Berbagai studi melaporkan sekitar 1 dari 5 atau hingga 40% kasus operasi apendiktomi dilakukan pada pasien yang ternyata tidak mengalami radang usus buntu, atau disebut sebagai apendektomi negatif (negative appendectomy). Ini berarti satu dari lima pasien (20%) hingga hampir setengah dari kasus bisa jadi merupakan hasil overdiagnosis atau salah diagnosis, yang mengarah pada operasi yang tidak perlu. Bukan usus buntu tapi terlanjur didiagnosis usus buntu dan terlanjur dioperasi pengangkatan usus buntu. Situasi ini tidak hanya meningkatkan risiko komplikasi bedah, tetapi juga menambah beban biaya, trauma pasien, serta risiko akibat anestesi, terutama pada pasien dengan komorbiditas.
Apendisitis akut merupakan salah satu penyebab paling umum nyeri perut akut yang membutuhkan tindakan bedah, terutama di unit gawat darurat. Meskipun sudah dikenal luas, diagnosis apendisitis tetap menjadi tantangan signifikan karena gejalanya yang sering tumpang tindih dengan banyak kondisi lain, seperti gastroenteritis, infeksi saluran kemih, atau gangguan ginekologis. Pada tahap awal, gejala apendisitis bisa sangat samar atau atipikal, membuat dokter harus mengandalkan kombinasi dari pemeriksaan fisik, riwayat klinis, dan alat bantu diagnostik seperti laboratorium dan imaging.
Salah Diagnosis
Menurut berbagai studi, termasuk data dari Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) dan penelitian yang dipublikasikan dalam JAMA Surgery, sekitar 15-20% dari operasi apendektomi di Amerika Serikat ternyata merupakan apendektomi negatif, yaitu dilakukan pada pasien dengan apendiks yang normal secara histopatologis atau bukan usus buntu tapi terlanjur didiagnosis usus buntu dan terlanjur dioperasi pengangkatan usus buntu. Ini berarti bahwa sekitar 1 dari setiap 5 operasi usus buntu di AS dilakukan tanpa adanya peradangan usus buntu yang sesungguhnya sebuah angka yang mengindikasikan adanya overdiagnosis atau salah diagnosis.
Sebuah studi penting oleh Flum et al. (JAMA, 2001) yang menganalisis data nasional dari National Hospital Discharge Survey melaporkan bahwa 15% pasien yang menjalani apendektomi di AS mengalami negative appendectomy, dan angkanya bahkan lebih tinggi pada perempuan muda (hingga 40%) karena gejala yang sering menyerupai gangguan ginekologis. Penelitian lain oleh Raja et al. (Annals of Surgery, 2008) menunjukkan bahwa penggunaan CT abdomen secara signifikan mengurangi insiden salah diagnosis dari 23% menjadi sekitar 4%. Temuan ini menegaskan pentingnya penerapan teknologi dan pendekatan berbasis bukti dalam diagnosis apendisitis untuk menghindari intervensi yang tidak perlu.
Apendisitis akut masih menjadi tantangan diagnostik yang signifikan dalam praktik klinis, meskipun merupakan salah satu penyebab paling umum dari nyeri perut akut yang membutuhkan tindakan bedah. Studi ini bertujuan mengevaluasi efektivitas pemeriksaan prabedah dalam mencegah tindakan apendektomi negatif, yaitu pembedahan yang dilakukan pada apendiks yang ternyata tidak mengalami peradangan. Penelitian retrospektif ini dilakukan terhadap 554 pasien dewasa di Rumah Sakit Universitas Vilnius dari tahun 2008 hingga 2013. Pasien dibagi menjadi dua kelompok, yaitu mereka yang apendiksnya ditemukan normal saat operasi (grup A) dan yang mengalami apendisitis (grup B). Hasil menunjukkan bahwa pemeriksaan laboratorium seperti kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah leukosit lebih tinggi secara signifikan pada pasien dengan apendisitis sejati. Namun, pemeriksaan ultrasonografi dan skor Alvarado belum cukup akurat untuk mencegah kesalahan diagnosis.
Meskipun beberapa faktor risiko independen berhasil diidentifikasi, faktor-faktor tersebut hanya dapat menjelaskan sekitar 24% dari seluruh kasus. Tingginya angka apendektomi negatif menunjukkan bahwa apendisitis akut masih sering salah diagnosis. Karena itu, penting untuk mempertimbangkan pemeriksaan tambahan seperti observasi lebih lanjut dan pencitraan dengan CT scan dalam proses diagnosis. Ketergantungan berlebih pada pemeriksaan klinis tanpa dukungan alat diagnostik yang memadai meningkatkan risiko operasi yang tidak perlu, yang dapat menyebabkan morbiditas, komplikasi anestesi, dan bahkan kematian pada pasien dengan komorbiditas. Temuan ini menegaskan perlunya pendekatan multidisipliner yang lebih cermat dalam menangani dugaan apendisitis akut, guna mengurangi intervensi yang tidak tepat dan meningkatkan keselamatan pasien.
Salah diagnosis pada apendisitis memiliki implikasi besar. Apendektomi negatif berarti pasien menjalani operasi yang sebenarnya tidak perlu, menanggung risiko komplikasi pembedahan seperti infeksi luka, nyeri kronik pasca operasi, bahkan risiko anestesi. Selain itu, tindakan ini juga berkonsekuensi pada peningkatan biaya layanan kesehatan dan waktu pemulihan yang seharusnya bisa dihindari. Secara etik, ini menimbulkan pertanyaan tentang kehati-hatian dalam pengambilan keputusan klinis, terutama pada populasi yang rentan seperti anak-anak, lansia, atau pasien dengan komorbiditas.
Untuk mengatasi hal ini, pedoman klinis terbaru merekomendasikan penggunaan algoritma diagnosis seperti Alvarado score, serta pemeriksaan radiologis lanjutan seperti ultrasonografi (USG) dan computed tomography (CT) scan, yang terbukti meningkatkan akurasi diagnosis. Studi yang diterbitkan dalam Annals of Surgery dan New England Journal of Medicine menunjukkan bahwa pemanfaatan CT abdomen dapat menurunkan angka apendektomi negatif hingga di bawah 5%. Namun, kendala biaya, keterbatasan akses alat, serta kekhawatiran akan paparan radiasi (terutama pada anak) masih menjadi pertimbangan dalam penerapannya.
Beberapa laporan kasus terjadi dampak fatal ketika penderita DBD mengalami overdiagnosis apendistis dilakukan operasi membuat kondisi penderita semakin membutpruk sehingga akhirnya mengancam nyawa.