Mohon tunggu...
Dhul Ikhsan
Dhul Ikhsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pribadi

"Confidence is fashion" Follow, coment, and like IG : @sandzarjak See you there.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Audisi Badminton dan Hegemoni Brand Rokok

10 April 2019   00:05 Diperbarui: 10 April 2019   20:01 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Emang rokok haram?"

Pertanyaan itu menjadi pertama dari diskusi saya dengan seorang aktivis Paud. Tema kala santap malam di sebuah restoran itu mengenai program company social responsibility perusahaan rokok. Lawan bicara saya seorang wanita kesehariannya bersama anak-anak di bawah 7 tahun; dan saya cukup terkejut juga karena ia tak keberatan atas kehadiran brand rokok di sekitar anak-anak.

Perihal haram/halal sebuah produk menjelaskan bahwa rokok pun masuk ke dalam ranah keagamaan. Jika dalam pandangan agama di suatu negara bernama Indonesia rokok masih sedemikian ambigu, apakah peran pemerintah mejadi sedemikian efektif?

Menurut Bagja Hidayat, editor senior Tempo, tidak ada satu pun rejim di negeri ini yang berani mengusik bisnis rokok Indonesia.

"Pada zaman SBY sempat ada upaya pengawasan rokok sebagai zat adiktif. Tapi tiba-tiba menguap. Di zaman Jokowi bahkan tidak ada usaha itu sama sekali," demikian ia berucap.

Pendapatnya itu ia sampaikan dalam sebuah sesi kajian "Tangkis Eksploitasi Anak" (31/3) yang bertempat di Perpustakan Kemendikbud, Jakarta Selatan. Program yang diinisiasi oleh Yayasan Lentera Anak itu juga menundang pakar hipnoterapi, Liza Djaprie.

Setidaknya, ada suatu kesepakatan bersama di mana saya, wanita teman diskusi saya yang berprofesi pengajar Paud itu, pembicara "Tangkis Eksploitasi Anak", dan segenap penduduk Indonesia menyatakan bahwa rokok tidak baik bagi kesehatan. Maka, jika tidak baik bagi kesehatan tubuh seharusnya benda tersebut dijauhi masyarakat, wa bil-khusus dari anak-anak.

Lahirnya Peraturan Pemerintah bernomor 109, pasal 47, di tahun 2012 memberikan proteksi itu kepada anak-anak dari pengaruh rokok, mulai dari produk hingga turunannya. Bunyinya seperti ini :

"Setiap penyelenggaraan kegiatan yang disponsori oleh Produk Tembakau dan/atau bertujuan untuk mempromosikan Produk Tembakau dilarang mengikutsertakan anak di bawah usia 18 (delapan belas) tahun."

Aturan ini sangat jelas redaksinya, dan mudah dipahami. Namun jika menempatkan diri sebagai pemilik brand rokok, peraturan tersebut tentu menjadi sebuah isu. Lalu di sinilah peran pemilik pabrik untuk bersikap ganda. Sebagai  warga negara ia harus taat aturan. Tetapi sebagai pebisnis, mereka harus cari cara produk mereka tetap dikenal sebagai Top of Mind Brand. Contoh yang paling nyata adalah  Audisi Badminton Djarum 2018 yang melibatkan 5.957 anak-anak di kisaran umur 6-15 tahun.

Audisi ini menjadi begitu menarik karena pihak Djarum langsung bersikap defensif atas temuan Yayasan Lentera Anak, dan usahanya bersama Komnas HAM anak yang menyatakan Djarum telah mengeksploitasi ribuan anak-anak demi keuntungan pemilik pabrik.

Kegiatan Seminar Tangkis Eksploitasi Anak. Dok by Lentera Anak
Kegiatan Seminar Tangkis Eksploitasi Anak. Dok by Lentera Anak
Upaya ini digambarkan sebagai sebuah strategi penggalangan massa. Anak-anak dan para orangtua yang kehilangan cara menyalurkan bakat buah hati mereka datang berbondong-bondong mendaftarkan diri kepada panitia yang berlindung di balik nama yayasan. Lembaganya sendiri justru sama dengan nama brand produknya. Font-nya sama. Ejaannya sama. Dibaca pun sama : Djarum. Mereka menyebutnya sebagai program Corporate Soscial Responsibility. Sangat dermawan. Sayangnya, tak taat aturan.

Di era bisnis modern, persaingan usaha adalah perebutan citra masyarakat. Artinya, pikiran manusia menjadi ladang para pebisnis untuk memonopoli ingatan konsumen. Maka dari itu, Yayasan Lentera Anak melakukan survey terhadap lebih dari 514 peserta yang terlibat di dalam audisi olahraga yang diadakan Djarum. Sebanyak 350 responden, atau setara 68 persen mengintepretasikan nama Djarum sebagai brand image produk rokok. Artinya, kegiatan tersebut masih mumpuni melegitimasi nama brand mereka sebagai produk rokok di dalam ingatannya.

Lebih agresif lagi, Djarum sebagai sebuah logo dicetak sangat besar pada bagian depan kaos peserta. Lentera Anak juga melakukan perbandingan dengan nama "Indonesia" yang digeser ke belakang punggung kostum sehingga tampak kerdil - terabaikan akibat tertutup nomor peserta. Seakan-akan nama negara menjadi tidak penting di dalam ajang audisi yang melibatkan anak-anak negeri.

Pertarungan bisnis modern memang tentang menguasai pikiran konsumen. Maka berduyun-duyunlah panitia audisi mewajibkan peserta menggunakan kaos yang sangat identik dengan tampilan bungkus rokok. Anak-anak pun menjadi sebuah "bungkus rokok berjalan".

Saat audisi berlangsung, anak-anak itu berlaga mengasah bakat. Namun tanpa sadar, badan mereka telah dimanfaatkan produsen rokok agar para penonton audisi terus terpapar brand rokok mereka. Anak-anak itu pun menjadi marketing produk untuk memperkuat awareness produk; yang ujung-ujungnya berdampak pada jumlah pembelian produk.

Dukungan blogger atas gerakan Tangkis Eksploitasi Anak. Dok by Lentera Anak
Dukungan blogger atas gerakan Tangkis Eksploitasi Anak. Dok by Lentera Anak
Syahdan, Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 761 berkata : "Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak".

Arti "dieksploitasi secara ekonomi" dijabarkan pada pasal 66, yakni "tindakan dengan atau tanpa persetujuan  Anak yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan Anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil".

Pasal di dalam Undang-Undang tersebut sebenarnya berlaku kepada seluruh brand produk manapun. Ironisnya, produk rokok yang jelas-jelas disepakati tidak memiliki keuntungan bagi kesehatan masyarakat ikut ambil bagian mengeksploitasi peserta anak-anak, bahkan semenjak dari pengertian paling dasar : "dilarangnya produk tembakau mempromosikan diri melalui anak-anak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun