Mohon tunggu...
Fajar Laksana
Fajar Laksana Mohon Tunggu... Freelancer - Founder Jawasastra Culture Movement

Wingi aku weruh, mula aku aweh wewarah. Saiki aku winarah, wayahe nitipriksa pribadhi wantah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Akses VIP Pawang Udan terhadap Tuhan 1-2

3 Desember 2019   21:16 Diperbarui: 3 Desember 2019   21:47 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Percaya apa ora, Gusti kuwi ora beda adoh kaya tontonan bal-balan utawa konser musik. Nek cara luwih ndesane, yaiku kaya tontonan wayang. Ana penonton biyasa, ana penonton VIP, lan ana penonton VVIP. Telung jenis penonton mau cetha duweni benefit sing beda.

Paribasan nonton wayang, nek kowe penonton biyasa paling pol ya nglempoh nggelar tiker nek ora penekan wit pelem supaya bisa ketara tontonan wayange. Beda meneh nek kowe penonton VIP, kowe bakal entuk lungguh sakngarepe tontonan wayang, bisa sumendhe lan ora kuwatir kena grimis. Banjur ana VVIP, sing benefite luwih gedhe tinimbang penonton biyasa. Penonton VVIP sajroning tontonan wayang lumrahe ya kecekel para pamong praja kaya ta carik, lurah, camat, bupati, entuk lungguh ngarep dhewe, ana meja sing diiseni suguhan panganan lan ora prelu sesel-seselan kalawan penonton liya.

Nyatane, Gusti uga ora beda adoh. Manungsane entuk wae kampanye demokrasi lan egaliter nganti cangkeme ndomble, wutah getih, lan demen ngoncatake nyawa, nanging sing aran drajat sakngarepe Gusti kuwi ora bisa diselaki. Buktine apa? Ringkes wae, buktine saka donga.

Wis dudu rahasia meneh, dongane wong biyasa karo dongane wong becik sing minangka utusan cetha beda. Kasarane, nalika duwe kekarepan apa-apa wong biyasa kudu nglakoni macem-macem syarat, beda kalawan wong becik sing wis digaris Gusti, omong-sakomong bakale kelakon. Malah, lagi krenteg ati wae wis kedaden. Dadi para manungsa sing nuntut demokrasi uga egaliter mesthine kudu ngowahi 'sifate' Gusti dhisik.

Bab akses komunikasi VVIP marang Gusti tamtune diduweni para utusan Gusti, kaya ta Nabi, Rasul, Wali, Buddha, Saktya, Jina, Konfusius, lan sakpiturute. Kena ngapa kok diarani duwe akses VVIP, ya jalaran tekan seprene apa sing diwulangake marang manungsa tetep kaleksanan lan ora kurang-kurang sing percaya.

Banjur nek ing tingkat VIP cacahe uga maneka warna. Nanging sajake, menawa ing tingkat VIP iki ancer-ancere bisa ditilik saka ati lan sepira anggone manungsa tirakat. Wong tuwa loro cetha duwe akses VIP marang Gusti, guru, kyai, dukun, lan ora mokal klebu pawang udan!

Bersinggungan dengan Pawang Hujan

Sedikit sering saya punya pengalaman menjalin komunikasi dengan pawang hujan. Kira-kira sudah lebih dari tiga kali, pun dengan teknik yang berbeda-beda. Selain itu saya juga punya beberapa referensi teknis 'meminggirkan hujan' dari beberapa teman. Saya tidak akan mencoba menghakimi fenomena pawang hujan dari perspektif umum, saya hanya mencoba memahaminya dari pengalaman sendiri.

Di lingkup masyarakat Jawa, eksistensi pawang hujan masih dianggap penting, apalagi kalau punya agenda rame-rame atau acara, pasti pawang hujan akan dilibatkan. Pawang hujan itu punya metode serta syarat yang berbeda-beda, setiap pawang hujan sekadar mengupayakan supaya hujan tidak sampai jatuh di lokasi acara dengan cara meminggirkan mendung-mendung, tapi soal berhasil atau tidak, semua pawang hujan sepakat untuk pasrah kepada Gusti.

Pawang hujan menetapkan tenggat waktu berdasarkan metode yang mereka tempuh. Ada yang baru bersedia menjadi pawang hujan sebuah acara asalkan dihubungi minimal seminggu sebelum acara, tapi ada juga pawang hujan yang bebas dihubungi kapanpun.

Suatu hari saya menggelar acara kesenian di sebuah lapangan salah satu Sekolah Dasar di daerah Kabupaten Mojokerto tahun 2017. Nama acaranya Mojosari Art Week. Pelaksanaan Mojosari Art Week dilaksanakan satu bulan penuh dengan agenda tiap minggunya satu kali acara. Di Sekolah Dasar itulah acara puncak akan digelar.

Karena acara yang digelar butuh banyak konsentrasi, kami (panitia) sampai lupa melibatkan pawang hujan. Padahal di tiga agenda acara sebelumnya, hujan berulang kali turun. Seandainya tidak diingatkan seorang warga sekitar SD, mungkin kami tidak akan mengontak pawang hujan.

Kami pun berdiskusi, apakah memang perlu menggunakan jasa pawang hujan. Saya pribadi merasa bahwa saat itu memang perlu melibatkan pawang hujan. Sebab teringat bahwa setahun yang lalu, saya pernah membuat  acara kethoprak massal di Serangan Umum Satu Maret Yogyakarta, saat acara dimulai hujan turun dengan deras sampai pukul sebelas malam. Mau tidak mau, acara kethoprak baru dimulai setelah hujan. Tentu saja saya emoh mengalami hal seperti itu lagi.

Setelah berdiskusi, diputuskan bahwa kami harus pakai jasa pawang hujan. Seorang kawan menyodorkan nama pawang yang tak jauh dari rumahnya. Maka kawan tersebut saya minta menghubungi pawang yang dimaksud. Soal biaya, diurus belakangan, begitu kata saya.

Besoknya, di H-1 acara, kawan tersebut mengajak saya mengunjungi rumah pawang sekali lagi. Katanya, dari yang ia dapat dari pawang, yang minta tolong harus yang punya acara atau dalam hal ini sama dengan pimpinan acara.

Rumah pawang hujan yang saya dan Silo (kawan saya) kunjungi ternyata seperti rumah orang kebanyakan. Kata Silo, pawang tersebut aktif ikut pengajian dan menjadi salah satu anggota klub hadrah desa. Sang pawang menyambut kami, lalu saya menyampaikan maksud kedatangan. Sang pawang malah memberi respon berupa tarikan nafas panjang sembari bilang, "Wah, kok ndadak mas. Gak ket wingi-wingi. Ya tak jajal ae ya, tak ewangi sakisokku, kasil ta gak e kersane Sing Nggawe Urip." Beliu mengundurkan diri, masuk ke dalam rumah.

Kami yang menunggu di ruang tamu mendengar suara pukulan berkali-kali. Saya sempat menanyakan kejadian itu kepada Silo, tapi dia sendiri tidak tahu persis apa yang terjadi. Suara pukulan semakin keras, membuat kami mematung clingak-clinguk, karena merasa bersalah dengan ke-ndadak-an kami.

Selang beberapa menit, sang pawang keluar dari dalam rumah, kemudian menyerahkan beras kuning dengan bubuk kuning yang beraroma kunir. "Iki sampeyan gawa, sampeyan sebarno nang pojok-pojok panggon acara, pas nyebarno maca al fatehah lan kulhu telu ping pitu, karo donga supaya udane ora tiba nang lokasi."

Keesokan harinya, saya melakukan persis seperti yang dikatakan sang pawang. Di setiap sudut venue deplokan kunir dan beras kuning pemberian sang pawang saya sebarkan. Gelagat saya seperti orang klenikus, supaya tidak terkesan klenik, saya selalu pura-pura duduk sambil rokokan. Setelah menyebarkan deplokan kunir dan beras kuning, hal yang tak lazim mulai terjadi. Dari keempat penjuru mendung berdatangan, tapi langit di atas venue acara kami tetap berwarna biru. Sementara itu, saya mendapat kabar kalau di daerah dusun sebelah hujan sudah turun dengan derasnya.

Para warga desa yang menyadari peristiwa itu hanya geleng-geleng kepala sambil berujar, "Sakti temen pawange, rek. Nganggo pawang ndi?" Pertanyaan tersebut saya tafsirkan sebagai upaya warga mencari referensi pawang hujan bagi acaranya di kemudian hari.

Kira-kira tujuh bulan setelah Mojosari Art Week, kami dipasrahi menggarap event Puisi Menolak Korupsi besutan Sosiawan Leak. Karena teringat bahwa saya tidak boleh dadakan meminta bantuan jasa pawang hujan, maka H-7 acara saya menghubungi pawang hujan. Kali ini pawangnya berbeda. Kami memakai pawang yang lain.

Saat berkunjung, seperti biasa, kami menyampaikan maksud kedatangan kami. Sang pawang masuk ke dalam rumah, hanya sebentar dan tidak ada suara pukulan. Setelah itu dia keluar sembari menyerahkan satu plastik kecil yang berisi garam. "Iki gawanen, sampeyan sembahyango terus pepak, sakmarine sembahyang wacanen al fatehah ping telu karo donga iki." Saya diberi rapalan doa, sayangnya saya sudah lupa bagaimana doanya.

Selama tujuh hari penuh saya sembahyang lima waktu. Tak ada yang bolong. Sungguh keajaiban bagi saya sendiri. Bahkan di sela-sela agenda ngopi pun saya curi-curi waktu untuk sembahyang. Setiap usai sembahyang, saya membaca apa yang diberikan sang pawang.

Pada saat acara dilaksanakan, ternyata hal yang terjadi di luar dugaan. Sebab hujan turun dengan derasnya. Orang-orang mulai mencibir kami, dan kami cuma bisa menjelaskan bahwa pawang yang kami pasrahi berbeda dengan pawang di acara sebelumnya.

Saya tidak tahu kenapa kedua pawang tersebut memberi hasil yang berbeda. Nanti coba saya telusuri kenapa berbeda. Sebenarnya saya sendiri punya paman yang menurut desas-desus punya kemampuan mawangi udan. Saya pernah memergokinya saat beraksi menggiring mendung-mendung di suatu pernikahan saudara.

Paman saya metodenya cukup unik. Dia tidak bekerja dari jarak jauh atau dari rumah, tapi dia datang ke lokasi acara. Ketika di lokasi acara, tangan paman saya bersilang di dada sendhakep, dan dia tidak bicara sepatah kata pun. Waktu itu mendung memang tebal di langit, anehnya ada angin besar yang mendorong mendung keluar dari area lokasi pernikahan.

Salah seorang sepupu kemudian berseloroh, mengajak bercanda paman saya. Tanpa paman saya sadari, ia menimpali ucapan sepupu tersebut, bahkan melepas posisi sendhakepnya, tak urung tiba-tiba turun gerimis yang cukup intens. Semua yang ada di sekitar pun segera tertawa kemekelen sambil berucap, "Wah pawange gak fokus. Iki gerimis iki lho. Gak guyon ae talah." Menyadari keteledorannya, paman saya langsung cepat-cepat menyilangkan tangan kembali dan diam. Seketika, gerimis pun reda.

Ada cerita lain terkait metode mawangi udan. Ini saya dapat dari beberapa teman. Ada yang ritualnya menanam keris kecil di lokasi acara, ada juga yang menyendiri di dalam kamar, dan ada juga yang melakukan puasa serta ritual-ritual tertentu sebelum pelaksanaan. Bahkan ada juga pawang yang berjalan keliling lokasi acara sampai tujuh kali sambil membaca rapalan doa tertentu.  

Bersambung...

(Ing tulisan nomer loro bakal tak critani ritual-ritual ngundang udan lan penyalahgunaan pawang udan sajroning acara-acara ing Yogyakarta)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun