan dan aktif membela masyarakat miskin serta korban penjajahan.