Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.www.klinikdrwidodo.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

KFC Bangkrut Bukan Karena Tidak Serenyah Dulu, Tapi Boikot ?

3 Mei 2025   15:15 Diperbarui: 4 Mei 2025   04:21 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
DOKUMENTASI DAN EDITING PRIBADI

Fenomena keterpurukan waralaba KFC di berbagai negara Muslim bukan semata karena penurunan daya beli atau kualitas rasa ayam tidak serenyah dulu, melainkan merupakan refleksi dari transformasi kesadaran konsumen yang kini menjadi kekuatan politik dan sosial. Boikot terhadap merek yang dianggap terafiliasi dengan entitas pro-Israel, seperti KFC, telah menyebabkan penutupan ratusan gerai di Turki, pemutusan hubungan kerja massal di Indonesia, dan kerugian besar di Malaysia. Para pakar ekonomi menganalisis kombinasi faktor sosial, ekonomi, dan ideologis yang menyebabkan KFC mengalami krisis, menyoroti bahwa konsumsi kini menjadi bagian dari sikap politik masyarakat global, khususnya di negara-negara dengan populasi Muslim yang kuat.

KFC kini berada di ambang kebangkrutan di berbagai negara bukan hanya karena rasa ayam yang tak lagi serenyah dulu atau sekedar karena daya beli masyarakat yang lemah, tetapi juga akibat dampak dahsyat dari boikot umat Muslim di seluruh dunia. Gelombang kesadaran politik dan solidaritas terhadap isu-isu global, seperti dukungan terhadap Palestina, telah mendorong konsumen Muslim untuk menjauhi merek-merek yang dianggap terafiliasi atau tidak sensitif terhadap penderitaan umat Islam. Boikot ini tidak lagi sebatas seruan emosional sesaat, tetapi telah berubah menjadi gerakan kolektif yang nyata memengaruhi pendapatan dan eksistensi perusahaan-perusahaan besar, termasuk KFC, yang kehadirannya kini makin ditinggalkan di banyak wilayah dengan mayoritas penduduk Muslim.

Keterpurukan KFC di Turki, Indonesia, dan Malaysia adalah ilustrasi konkret dari dampak boikot konsumen. Di Turki, perusahaan lisensi KFC harus menutup 537 gerai akibat penurunan penjualan yang tajam dan tekanan utang yang berat. Di Indonesia, PT Fast Food Indonesia mengalami kerugian hingga Rp 557,08 miliar dan merumahkan ribuan pekerja. Sementara di Malaysia, penutupan sekitar 100 gerai menunjukkan bahwa penolakan konsumen benar-benar mengguncang keberlangsungan operasional. Ini tidak terjadi semata karena makanan yang dianggap kurang lezat atau ekonomi yang melesu, tetapi karena konsumen kini ingin produk yang mereka beli mencerminkan nilai dan solidaritas mereka terhadap isu kemanusiaan global.

Di Turki, operator waralaba KFC dan Pizza Hut, Gda, mengajukan kebangkrutan pada awal 2025 setelah Yum! Brands, pemilik merek tersebut, mengakhiri perjanjian waralaba karena ketidakpatuhan terhadap standar operasional. Akibatnya, 537 restoran ditutup dan sekitar 7.000 karyawan kehilangan pekerjaan.  Krisis ini diperparah oleh utang sebesar 7,7 miliar lira Turki (sekitar Rp 4,1 triliun) dan penurunan penjualan hingga 40% akibat boikot terhadap merek-merek yang dikaitkan dengan Israel. 

Multinasional Pro-Israel di Ambang Keterpurukan

Gerakan boikot global telah menunjukkan daya rusaknya terhadap banyak merek raksasa yang selama ini dominan di pasar dunia. Selain KFC, Pizza Hut, McDonald's, dan Unilever, perusahaan seperti Starbucks, Nestl, Danone, dan P&G juga mulai menunjukkan gejala keterpurukan. Penurunan drastis penjualan, demonstrasi massa, dan kampanye media sosial yang terus berlangsung menempatkan perusahaan-perusahaan ini dalam posisi defensif. Strategi pemasaran mereka kini tidak cukup kuat untuk mengatasi sentimen konsumen yang mengakar dan bersifat ideologis.

Dampak paling nyata terlihat di pasar negara-negara mayoritas Muslim seperti Turki, Malaysia, dan Indonesia. Di Turki, ribuan gerai cepat saji ditutup akibat boikot, dan perusahaan lisensi seperti Gda harus merelakan gelar prestisiusnya demi bertahan hidup. Di Malaysia, KFC dan McDonald's harus menutup puluhan gerai di beberapa negara bagian karena pengunjung nyaris nihil. Sementara di Indonesia, laporan keuangan perusahaan-perusahaan seperti PT Fast Food Indonesia Tbk dan Starbucks menunjukkan kerugian ratusan miliar rupiah yang tak bisa lagi ditutup-tutupi dengan alasan pandemi atau inflasi.  Namun, tidak ada laporan resmi mengenai kebangkrutan McDonald's, Starbucks, atau Burger King di Turki hingga saat ini

Boikot ini menjadi lebih kuat karena bukan hanya didorong oleh emosi, tetapi juga diperkuat oleh fatwa, tokoh publik, dan media sosial yang memberikan narasi dan bukti keterlibatan perusahaan-perusahaan tersebut dalam mendukung entitas pro-Israel. Ketika lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan seruan menghindari produk-produk tertentu, legitimasi moral dari gerakan ini meningkat. Di titik ini, konsumen tidak lagi bertindak sendiri-sendiri, melainkan menjadi bagian dari jaringan solidaritas global yang bergerak dengan pesan yang sama: kemanusiaan di atas keuntungan.

Dalam iklim sosial saat ini, perusahaan-perusahaan besar tidak hanya dituntut untuk menjual produk yang baik, tetapi juga menunjukkan etika dalam afiliasi dan kebijakan mereka. Ketidakjelasan sikap atau keberpihakan yang keliru bisa menjadi bumerang besar. Masa depan mereka kini ditentukan bukan hanya oleh inovasi produk, tapi oleh keberanian untuk bersikap adil dan transparan. Era ketika korporasi bisa berlindung di balik merek ikonik telah usai. Dunia telah berubah. Dan kekuatan perubahan itu kini berada di tangan konsumen yang sadar.

Boikot Anti Israel

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun