Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Tenaga Medis dan Pasien Sama-sama Rentan Menjadi Korban Pelecehan Seksual di Rumah Sakit

26 Januari 2018   17:10 Diperbarui: 28 Januari 2018   15:40 2812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari Shutterstock

Saya mengutuk tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang oknum perawat di National Hospital Surabaya terhadap seorang pasien perempuan yang masih dalam pengaruh obat bius setelah menjalani operasi. Sebagai sesama tenaga medis, saya merasa keluhuran profesi tenaga medis telah dicoreng oleh oknum ini. Semoga masyarakat bijak menyikapi permasalahan ini dengan tidak menggeneralisasi semua tenaga kesehatan berkelakuan seperti oknum tersebut. Pelaku harus ditindak tegas bahkan mendapat hukuman yang lebih berat daripada orang biasa karena dia memiliki tanggung jawab moril yang lebih besar daripada orang biasa.

Di luar tindak kriminal yang dilakukannya, bila kita zoom out kondisi pelayanan medis di Indonesia, kita bisa melihat bahwa rumah sakit, klinik, puskesmas bahkan ruang praktek dokter sebenarnya adalah tempat rentan terjadi pelecehan seksual.

Di dalam ruang praktek dokter misalnya, tidak jarang dokter berada seruangan dengan pasien lawan jenis. Bisa jadi pasien perlu diperiksa dalam kondisi berbaring, bahkan perlu membuka pakaiannya demi pemeriksaan yang lebih akurat. Meskipun secara SOP (Standar Operasional Prosedur) idealnya ada pihak ketiga yang menemani dokter melakukan pemeriksaan (misal: perawat) tetapi dalam kenyataannya banyak hal bisa merintangi pelaksanaan SOP ini, misal: kekurangan tenaga perawat dan pasien datang sendirian. Tentunya situasi pemeriksaan seperti ini bisa menimbulkan ketidaknyamaannya bagi pasien maupun bagi dokter.

Saya sebagai dokter perempuan selalu merasa waswas bila harus memeriksa pasien laki-laki tanpa ada perawat yang menemani karena tidak tertutup kemungkinan saya mendapat pelecehan ketika sedang memeriksa pasien. Pasien perempuan pun sedikit banyak ada yang merasa tidak nyaman bila harus diperiksa oleh dokter laki-laki sendirian.

Kondisi di poliklinik RS tentunya tidak berbeda. Banyak divisi yang mengharuskan pasien membuka pakaiannya untuk diperiksa, misalnya: bedah, obsgyn, penyakit dalam, jantung, paru, orthopedi, dll. Meskipun situasi di RS lebih kondusif, dengan jumlah perawat yang cukup, ruang pemeriksaan yang mungkin lebih terang tetapi tetap saja sering tidak bisa mengurangi ketidaknyamanan pasien saat harus membuka pakaian, bahkan menunjukkan area-area vital di depan orang asing terutama lawan jenis.

Sebaliknya, pelecehan oleh pasien terhadap tenaga medis juga bukan tidak mungkin terjadi. Saat saya masih koas, ada sejawat senior perempuan pernah diintip saat buang air kecil di toilet oleh seorang pasien poliklinik RS. Atau perawat UGD yang dipegang bokongnya oleh pasien pria saat sedang dirawat lukanya. Atau asisten apoteker yang mendapat pelecehan seksual secara verbal saat sedang menjelaskan cara penggunaan salep antijamur.

Contoh situasi lainnya: di ruang rawat inap, hanya pasien kelas 1 ke atas saja yang bisa memiliki privasi penuh. Pasien kelas 2 dan kelas 3 harus berbagi ruangan termasuk kamar mandi dengan pasien lain beserta keluarganya. Kurangnya privasi ini juga membuat ruang bangsal rentan pelecehan. Bila pasien sedang dibersihkan tubuhnya oleh perawat atau diperiksa harian oleh dokter, hanya ditutupi dengan tirai penyekat. Di bangsal khusus pasien pria kadang keluarga yang menunggu adalah perempuan dan sebaliknya.

Dapat pula terjadi pelecehan terhadap petugas medis yang dilakukan oleh rekan kerjanya
Kondisi rentan pelecehan ini tidak hanya antara pasien-pasien dan tenaga medis-pasien tetapi juga antara tenaga medis-tenaga medis. Dokter laki-laki harus jaga malam bersama perawat perempuan atau sebaliknya. Dokter laki-laki jaga malam dengan dokter perempuan. Dan seperti diketahui, pasukan jaga malam jumlahnya lebih sedikit daripada pagi hari dan suasana juga lebih sepi. Tentunya kondisi ini meningkatkan probabilitas terjadinya pelecehan.

Saat saya masih koas, ada beberapa divisi yang hanya memiliki 1 ruangan istirahat untuk koas. Bila kebetulan saya jaga dengan koas laki-laki, kita harus bisa menyiasati ketidaknyamanannya, misalnya dengan bergantian istirahat. Tetapi ini pun tidak menjamin 100% kenyamanan karena ada kalanya kita perlu ke toilet yang hanya ada di ruangan itu atau mengambil barang keperluan kita dari dalam tas yang kita simpan di ruangan itu jadi situasi 2 orang beda jenis kelamin dalam 1 ruangan sesekali tetap tidak bisa terhindarkan.

Situasi seperti saya gambarkan di atas memang terdengar tidak menguntungkan bagi perempuan, baik sebagai pasien maupun tenaga medis, seperti pada kasus National Hospital di mana pelaku adalah laki-laki dan korban adalah perempuan. Tetapi sebenarnya semua pihak bisa jadi korban dan semua pihak bisa jadi pelaku. Tenaga medis bisa melecehkan pasien, pasien bisa melecehkan tenaga medis, tenaga medis bisa melecehkan tenaga medis lain dan pasien bisa melecehkan pasien lain.

Tetapi dari sekian banyak aktivitas medis di seluruh Indonesia setiap tahunnya, kasus pelecehan oleh tenaga medis terhadap pasien jarang terjadi atau mungkin jarang dilaporkan dan diberitakan, karena ada landasan kemanusiaan berdasarkan sumpah profesi yang menaungi seluruh kegiatan medis. Selama masa pendidikan, kami diajarkan untuk menghormati manusia dan tubuhnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun