Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan induk hukum positif di Indonesia. KUHP merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht yang merupakan hukum kolonial Belanda dan masih digunakan hingga saat ini.
Wacana Pemerintah dan DPR berencana merevisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sudah bergulir sejak lama. Revisi KUHP sudah diwacanakan sejak tahun 1993, kemudian revisi KUHP ini bergulir lagi pada tahun 2014 hingga saat ini menjadi Program Prioritas Nasional (Prolegnas). Â Salah satu perluasan pasal adalahterkait kesusilaan yang akan meregulasi zina, pencabulan, dan homoseksual. Dalam RKUHP terkait pasal kesusilaan yang sedang dibahas di DPR, terdapat rumusan baru yang memicu perdebatan karena berdampak signifikan bagi warga Indonesia. Pasal 484 ayat 1 huruf e dan Pasal 484 ayat 2 berpotensi mengkriminalisasi korban tindak pidana perkosaan.
Penambahan kedua pasal RKUHP ini menuai pro kontra di masyarakat karena terbaginya dua pandangan. Pasal zina ini dari sudut pandang DPR dimaksudkan mengamalkan pancasila dan mencegah dekandensi moral dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Sehingga perluasan pasal zina ini dikategorikan pelanggaran dan dapat dipidana (nasional.republika.co.id, 2018). Akan tetapi, protes bermunculan karena pasal ini justru dirasa rentan melanggar dan mengkriminalisasi hak-hak privat. Sudut pandang DPR dirasa menyempitkan satu definisi zina dari satu budaya diterapkan secara universal.
Pro kontra perluasan pasal zina dalam RKUHP meletakkan zina pada kutub berbeda, diantaranya adalah melihat bagaimanapun bentuk zina. Pasal zina ini dari sudut pandang DPR dimaksudkan mengamalkan pancasila dan mencegah dekandensi moral dalam tatanan kehidupan bermasyarakat (Nasional.republika.co.id, 2018). Sehingga perluasan pasal zina ini dikategorikan pelanggaran dan dapat dipidana. Melalui pasal sebelumnya, apabila persetubuhan di luar suami/istrinya dalam ikatan pernikahan dapat dipidana. Hal ini dapat berlaku guna menjamin institusi pernikahan. Dengan adanya kepentingan publik untuk memiliki jaminan terhadap institusi pernikahan, maka membutuhkan sanksi dari negara untuk perselingkuhan (zina) (Shekri, tanpa tahun).
Negara dan masyarakat masih melihat bahwa pemberian sanksi negara atas zina (dalam konteks perselingkuhan dalam pernikahan) mendorong pencegahan atas tindakan tersebut (Miller, 2017). Pendapat lainnya mengenai zina diantaranya adalah pendapat MUI (mahkamahkonstitusi.go.id,2016) larangan zina mencegah timbulnya kekacauan garis keturunan anak atau nasab dan mencegah penyebaran penyakit yang disebabkan oleh kebiasaan seks bebas.  Bahkan larangan zina dapat diperluas tidak semata-mata antara laki-laki dan perempuan di luar perkawinan, melainkan juga hubungan seksual sesama jenis. Laki-laki dengan laki-laki, dan hubungan seks sesama perempuan atau sihak, bahkan hubungan seks dengan binatang, dan hubungan seks dengan perkosaan
Akan tetapi, pandangan lain yaitu perzinahan dan hubungan sesama jenis, Â terutama di luar konteks zina perselingkuhan dalam pernikahan masih belum menemui justifikasi sebagai sebuah pelanggaran dibandingkan sebagai urusan privat, dimana sanksinya dikenakan secara sosial tanpa memerlukan sanksi dari negara. Hart dalam Shekri berpendapat bahwa "Not everything in a person's morals should be the concern) of the law, only his disposition to violate the rights of other parties.". Terkhusus dalam hubungan tanpa ada ikatan perkawinan, dengan tanpa paksaan, tidak ada alasan untuk menjadikan hal tersebut sebagai pelanggaran hak pihak lainnya. Apabila hal tersebut terjadi, sanksi dari negara menjadi tidak dibutuhkan.
Perluasan pasal zina mengkategorikan hubungan antara dua orang yang tidak terikat institusi pernikahan sebagai sebuah pelanggaran (atas hubungan privat, bukan dalam bentuk pemaksaan/ perkosaan/ kekerasan seksual). Â Dimana tidak ada hak orang lain yang tercederai dan tidak perlu dipidana oleh negara. Polemik yang berkembang di masyarakat menunjukkan bahwa terdapat perbedaan definisi zina dan norma yang dipakai, sehingga justru dapat berbalik mencederai urusan privat yang juga diselesaikan secara privat bukan melalui sanksi negara. Problem revisi pasal kesusilaan akan muncul bila satu definisi zina dari satu budaya diterapkan secara universal ditambah macam-macam tafsir politik yang mendatangkan pertarungan kepentingan.
Rekomendasi:
Penyempitan pasal 484 dan 495 untuk pelaporan dan dengan syarat khusus
Urgensi pendefinisian zina dan justifikasi pemberian sanksi pidana dalam kedua pasal ini perlu dipertegas antara batasan hal yang perlu diselesaikan negara ataupun menjadi domain privat warga negara. Alternatif penghapusan atau penyempitan dari pasal 484 dan 495 dapat dilakukan, misalkan dapat dilaporkan oleh anak, istri/suami, dan orang tua serta prasyarat khusus lainnya yang menyebabkan terganggunya hak pihak lain.
Penyempitan pasal 484 dan 495 dengan pengecualian untuk usia anak