Mohon tunggu...
sangaji bagus nugroho
sangaji bagus nugroho Mohon Tunggu... Guru Vokasi Ilmu dan Teknologi Pangan

guru ilmu dan teknologi pangan pemerhati pendidikan dan dunia Islam

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ikhlas Itu Bukan Lupa, Tapi Lega

11 Agustus 2025   20:29 Diperbarui: 11 Agustus 2025   20:29 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ihklas (sumber: pantiasuhanalhakim.org)

Pernah nggak sih, kita merasa sudah ikhlas, tapi ternyata masih suka nyesek kalau ingat kejadian itu lagi? Entah itu soal pekerjaan, hubungan, atau hal-hal kecil yang bikin hati sempat berat. Ternyata, ikhlas itu bukan soal melupakan, tapi soal menerima. Bukan soal pura-pura nggak peduli, tapi soal berdamai dengan kenyataan. 

Ada satu kutipan yang bisa menguatkan kita:

"Ikhlas itu ketika kamu bisa tersenyum, bahkan setelah kehilangan."
Kalimat sederhana, tapi dalam. Karena ikhlas bukan soal melupakan, tapi soal menerima. Bukan soal menyerah, tapi soal melepaskan dengan lapang dada.

Ikhlas itu seperti melepaskan genggaman tangan dari sesuatu yang memang bukan milik kita lagi. Awalnya berat, tapi lama-lama terasa ringan. Bukan karena kita kehilangan, tapi karena kita sadar: memegang terlalu erat justru menyakitkan.

Banyak orang mengira ikhlas itu pasrah. Padahal, ikhlas itu aktif. Kita tetap berusaha, tetap berdoa, tapi hasilnya kita serahkan dengan lapang dada. Kalau hasilnya sesuai harapan, kita bersyukur. Kalau tidak, kita belajar. Dan dari situ, kita tumbuh.

Menjadi orang tua, guru, atau siapa pun yang punya tanggung jawab terhadap orang lain, sering kali diuji dalam hal keikhlasan. Saat anak tidak menghargai usaha kita, saat murid tidak paham meski sudah dijelaskan berkali-kali, atau saat kerja keras kita tidak terlihat. Tapi justru di situlah seni ikhlas diuji: apakah kita tetap memberi tanpa berharap balasan?

Ikhlas bukan berarti tidak boleh kecewa. Tapi setelah kecewa, kita memilih untuk tidak larut. Kita memilih untuk tetap berjalan, tetap tersenyum, dan tetap percaya bahwa semua ada waktunya.

Karena pada akhirnya, ikhlas itu bukan tentang orang lain. Tapi tentang kita sendiri. Tentang bagaimana kita menjaga hati tetap bersih, meski dunia kadang kotor. Tentang bagaimana kita tetap tenang, meski hidup tak selalu ramah.

Dan ketika kita benar-benar ikhlas, rasanya seperti... lega. Seperti beban yang perlahan turun dari pundak. Seperti napas yang bisa dihela lebih panjang. Seperti hati yang kembali lapang.

Ikhlas memang tidak instan. Tapi ia bisa dilatih, sedikit demi sedikit. Dan saat kita berhasil, kita akan tahu: ternyata melepaskan itu tidak selalu menyakitkan. Kadang, justru itulah yang menyelamatkan.

Kalau kamu pernah punya pengalaman tentang ikhlas yang mengubah cara pandangmu, yuk ceritakan di kolom komentar. Siapa tahu, kisahmu bisa jadi kekuatan untuk orang lain yang sedang belajar melepaskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun