Alergi debu sering dianggap sebagai penyebab utama keluhan alergi seperti rhinitis alergi, asma, dan gejala saluran napas lainnya. Namun, pola klinis pada banyak pasien menunjukkan bahwa gejala sering memburuk pada pagi dan malam hari, meskipun tingkat paparan debu saat itu rendah.Â
Di sisi lain, gejala justru membaik pada siang hari, bahkan dalam lingkungan berdebu atau dingin. Fenomena ini menimbulkan hipotesis bahwa debu mungkin bukan penyebab utama, melainkan pemicu sekunder.Â
Artikel ini mengeksplorasi kemungkinan bahwa alergi makanan dan infeksi virus berulang menjadi penyebab utama pada kasus alergi yang bersifat kronik, rekuren dan sulit sembuh.Â
Disusun sebagai tinjauan ilmiah berbasis kasus dan telaah literatur, artikel ini mengkaji ulang pemahaman tentang penyebab utama alergi dan menyoroti pentingnya diagnosis yang berbasis eliminasi-provokasi.
Ilustrasi Kasus:Â
Sandiaz, Laki-laki 4 Tahun mengalami gejala batuk , pilek kronis setiap pagi dan malam selama lebih dari tiga bulan. Orangtua semakin panik ketika si buah hati  juga mengalami amandel membesar, sinusitis, infeksi telinga, bronkopnemoni, berat badan sulit naik sehingga divonis TB padahal bukan TB.Â
Berbagai spesialis telah dikunjungi, pengobatan intensif sudah dilakukan, tetapi tidak membuahkan hasil. Semua dokter menyimpulkan bahwa Sandiaz alergi debu, meskipun rumah sudah dibersihkan secara optimal.Â
Setelah melakukan second opinion ke dokter tertentu, dilakukan eliminasi makanan tertentu, gejala membaik secara signifikan. Kasus ini menyoroti perlunya evaluasi lebih lanjut terhadap kemungkinan alergi makanan.
Selama bertahun-tahun, debu telah menjadi tersangka utama dalam banyak kasus alergi, baik oleh masyarakat awam maupun oleh klinisi.Â
Namun, analisis terhadap pola gejala dan tanggapan terhadap pengobatan menunjukkan bahwa banyak diagnosis "alergi debu" tidak diikuti dengan perbaikan klinis yang signifikan.Â