Gastroesophageal reflux disease (GERD) pada anak dapat disebabkan oleh alergi makanan. Â Penelitian terkini menunjukkan bahwa gangguan saluran cerna seperti GERD (gastroesophageal reflux disease), yang mempengaruhi gut-brain axis, dapat berhubungan langsung dengan kesehatan anak khususnya gangguan perilaku pada anak, termasuk gangguan emosi (mudah marah, agresif), hiperkinetik (hiperaktifitas, anak sangat aktif), Gangguan mood, Â kesulitan belajar, gangguan sensoris, gangguan tidur, gangguan kecemasan, gangguan oral motor (gangguan bicara, keterlambatan bicara, gangguan mengunyah menelan, pilih pilih makanan) atau sakit kepala. Alergi makanan, khususnya yang tidak terdeteksi oleh tes darah atau tes kulit, dapat memainkan peran penting dalam kondisi ini, di mana reaksi imun terhadap makanan tertentu mempengaruhi keseimbangan mikrobiota usus dan neurotransmitter otak. Oral Food Challenge (OFC) menjadi metode diagnostik yang lebih akurat daripada tes konvensional untuk mendeteksi alergi makanan yang mungkin menyebabkan gangguan perilaku. Studi ini menilai efektivitas OFC dalam mendiagnosis alergi makanan yang tidak terdeteksi dan mengaitkannya dengan gangguan perilaku anak, memberikan wawasan penting dalam penanganan yang lebih tepat dan holistik.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) pada anak dapat disebabkan oleh alergi makanan, yang memicu peradangan dan iritasi pada saluran cerna, sehingga memperburuk kondisi asam lambung. Tanda dan gejala GERD pada anak yang terkait dengan alergi makanan meliputi regurgitasi atau muntah, batuk kronis, nyeri dada, kesulitan menelan, dan gangguan tidur. Anak juga bisa mengalami gangguan pernapasan seperti mengi atau sesak napas, yang sering kali salah didiagnosis sebagai masalah pernapasan lainnya. Selain itu, perubahan perilaku seperti kecemasan, iritabilitas, atau kesulitan konsentrasi juga dapat muncul, karena ketidaknyamanan fisik yang disebabkan oleh GERD yang dipicu oleh alergi makanan. Oleh karena itu, deteksi dan pengelolaan alergi makanan melalui tes yang tepat sangat penting dalam penanganan GERD pada anak.
Gut-brain axis, yang menghubungkan usus dengan otak melalui sistem saraf dan hormon, memainkan peran penting dalam regulasi emosi, perilaku, dan fungsi kognitif. Ketika terjadi gangguan pada saluran cerna, seperti pada GERD atau reaksi inflamasi akibat alergi makanan, jalur komunikasi ini bisa terganggu, mempengaruhi mood dan perilaku anak. Alergi makanan, terutama jenis non-IgE yang lebih sulit terdeteksi, sering kali berperan dalam gangguan perilaku yang tidak responsif terhadap pengobatan konvensional. Oleh karena itu, pendekatan diagnostik yang lebih efektif diperlukan untuk memastikan hubungan antara alergi makanan dan gangguan perilaku pada anak.
Meskipun tes darah seperti IgE dan tes kulit (prick test) sering digunakan untuk mendeteksi alergi, metode ini tidak selalu akurat dalam mengidentifikasi alergi non-IgE atau alergi yang hanya mempengaruhi saluran cerna. Dalam konteks ini, Oral Food Challenge (OFC) muncul sebagai metode yang lebih akurat untuk menilai reaksi anak terhadap makanan tertentu, dengan cara mengeliminasi makanan yang dicurigai dan memperkenalkan kembali makanan tersebut secara bertahap. Proses ini memungkinkan pengamatan langsung terhadap reaksi fisik dan perilaku anak, memberikan gambaran yang lebih jelas tentang hubungan antara alergi makanan dan gangguan perilaku.
Tanda dan Gejala
- Tanda dan Gejala GERD pada bayi dan anak.  Gastroesophageal reflux (GER) pada anak adalah kondisi di mana isi lambung kembali naik ke esofagus, yang dapat terjadi secara fisiologis maupun patologis (GERD). Pada bayi dan anak kecil, GER sering dianggap normal terutama pada usia kurang dari 12 bulan karena sistem pencernaannya yang belum matang. Namun, jika gejala menetap, berat, atau menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kenyamanan, kondisi ini dianggap sebagai gastroesophageal reflux disease (GERD). Beberapa tanda umum GER/GERD pada anak termasuk muntah berulang, regurgitasi setelah makan, nyeri ulu hati, rewel setelah makan, hingga penolakan makanan. Pada bayi, juga bisa disertai dengan lengkungan tubuh ke belakang saat atau setelah menyusu (arching), yang menandakan ketidaknyamanan atau nyeri esofagus. Pada anak yang lebih besar, gejala GERD bisa lebih menyerupai gejala pada orang dewasa seperti rasa terbakar di dada (heartburn), rasa asam di mulut, nyeri saat menelan, suara serak, hingga gangguan tidur. GERD juga bisa menyebabkan komplikasi sepertikekebalan tubuh menueurn (mudah sakit, batuk lama, mudah demam), esofagitis (radang esofagus), gangguan pertumbuhan karena asupan makanan yang menurun, atau infeksi saluran napas berulang akibat aspirasi. Dalam beberapa kasus, GERD dapat berhubungan dengan kondisi lain seperti asma atau otitis media berulang. Oleh karena itu, penting untuk mengenali gejala GERD secara dini dan membedakannya dari refluks fisiologis biasa, agar anak mendapatkan evaluasi dan penanganan yang tepat.
- Tanda dan Gejala Alergi Makanan pada Anak. Â Alergi makanan tidak selalu muncul dalam bentuk ruam atau bengkak. Pada anak, gejalanya bisa sangat halus: sering sakit perut, mual tanpa sebab, sembelit atau diare berulang, hingga perut kembung yang membuat mereka tidak nyaman belajar. Kadang anak hanya mengeluh, "Perutku nggak enak," lalu jadi rewel dan tidak fokus sepanjang hari. Ganggguan alergi lain adalah gangguan kulit sensitif, kaki bentol dan hitam seperti digigit nyamuk, biduran, biang keringat, mudah batuk, batuk lama, asma, sesak, mudah pilek, bersin, tidur ngorok, mimisan, sakit kepala dan badan sering pegal atau nyeri kaki. Gejala ini bisa muncul dalam hitungan jam hingga beberapa hari setelah mengonsumsi makanan tertentu. Yang membuatnya sulit dideteksi adalah karena banyak makanan yang memicu alergi tersembunyi dalam makanan olahan sehari-hari seperti susu, telur, gandum, kedelai, atau pewarna makanan. Maka dari itu, penting untuk mencermati pola makan dan gejala anak secara menyeluruh.
Penelitian Hubungan Alergi Makanan dengan GERD Resisten pada Anak
Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) merupakan kondisi kronis yang sering dijumpai pada anak-anak, terutama jika tidak merespons terapi farmakologis standar. Dalam konteks ini, alergi makanan, khususnya terhadap susu sapi, diduga menjadi faktor yang memengaruhi keberlanjutan gejala GERD yang sulit diatasi. Sebuah studi oleh Yukselen dan Celtik (2016) mengevaluasi 151 anak dengan GERD resisten terhadap terapi dan melakukan serangkaian uji alergi, termasuk skin prick test, IgE spesifik, hitung eosinofil, atopy patch test (APT), dan tantangan makanan oral. Anak-anak kemudian diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan hasil uji tantangan susu dan uji alergi. Hasilnya menunjukkan bahwa alergi susu sapi ditemukan secara signifikan pada anak-anak dengan tantangan susu positif dan tes alergi positif (grup A1), dan sebagian lainnya mengalami reaksi non-IgE mediated yang hanya terdeteksi melalui APT (grup A2).
Temuan ini menyoroti pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap kemungkinan alergi makanan pada anak dengan GERD yang tidak membaik dengan pengobatan biasa. Selain gejala lambung, anak-anak dalam grup A1 juga menunjukkan manifestasi klinis lain seperti tinja berdarah, dermatitis atopik, dan mengi berulang yang lebih sering dibandingkan grup lainnya. Oleh karena itu, penggunaan kombinasi uji alergi---baik yang bersifat IgE mediated maupun non-IgE mediated---bersama dengan tantangan makanan oral sangat penting untuk menegakkan diagnosis yang tepat dan menghindari diet eliminasi yang tidak perlu. Studi ini menegaskan bahwa alergi susu sapi merupakan penyebab yang sering tersembunyi pada GERD resisten di masa kanak-kanak dan harus menjadi pertimbangan utama dalam penilaian klinis.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa rhinitis alergi (RA) memiliki hubungan signifikan dengan peningkatan risiko terjadinya gastroesophageal reflux disease (GERD), terlepas dari ada tidaknya asma pada pasien. Dalam studi kohort berbasis populasi besar yang dilakukan oleh Kung et al. (2019), sebanyak 193.810 pasien dewasa yang didiagnosis dengan RA tanpa riwayat GERD sebelumnya dianalisis menggunakan data dari National Health Insurance Research Database. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok dengan RA memiliki risiko hampir dua kali lipat lebih tinggi untuk mengalami GERD dibandingkan kelompok tanpa RA. Penelitian ini memperkuat teori tentang "united airway disease" yang menyatakan bahwa saluran napas atas dan bawah saling terhubung secara fungsional dan patologis. RA dapat memengaruhi mukosa nasofaring yang juga terlibat dalam refleks saraf yang mengatur tekanan sfingter esofagus bawah, sehingga memicu atau memperberat gejala GERD. Oleh karena itu, penting bagi klinisi untuk mempertimbangkan keberadaan RA dalam evaluasi dan penatalaksanaan pasien dengan keluhan GERD.
Penelitian banyak mengungkap hubungan GERD, Gut-Brain Axis, Alergi Makanan, dan Gangguan perilaku pada anak.Â