Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

5 Tindakan Medis Berlebihan dalam Dunia Kesehatan Indonesia

5 Januari 2013   21:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:28 2199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1357441953603689099

[caption id="attachment_233855" align="aligncenter" width="500" caption="admin/ilustrasi (shutterstock)"][/caption] Penanganan gangguan kesehatan pada seseorang yang dlakukan seorang klinisi atau dokter tidak semudah yang dibayangkan. Untuk menentukan tindakan medis baik pemberian obat atau tindakan operasi harus membutuhkan kecermatan dalam menegakkan diagnosis dan memastikan dengan kesesuaian indikasi tindakan medis yang harus dilakukan. Fenomena ini tampaknya bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di belahan dunia lainnya. Seringkali terjadi intervensi berlebihan dan tidak sesuai indikasi tepat baik dalam pengobatan ataupun tindakan operasi pada pasien, Hal ini bukan hanya dilakukan dokter tetapi sering juga terjadi karena desakan pasien. Tidak disadari bahwa tindakan intervensi medis yang berlebihan dan tidak sesuai indikasi medis itu dapat berdampak merugikan bagi penderita mulai dari yang ringan sampai resiko mengancam jiwa. Intervensi medis berlebihan dan tidak sesuai indikasi medis yang paling sering adalah pemberian antibiotika, operasi amandel, rawat inap rumah sakit, operasi usus buntu dan operasi sectio caesaria. Intervensi medis berlebihan lainnya adalah pemberian obat dan vitamin berlebihan, operasi tidak sesuai indikasi atau tindakan operasi dalam keadaan kondisi penderita prognosisnya sangat buruk dan memang sudah ada tidak ada harapan untuk sembuh. 5 Intervensi Medis Berlebihan Dalam Dunia Kesehatan Indonesia 1. Pemberian Antibiotika. Menurut penelitian US National Ambulatory Medical Care Survey, pada tahun 1989, setiap tahun sekitar 84% setiap tahun setiap anak mendapatkan antibiotika. Hasil lainnya didapatkan 47,9% resep pada anak usia 0-4 tahun terdapat antibiotika. Angka tersebut menurut perhitungan banyak ahli sebenarnya sudah cukup mencemaskan. Dalam tahun yang sama, juga ditemukan resistensi kuman yang cukup tinggi karena pemakaian antibiotika berlebihan tersebut. Di Indonesia belum ada data resmi tentang penggunaan antibiotika. Sehingga banyak pihak saat ini tidak khawatir dan sepertinya tidak bermasalah. Tetapi berdasarkan tingkat pendidikan atau pengetahuan masyarakat serta fakta yang ditemui sehari-hari, tampaknya pemakaian antibiotika di Indonesia jauh banyak dan lebih mencemaskan. Indikasi yang tepat dan benar dalam pemberian antibiotika pada anak adalah bila penyebab infeksi tersebut adalah bakteri. Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) indikasi pemberian antibiotika adalah bila batuk dan pilek yang berkelanjutan selama lebih 10 – 14 hari.yang terjadi sepanjang hari (bukan hanya pada malam hari dan pagi hari). Batuk malam dan pagi hari biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi dalam fase infeksi dan tidak perlu antibiotika. Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas > 39 C dengan cairan hidung purulen, nyeri, pembengkakan sekitar mata dan wajah. Indikasi lainnya adalah radang tenggorokan karena infeksi kuman streptokokus. Penyakit ini pada umumnya menyerang anak berusia 7 tahun atau lebih. Pada anak usia 4 tahun hanya 15% yang mengalami radang tenggorokan karena kuman ini. Penyakit yang lain yang harus mendapatkan antibiotika adalah infeksi saluran kemih dan penyakit tifus Sebagian besar kasus penyakit pada anak yang berobat jalan penyebabnya adalah virus. Dengan kata lain seharusnya kemungkinan penggunaan antibiotika yang benar tidak besar atau mungkin hanya sekitar 10 – 15% penderita anak. Penyakit virus adalah penyakit yang termasuk “self limiting disease” atau penyakit yang sembuh sendiri dalam waktu 5 – 7 hari. Sebagian besar penyakit infeksi diare, batuk, pilek dan panas penyebabnya adalah virus. Rekomendasi dan kampanye penyuluhan ke orangtua dan dokter yang telah dilakukan oleh kerjasama CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan AAP (American Academy of Pediatrics) memberikan pengertian yang benar tentang penggunaan antibiotika. Pilek, panas dan batuk adalah gejala dari Infeksi Pernapasan Atas yang disebabkan virus. Perubahan warna dahak dan ingus berubah menjadi kental kuning, berlendir dan kehijauan adalah merupakan perjalanan klinis Infeksi Saluran Napas Atas karena virus, bukan merupakan indikasi antibiotika. Pemberian antibiotika tidak akan memperpendek perjalanan penyakit dan mencegah infeksi tumpangan bakteri 2. Rawat Inap Rumah Sakit. Seringkali seorang anak demam tinggi atau anak dengan kejang tetapi keadaan umumnya masih baik langsung diadviskan rawat inap di rumah sakit. Mungkin saja indikasi rawat inap di rumah sakit kasus tersebut sudah tepat. Tetapi sebaliknya banyak kasus yang seharus yang tidak memerlukan rawat inap dipaksalkan masuk rumah sakit. Kadangkala tindakan berlebihan ini bukan hanya dilakukan dokter tetapi juga dilakukan orangtua. Karena kecemasan yang berlebihan anak sakit demam tinggi sedikit atau muntah beberapa kali sudah memaksa dokter untuk dilakukan rawat inap. Beberapa institusi sudah mengeluarkan rekomendasi indikasi kapan harus melakukan rawat inap bagi berbagai kasus penyakit. Tetapi batasan dan kriteria tersebut pada umumnya masih sangat luas dan menimbulkan berbagai interpretasi dan perdebatan. Dampak rawat inap yang tidak sesuai indikasi selain menghamburkan biaya yang besar juga beresiko mendapatkan infeksi nosocomial atau infeksi baru yang tertular di rumah sakit. Pada umumnya justru infeksi nosocomial lebih ganas kumannya daripada infeksi di luar rumah sakit. 3. Operasi Amandel Tonsilektomi. Operasi amandel atau tonsilektomi adalah tindakan yang paling sering dilakukan sepanjang asejarah operasi. Kontroversi tonsilektomi paling banyak dilaporkan dibandingkan operasi manapun. Tonsilektomi bila sesuai indikasi sangat perlu dan harus dilakukan. Tetapi ternyata banyak kasus operasi amandel tidak sesuai indikasi. Seringkali orangtua bingung dalam menghadapi anak yang diadviskan untuk operasi amandel atau tonsilektomi. Bingung karena seringkali terjadi perbedaan pendapat antara beberapa dokter. Pendapat dokter tertentu mengadviskan untuk menunda operasi karena berbagai alasan medis seperti masih belum ada indikasi mutlak. Tetapi sebaliknya pendapat dokter tertentu untuk segera melakukan operasi amandel segera karena berbagai alasan medis yang lain. Sebenarnya indkasi harus operasi menurut American Academy of Otolaringology Headneck Surgery (AAO) hanya 3 yaitu (1) Tonsil (amandel) yang besar hingga mengakibatkan gangguan pernafasan, nyeri telan yang berat, gangguan tidur atau sudah terjadi komplikasi penyakit-penyakit kardiopulmonal. (2) Abses peritonsiler (Peritonsillar abscess) yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan. Dan pembesaran tonsil yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan wajah atau mulut yang terdokumentasi oleh dokter gigi bedah mulut. (3) Tonsillitis yang dan mengakibatkan kejang demam. (4) Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsi jaringan untuk menentukan gambaran patologis jaringan. Indikasi relatif artinye dioperasi lebih baik tidak diporasi tidak masalah, Indikasinya adalah (1) Tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan tidak menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan medikamentosa yang memadai. (2) Bau mulut atau bau nafas tak sedap yang menetap pada Tonsilitis kronis yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan. (3) Tonsilitis kronis atau Tonsilitis berulang yang diduga sebagai carrier kuman Streptokokus yang tidak menunjukkan repon positif terhadap pengobatan dengan antibiotika. (4) Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang dicurigai berhubungan dengan keganasan (neoplastik). Alasan yang tidak benar yang dijadikan indikasi operasi seperti (1)Bila tidak operasi kecerdasan menurun. (2) Bila tidak dioperasi mengakibatkan sakit jantung dan sakit paru-paru. (3) Bila tidak di operasi maka oksigen ke otak berkurang anak jadi kurang konsentrasi dan kurang cerdas. (4) Atau indikasi operasi tidak benar lainnya karena gangguan pertumbuhan berat badan, kesullitan makan, gangguan bicara, gangguan tidur, bau mulut, enuresis (mengompol). 4 Operasi Usus Buntu. Penelitian di University of Washington menunjukkan 16 persen operasi pemotongan usus buntu dilakukan pada pasien yang sebetulnya tidak membutuhkan. Radang usus buntu atau apendisitis memang berbahaya sehingga pada umumnya dokter tidak mau ambil risiko dan memilih secepatnya memotong bagian tubuh yang memang tidak jelas fungsinya tersebut. Radang usus buntu bisa dikenali dengan pemeriksaan penunjang berupa USG, atau CT scan dan jumlah sel darah putih yang melampaui 10.000/mcL. Usus Buntu. Keluhan nyeri perut yang hebat sering didiagnosis usus buntu padahal nyeri perut juga bisa terjadi pada berbagai kasus. Kadang overdiagnosis usus buntu sering terjadi karena gejala yang terjadi hampir sama kualitas nyeri dan lokasinya dengan ganGguan lainnya. Kesalahan diagnosis usu buntu sering terjadi pada penderita alergi atau asma yang sebelumnya mempunyai riwayat kolik saat bayi, sering rewel saat usia di bawah usia 3 bulan atau nyeri perut berulang. Nyeri perut akan timbul pada pasien tersebut apabila terkena infeksi virus yang menyerang tubuh. 5. Operasi Sectio Operasi Sectio Caesaria tanpa indikasi termasuk intervensi medis yang paling sering. Berdasarkan survey global WHO yang dilakukan di 9 negara Asia pada tahun 2007 dan 2008, mencangkup Kamboja, China, Nepal, Filipina, Srilangka, Thailand, dan Vietnam. China menunjukan angka Sectio Caesarea tertinggi yaitu 46,2% dan mempunyai tindakan operasi tanpa indikasi terbesar yaitu 11,7% sedangkan Vietnam dengan angka 1%. Penelitian yang pernah dilakukan di Jakarta pada tahun 2009 menunjukkan bahwa tindakan operasi tanpa indikasi pernah dilaporkan sebesar 13,9%. Dibanding persalinan vaginal spontan, maka persalinan operatif secara bermakna menyebabkan kematian maternal lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat mortalitas maupun morbiditas maternal pada perempuan yang menjalani Sectio Caesarea tanpa indikasi. Setiap tindakan operatif meningkatkan mortalitas maternal dan indeks morbiditas seperti transfusi darah, histerektomi (pengangkatan rahim), iligasi arteri iliaka interna, kematian, atau perawatan ICU jauh lebih besar disbanding persalinan spontan. Peningkatan ini terutama disebabkan tingginya perawatan ICU dan transfusi darah. Tidak ada kesalahan jika melakukan intervensi medik dengan adanya indikasi yang jelas, Tetapi jika masih menganggap bahwa operasi Caesar merupakan tindakan yang tidak berbahaya, maka masyarakat perlu disadarkan dengan bukti-bukti ini. Dampak dan Pencegahan Kontroversi dan perdebatan tentang intervensi berlebihan tindakan medis ini wajar terjadi dalam setiap keputusan dan tindakan dokter seringkali banyak kasus terjadi perbedaan pendapat. Karena setiap kasus berlatar belakang kondisi yang berbeda. Dalam melakukan tindakan medis dokter harus selalu memakai indikasi medis dengan rujukan evidance base medicine (Kejadian Ilmiah berbasis Bukti atau berdasar penelitian), kondisi pasien dan kepentingan pasien. Menjadi tidak wajar apabila dalam tindakan medis bukan demi kepentingan pasien tetapi demi kepentingan individu, kepentingan rumah sakit atau kepentingan tertentu lainnya.. Selain itu intervensi medis berlebihan ini juga dapat disebabkan dari permintaan pasien meski tanpa indikasi dokter tetap melakukannya. Seringkali kecemasan pasien yang berlebihan memaksa dokter untuk melakukan tindakan medis berlebihan bagi dirinya. Bila hal ini terjadi sebaiknya dokter harus memberikan edukasi dampak buruk intervensi medis yang tidak sesuai indikasi. Bukannya malah meluluskan permintaan pasien padahal sudah mengetahui tesiko dampakburuk yang bisa terjadi. Dampak buruk pada intervensi medis yang berlebihan dan tidak sesuai indikasi ini dapat mengakibatkan kerugian atau pemborosan biaya yang luar biasa banyak. Dampak buruk lainnya adalah mengakibatkan morbiditas atau gangguan kesehatan baru lainnya yang sangat mengangggu. Bahkan dampak buruk lainnya dapat menigktkan resiko mortalitas atau ancaman jiwa. Pencegahan terbaik agar tidak terjadi intervensi medis yang berlebihan dan tidak sesuai indikasi adalah melakukan cermat indikasi yang tepat saat akan melakukan intervensi medis. Bila beresiko mengalami intervensi berlebihan dan tidak sesuai idikasi sebaiknya penderita melakukan second opinion atau pendapat ke dua pada dokter lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun