Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Selubung Mahar Pembelian Pengantin

4 Januari 2018   12:05 Diperbarui: 5 Januari 2018   18:50 1943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Bila sanggup dilunasi, mempelai pria merasa "memiliki" si istri. Bila tidak mau menjalani pernikahan adat, dengan kata lain tidak membuka negosiasi mas kawin, keluarga mempelai wanita berhak mengambil kembali anak perempuan mereka bila terjadi permasalahan dalam rumah tangganya. Rumit sekali.

Dua tahun setelahnya saya pindah bekerja di Sumba Timur, NTT. Kondisinya tidak jauh berbeda,cukup sering pasien perempuan datang dengan luka akibat tindak kekerasan suaminya. 

Di Sumba, adat pernikahan sama rumitnya, sama banyak prosedurnya dan sama besar biayanya. Mahar disebut "belis" dalam bahasa Sumba. Dan belis bagi orang Sumba juga tidak main-main nilainya, bisa terdiri dari sekian banyak kerbau, gading, perhiasan emas, kain tenun, dll. Negosiasi kesepakatan nilai mahar ini sama lamanya, bukan hanya 1-2 jam saja, dengan pertimbangan yang sama banyaknya. 

Yang unik, salah satu makna belis bagi masyarakat Sumba adalah bentuk penghargaan kepada ibu dari mempelai wanita yang sudah bersusah payah membesarkannya dan sekarang putrinya akan dibawa pergi oleh suaminya.

Setiap prosedur adat di Papua maupun di Sumba memiliki makna yang mendalam, termasuk setiap mahar yang diberikan. Konsep mahar bagi mereka tampaknya berbeda dengan mahar bagi kebanyakan orang ibu kota. 

Warga ibu kota dewasa ini sering membayar mahar berupa uang yang nilainya dicocokkan dengan tanggal pernikahannya lalu disusun cantik membentuk hiasan dinding atau berupa emas perhiasaan. Saya sendiri menikah dengan mas kawin berupa gelang, hanya sebagai simbol bahwa suami saya meminta izin kepada orangtua saya untuk menikahi saya dan orang tua saya merestui. 

Sama sekali tidak ada pertimbangan soal berapa "harga" saya, kenyataan bahwa saya belum pernah menikah sebelumnya, berpendidikan tinggi dan berasal dari keluarga baik, tidak juga menaikkan jumlah mas kawin saya.

Saya tidak mau terdengar spekulatif apalagi mendiskreditkan budaya suku tertentu, saya yakin setiap kebudayaan punya nilai-nilai luhur yang perlu dijaga. 

Saya ingin mempertanyakan, mungkinkah ruwetnya negosiasi mahar, banyaknya pertimbangan untuk menentukan jumlah, nilai maharnya secara keseluruhan, usaha keluarga laki-laki mengumpulkan mahar tersebut dan membayarnya, diasumsikan sebagai pembelian calon pengantin perempuan? 

Bila ya, patutkah budaya yang memiskinkan warga  dan menimbulkan asumsi salah ini terus dilanjutkan? 

Sampai kapan dokter di daerah terus menerima pasien perempuan korban KDRT yang merasa tidak berdaya, tidak berhak membela diri dan tidak berusaha mencari pertolongan hanya karena merasa dia sudah "dilunasi"?  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun