Mohon tunggu...
Muhammad Hasan
Muhammad Hasan Mohon Tunggu... Relawan - Mahasiswa

Menjadi orang yang berguna

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penodaan dan Pelecehan Agama

24 Mei 2019   16:15 Diperbarui: 24 Mei 2019   16:18 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di zaman sekarang, penodaan dan pelecehan agama marak terjadi, di dalam negeri maupun di luar negeri. Entah dalam politik maupin akibat gerakan-gerakan aliran yang keras meneror agama-agama yang ada di dunia. Karena kesalahpahaman yang berujung akibat yang tak pernah berakhir. Oleh karena itu, kita perlu menelaah dalam Al - Qur'an tentang penodaan dan pelecehan agama.

"Dan kalau Allah mengehendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan-(Nya). Dan Kami tidak menjadikan engkau pemeliharaan bagi mereka; dan engkau sekali-kali bukanlah pemelihara bagi mereka." (Q.S. Al-An'am:107.)

Memang Kami tahu dan menyaksikan, bahwa mereka mengganggumu bahkan mempersekutukan Allah, tetapi sebenarnya jika Allah menghendaki, maka tentu mereka tidak akan mengganggumu, dan juga kalau Allah menghendaki mereka beriman kepada-Nya niscaya, sejak semula mereka tidak menjadikan engkau hai Nabi Muhammad pengawas bagi mereka; dan engkau sekali-kali atas kemauan sendiri bukan pemelihara mereka.Firman-Nya: jika Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan Allah, tidak dapat dijadikan dalih oleh siapapun bahwa dalam hal keimanan dan kekufuran mereka berada dalam lingkungan kehendak mutlak Allah, sehingga menjadikan mereka bebas dari tanggung jawab.

Penggalan ayat ini lebih banyak dimaksudkan untuk menghibur Rasul saw yang sangat sedih dengan kedurhakaan mereka. Untuk itu Allah menyatakan bahwa sebenarnya Allah kuasa menjadikan mereka beriman dan taat dengan cara-cara tertentu, misalnya dengan mencabut hak pilih mereka, sehingga mereka langsung dapat percaya atau menghidangkan hal-hal yang luar biasa, atau mencabut ciri-ciri kemanusiaan mereka sehingga setiap orang tidak mempunyai pilihan kecuali percaya dan bertakwa. 

  Allah swt berkuasa melakukan itu semua, tetapi ini tidak dikehendaki-Nya, karena Dia bermaksud menguji manusia dan mengundang mereka agar beriman melalui kesadaran serta berdasar bukti-bukti yang mereka yakini lagi memuaskan jiwa mereka. Dari sini Dia mengutus para rasul untuk mengajak, menasehati dan menjelaskan ajaran; bukan untuk memaksa, menindas, atau memerkosa pikiran nurani manusia.

Makna inilah yang dimaksud oleh penggalan ayat di atas, karena itu pula Al-Qur'an antara lain menegaskan bahwa: "Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: 'Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) bapak-bapak kami. Dan tidak juga kami mengharamkan barang sesuatu apapun'. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: 'Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami? Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta". (QS. Al-An'am [6]: 148).

 Ayat ini menggabungkan kata () hafizh dan kata()  wakil. Keduanya memiliki makna memiliki makna yang mirip tetapi mengandung perbedaan. Muhammad Sayyid Thanthawi menilai bahwa hafidz mengandung arti mengawasi untuk memberi sanksi dan ganjaran, sedang wakil berarti mengatur urusan mereka dan mengelolanya. Nabi tidak berfungsi demikian terhadap mereka tetapi fungsi beliau hanya menyampaikan.

 Thahir Ibn Asyur memahami kata hafidzh dalam arti pengawas dalam rangka menjadikan mereka beriman. Tulisnya tentang makna ayat ii: "Hai Muhammad jangan risaukan keberpalingan mereka dari ajakan dan ketiadaan sambutan mereka atas da'wahmu, karena tiada tanggung jawab atasmu dalam hal itu. Adapun wakil maka ini pun - tulisnya -- mengandung makna yang sama. Hanya saja ia dapat berarti engkau tidak mewakili Kami (Allah) menghadapi mereka". Dengan demikian penggalan itu merupakan mengahadapi mereka. Dengan demikian penggalan itu merupakan penyempurnaan dari penggalan lalu yang menyatakan "Kami tidak menjadikan engkau pengawas bagi mereka".

 Penggalan ayat di atas dapat juga berarti "engkau tidak mewakili mereka dalam mengurus kemaslahatan mereka". Dan ini merupakan penegasan yang lebih menyeluruh tentang tiadanya tanggung jawab Nabi saw. Atas tingkah laku mereka.

Thabathaba'i menulis bahwa agaknya yang dimaksud dengan hafidzh adalah yang bertanggung jawab menangani urusan mereka menyangkut kehidupan, perkembangan dan pertumbuhan, rezeki dan sebagainya.

 Sedang wakil adalah yang bertanggung jawab menangani urusan pekerjaan mereka menyangkut perolehan manfaat atau penghindaran mudharat yang dapat menyangkut perolehan manfaat atau penghindaran mudharat yang dapat tertuju atau menimpa siapa yang diwakili. Dengan demikian, maksud ayat ini menurut Thabathaba'i adalah: "Bukan terpulang kepadamu Hai Nabi Muhammad saw. Urusan kehidupan duniawi mereka, tidak juga kehidupan beragama mereka, sehingga dengan demikian penolakan mereka tidak perlu menyedihkanmu".

Betapa pun perbedaan pendapat di atas, yang jelas kata wakil dapat merupakan penugasan dari pihak lain atau kehendak sendiri, sedang hafidzh merupakan penugasan dari Allah dengan adanya kata yang mendahuluinya yaitu menjadikan engkau. Sayyid Quthub mengomentari ayat di atas bahwa penggalan terakhir ayat ini memberi tuntunan kepada Rasul saw. Dalam menentukan lapangan yang hendaknya menjadi perhatian dan aktivitas beliau, serta menentukan pula lapangan tersebut untuk para khalifah dan penganjur agamanya diseluruh penjuru dunia dan setiap generasi. Penganjur agama -- tulis Sayyid Quthub -- tidak boleh menggantungkan hati, harapan dan aktivitasnya kepada mereka yang berpaling dan menentang dakwah, yang hatinya tidak terbuka untuk menyambut bukti-bukti kebenaran serta ajakan iman.

Penganjur agama seharusnya memusatkan hatinya dan mengarahkan harapan dan aktivitasnya kepada mereka yang mendengar dan memperkenankan. Mereka itu sangat membutuhkan pembinaan kepribadian mereka secara utuh sesuai dengan prinsip ajaran yang mereka anut, yaitu prinsip akidah. Mereka membutuhkan adanya gambaran yang utuh serta mendalam tentang eksitensi wujud dan hidup atas dasar akidah itu. Mereka membutuhkan pembinaan akhlak dan tingkah laku. Mereka membutuhkan pembinaan masyarakat mereka yang kecil atas dasar prinsip itu juga. Ini semua memerlukan tenaga dan perhatian dalam mengerjakan.

Adapun mereka yang berada pada sisi yang bertentangan, maka yang wajar buat mereka adalah pengabaian dan ketidakpedulian setelah dakwah disampaikan. Ketika kebenaran tumbuh berkembang Allah swt. Menerapkan sunnah/ketentuan-Nya dalam kehidupan bermasyarakat, dan ketika itu Dia akan "melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap".

Adalah menjadikan kewajiban untuk memunculkan hak dalam bentuknya yang benar dan sempurna, sedang kebathilan, maka itu mudah dan usianya pun tidak panjang. Sayyid Quthub menutup keterangannya bahwa walaupun Rasul saw. Diperintah untuk mengabaikan orang-orang musyrik tetapi ayat berikut tetap mengarahkan kaum mukmin agar pengabaian itu dilakukan secara sopan dan terhormat serta keseluruhan yang sesuai dengan kedudukan orang-orang mukmin.

"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, maka (akibatnya) mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami perindah bagi setiap umat amal mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan". (Q.S. Al-An'am:108.)

Setelah memberi petunjuk kepada Nabi saw. Sebagai pemimpin umat sehingga otomatis termasuk juga kaum muslim, kini bimbingan secara khusus ditujukan kepada kaum muslim. Bimbingan ini menyangkut larangan mencaci tuhan-tuhan mereka yang boleh jadi dilakukan oleh kaum muslim, terdorong oleh emosi menghadapi gangguan kaum musyrik atau ketidaktahuan mereka. Hal ini tidak mungkin akan terjadi dari Nabi Muhammad saw. Yang sangat luhur budi pekertinya lagi bukan seorang pemaki dan pencerca.

 Karena itu redaksi ayat ini hanya ditujukan kepada jamaah kaum muslim memaki sembahan-sembahan seperti berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah, karena jika kamu memakinya maka akibatnya mereka akan memaki pula Allah dengan melampaui batas atau secara tergesa-gesa tanpa berfikir dan tanpa pengetahuan.

 Apa yang dapat mereka lakukan dari cacian itu sama dengan apa yang telah dilakukan oleh kaum musyrik yang lain sepanjang masa, karena demikianlah Kami memperindah bagi setiap umat, amal buruk mereka akibat kebejatan budi mereka dan akibat godaan setan terhadap mereka. Tetapi jangan duga mereka akan lepas dari tanggung jawab, karena kemudian, yakni nanti setelah datang waktu yang ditentukan, yang boleh jadi kamu anggap lama -- sebagaimana dipahami dari kata () tsumma -- kepada Tuhan merekalah yang sampai saat ini masih terus memelihara mereka, kembali mereka, yakni pada akhirnya mereka pasti kembali kepada Allah swt. Lalu tanpa waktu yang lama, Dia yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui itu memberitakan kepada mereka apa yang dahulu terus menerus mereka kerjakan, sehingga dengan pemberitaan itu mereka disiksa dan sadar bahwa mereka memang wajar mendapat balasan yang setimpal.

Kata () tasubbu, terambil dari kata () sabba yaitu ucapan yang mengandung makna penghinaan terhadap sesuatu, atau pernisbahan suatu kekurangan atau aib terhadapnya, baik hal itu benar demikian, lebih-lebih jika tidak benar. Sementara ulama menggaris bawahi bahwa bukan termasuk dalam pengertian kata ini, mempersalahkan satu pendapat atau perbuatan, juga tidak termasuk penilaian sesat terhadap satu agama, bila penilaian itu bersumber dari penganut agama lain. Pendapat terakhir ini tentu saja benar, selama tidak menimbulkan dampak negatif dalam masyarakat.

Tentu saja tidak termasuk dalam larangan ini, menyebutkan kelemahan-kelemahan pandangan satu kepercayaan selama dikemukakan di kalangan sendiri, atau dikemukakan dalam bahasa yang sopan atau dalam bentuk pertanyaan yang tidak menyinggung.

Bahwa ayat ini melarang memaki kepercayaan kaum musyrik, karena makian tidak menghasilkan sesuatu menyangkut kemashlahatan agama. Agama Islam datang membuktikan kebenaran, sedang makian biasanya ditempuh oleh mereka yang lemah.

Sebaliknya dengan makian boleh jadi kebatilan dapat nampak dihadapan orang-orang awam sebagai pemenang, karena itu suara keras si pemaki dan kekotoran lidahnya tidak pantas dilakukan oleh seseorang muslim yang harus memelihara lidah dan tingkah lakunya.

Di sisi lain, makian dapat menimbulkan antipati terhadap yang memaki, sehingga jika hal itu dilakukan oleh seorang muslim, maka yang dimaki akan semakin menjauh. Ayat di atas menggunakan kata () alladzina yang menunjuk kepada berhala-berhala sesembahan kaum musyrik, satu kata yang hanya digunakan kepada makhluk berakal dan berkehendak. Agaknya kata tersebut sengaja dipilih disini untuk menunjukan betapa sembahan-sembahan jangan dimaki, karena kaum musyrik percaya bahwa berhala-berhala itu berakal dan berkehendak. Demikinan lebih kurang al-Biqa'i.

 Larangan memaki tuhan-tuhan dan kepercayaan pihak lain merupakan tuntutan agama, guna memelihara kesucian agama-agama dan guna menciptakan rasa aman serta hubungan harmonis antar ummat beragama. Manusia sangat mudah terpancing emosinya bila agama dan kepercayaannya disinggung. Ini merupakan tabiat manusia apapun kedudukan sosial atau tingkat pengetahuannya, karena agama bersemi di dalam hati penganutnya, sedang hati adalah sumber emosi. Berbeda dengan pengetahuan, yang mengandalkan akal dan pikiran. Karena itu dengan mudah seseorang mengubah pendapat ilmiahnya, tetapi sangat sulit mengubah kepercayaannya walau bukti-bukti kekeliruan kepercyaan telah terhidang kepadanya.

 Ayat ini dijadikan salah satu alasan untuk menguatkan pendapat tentang apa yang dinamai oleh penganut mazhab malik ( ) saddudz-dzari'ah yakni menampik peluang atau melarang sesuatu yang dibenarkan agama agar tidak timbul sesuatu yang dilarang agama. Atau mencegah segala macam faktor yang dapat menimbulkan kemudaratan. Paling tidak ayat ini dapat dijadikan dasar bagi gugurnya kewajiban amar ma'ruf dan nahi mungkar, apabila dikhawatirkan lahir mudarat yang lebih besar bila kewajiban itu dilaksanan.

 Kata () 'adwan dapat berarti permusuhan dan melampaui batas, dan dapat juga diartikan lari/tergesa-gesa. Penyebutan kata itu di sini memberi isyarat bahwa setiap pelecehan agama - apapun agama itu - merupakan pelampauan batas serta mengundang permusuhan. Ia bukan berarti bahwa kaum muslim yang mencaci berhala atau kepercayaan kaum musyrik tidak melakukan penganiayaan, sebagaimana diduga oleh sementara penafsir.

Lanjutan pada hakikatnya tidak memiliki pengetahuan. Kalau yang dicacinya adalah agama yang hak, maka kebodohannya sangat jelas, dan bila yang dicacinya agama yang sesat, maka ia pun tidak memiliki pengetahuan tentang larangan Allah ini.  Ada juga yang memahami kata tanpa pengetahuan ditujukan kepada kaum musyrik itu. Dalam arti bila mereka membalas makian dengan memaki Allah, maka ketika itu sebenarnya mereka lakukan tanpa sadar dan tidak tahu bahwa mereka memaki Allah.

Bukankah mereka juga mengakui keagungan Allah, walau dengan cara keliru, yaitu dengan menyembah berhala-berhala sebagai perentara? Kalau demikian, merekapun sebenarnya tidak memaki Allah. Jika sekiranya terjadi makian, maka itu karena tanpa pengetahuan dan kesadaran. Makian mereka ketika itu, boleh jadi hanya terdorong oleh emosi untuk menjengkelkan kaum muslim, yang mengagungkan Allah swt.

Firman-Nya: Demikianlah Kami perindah bagi setiap umat amal mereka dibahas panjang lebar oleh para mufassir, sesuai dengan pandangan mereka tentang hubungan antara perbuatan manusia dengan Allah swt.

Al-Alusi pakar tafsir dan tasawuf beraliran sunni menulis bahwa ayat ini merupakan argumentasi yang membuktikan bahwa Allah swt. Yang memperindah untuk orang kafir kekufurannya sebagaimana memperindah untuk orang mukmin keimanannya. Pendapat ini ditolak oleh banyak pakar khususnya penganut aliran Mu'tazilah, yaitu kelompok teolog muslim yang sangat mengandalkan rasio.

Sayyid Muhammad Thanthawi mengemukakan dalam tafsirnya bahwa ayat ini bermakna: "Seperti pengindahan itulah yang mengakibatkan kaum musyrik membela kepercayaan mereka yang sesat karena kebodohan dan pelampauan batas/permusuhan mereka, - seperti itulah -- Kami perindah untuk satu ummat dari seluruh ummat amal-amal mereka. Apakah baik atau buruk, keimanan atau kekufuran, karena telah berlaku ketentuan Kami menyangkut tabiat manusia bahwa mereka menganggap baik kebiasaan mereka serta mempertahankan tradisi mereka".

"Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa sungguh jika datang kepada mereka sesuatu bukti pastilah mereka beriman. Katakanlah: 'Sesungguhnya ayat-ayat itu hanya berada di sisi Allah'. Dan apakah yang menjadikan kamu merasa bahwa apabila mukjizat telah datang mereka tidak beriman?" (Q.S. Al-An'am:109.)

"Dan Kami memalingkan hati mereka dan penglihatan mereka seperti mereka belum beriman kepadanya pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka dalam pelampauan batas mereka terus menerus bingung". (Q.S. Al-An'am:110.)

 Hati yang tidak beriman dengan ayat-ayat Allah yang terhampar dalam wujud ini dan tidak tersugesti dengan ayat-ayat Allah yang terhampar dalam jiwa manusia dan semesta, maka hendaknya ia segera menghadap Rabbnya dan berlindung kepada-Nya. Karena hatinya ini adalah hati yang sudah terbalik, yang baginya sudah sulit untuk beriman dengan mudah. Sementara itu, kaum muslimin yang mengusulkan untuk memenuhi permintaan mereka itu, sama sekali tidak mengetahui bahwa orang-orang kafir itu akan tetap saja tidak beriman setelah tanda-tanda itu ditunjukkan kepada mereka.

 Allahlah yang mengetahui hakikat hati mereka itu. Dia membiarkan para pendusta itu untuk tetap buta dalam kesesatan mereka. Karena Dia mengetahui bahwa mereka pantas mendapatkan balasan pendustaan mereka itu, sebagaimana Dia tahu bahwa mereka tidak akan memenuhi panggilan kebenaran. 

Mereka tidak memenuhi panggilan kebenaran meskipun malaikat turun kepada mereka, seperti yang mereka pinta! Juga seandainya orang-orang mati dibangkitkan dan berbicara kepada mereka, seperti yang mereka usulkan juga! Bahkan, seandainya Allah mengumpulkan segala hal di semesta ini untuk menghadapi mereka dan mengajak mereka kepada keimanan, tetaplah mereka tidak beriman.

Mereka tidak beriman, kecuali jika Allah menghendaki. Karena, Allah tidak menghendakinya, mengingat mereka tidak berusaha meminta kepada Allah agar Dia menunjukkan mereka kepada-Nya. Inilah hakikat yang tidak diketahui oleh banyak orang tentang sifat hati manusia. Yang kurang pada diri orang-orang yang tenggelam dalam kesesatan itu bukanlah karena di depan mereka tidak terdapat petunjuk dan bukti kebenaran. Namun, kekurangannya adalah penyakit yang ada di hati mereka, kemacetan dalam fitrah mereka, dan matinya batin mereka.

Petunjuk (hidayah) adalah balasan yang hanya layak didapatkan oleh orang-orang yang mencarinya, dan yang berusaha mendapatkannya.

A. Tafsir Surah Al-Hajj ayat 17.

"Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi'in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan orang-orang musyrik. Sesungguhnya Allah akan memberi putusan di antara mereka pada hari Kiamat. Sesungguhnya Allah atas segala sesuatu Maha Menyaksikan". (Q.S. Al-Hajj:17.)

 Setelah ayat-ayat yang lalu menguraikan sikap manusia terhadap dakwah Rasul saw, ada yang sesat karena disesatkan, ada pula yang menyesatkan, ada yang ragu menyembah Allah di pinggiran, dan ada juga yang beriman, kini ayat diatas berbicara tentang sikap manusia menyangkut aneka agama-agama serta apa yang akan mereka hadapi di hari Kemudian.  Ayat ini menyatakan bahwa : Sesungguhnya orang-orang beriman yakni beriman kepada Nabi Muhammad saw., orang-orang Yahudi yang mengaku beriman kepada Nabi Musa as, orang-orang Shabi'in penyembah binatang atau malaikat, orang-orang Nasrani yang mengaku beriman kepada Isa as, orang-orang Majusi para penyembah api dan orang-orang musyrik yang menyembah berhala -- semua penganut agama dan kepercayaan yang berselisih satu sama lain itu, sesungguhnya Allah akan memberi putusan di antara mereka pada hari Kiamat.

Yakni Dia akan menentukan siapakah di antara mereka yang benar dan siapa pula yang salah. Sesungguhnya Allah atau segala sesuatu Maha Menyaksikan dan Mengetahui serta akan memberi balasan sesuai dengan amal perbuatan mereka semua itu.

Ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah [2]: 62, penulis antara lain menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata ( )   hadu adalah orang-orang Yahudi. Mereka dalam bahasa Arab disebut () yahud. Sementara ulama berpendapat bahwa kata ini terambil dari bahasa Ibrani () yahudza. Dalam bahasa Arab kata ini ditulis hanya dengan sedikit sekali perbedaan yaitu meletakkan titik di atas huruf ( ) dal. Perlu di ingat bahwa peletakkan titik dan baris pada aksara Arab dikenal jauh setelah turunnya al-Qur'an. Disisi lain, bahasa Arab sering kali mengubah pengucapan satu kata asing yang diserapnya. Di sini hal tersebut pun demikian. Penamaan tersebut-tersebut Thahir Ibn' Asyur baru dikenal setelah kematian Nabi Sulaiman as, sekitar 975 S.M. Ada juga yang memahami kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang berarti kembali yakni bertaubat. Mereka dinamai demikian karena mereka bertaubat dari penyembahan anak sapi.

Penulis mengamati bahwa Al-Qur'an tidak menggunakan kata yahud kecuali dalam konteks kecaman, agaknya itulah sebabnya maka disini tidak digunakan kata tersebut tetapi digunakan kata () hadu. Memang tidak tepat dalam konteks ayat ini mereka dikecam, karena yang ditekankan disini ialah adanya perselisihan yang kelak akan ditentukannya yang salah dan siapa yang benar melalui peradilan Ilahi. Dalam keadaan demikian,yang bersalah  pun belum dapat ditetapkan bersalah, karena status tersangka belum dapat dinyatakan bersalah atau dikecam sebelum jatuhnya putusan.

Thahir Ibn Asyur berpendapat lain. Menurutnya, kerajaan Bani Israil terbagi dua setelah kematian Nabi Sulaiman as.Yang pertama adalah kerajaan putra Nabi Sulaiman bernama Rahbi'am dengan ibu kotanya Yerusalem. Kerajaan ini tidak di ikuti kecuali cucu Yahudza dan cucu Benyamin. Sedang kerjaan kedua dipimpin oleh Yurbi'am putra Banath, salah seorang anak buah Nabi Sulaiman as, yang gagah berani dan disertai oleh beliau kekuasaan yang berpusat di Samirah. Ia digelar dengan sebutan raja Isra'il.

 Tetapi masyarakatnya sangat bejat dan mengaburkan ajaran agama. Mereka menyembah berhala dan akhirnya kekuasaan mereka porak-poranda, bahkan mereka diperbudak lalu kerajaan itu punah setelah 250 tahun. Sejak itu tidak ada lagi kekuasaan dan kerajaan Bani Isra'il kecuali kerajaan pertama di atas, dan ini bertahan sampai dihancurkan pada tahun120 SM. Oleh Adrian, salah seorang penguasa Imperium Romawi, dan yang mengusir mereka sehingga terpencar ke mana-mana. Agaknya-tulis Ibn Asyur mereka itulah yang dimaksud dengan hadu, dan karena itu ayat ini menggunakannya walaupun pada akhirnya kata ini mencakup semua yang beragama Yahudi.

Kata () an-nashara terambil dari kata () nashirah yaitu satu wilayah di Palestina , dimana Maryam ibu Nabi Isa as. Dibesarkan dan dari sana dalam keadaan mengandung Isa as, beliau menuju ke Bitul Maqdis, tetapi sebelum beliau melahirkan Isa as. di Betlehem. Dari sini sehingga Nabi Isa as digelar Bani Israil dengan Yasu, begitu pula pengikut-pengikut beliau dinamai Nashara yang merupakan bentuk jamak dari kata Nashiry dan Nashiriy, menunjuk kota tempat Maryam as. Dibesarkan.

Kata () al-majus dikenal sebagai orang-orang yang percaya dan mengikuti ajaran Zaradasyt, namun sejarah hidup dan masa tokoh ini tidak jelas. Ada yang menduga sekitar enam abad sebelum Masehi. Kitab sucinya pun telah tiada setalah Alexender The Great menguasai Iran, walau kemudian ditulis kembali ditulis kembali pada masa raja-raja Sasan dan dinamai Zandavesta. Penganut kepercayaan ini bersekte-sekte, namun pada prinsipnya mereka mengakui adanya  dua penguasa dan pengatur alam raya, pengatur kebaikan dan kejahatan. Yakni tuhan cahaya yang bernama Yazdan atau Ahuramazda, dan tuhan gelap yaitu Ahrumun. Mereka meyakini adanya malaikat-malaikat serta berusaha mendekatkan diri kepadanya, tetapi mereka tidak menyembah berhala, mereka menyembah api. Penganut agama ini, pada masa lalu banyak bermukim di Iran, India dan Cina.

Kata ()  ash-shabi'in ada yang berpendapat terambil dari kata ( ) shaba' yang berarti muncul dan nampak. Misalnya ketika melukiskan bintang yang muncul. Dari sini ada yang memahami istilah al-Qur'an ini dalam arti penyembah binatang. Ada juga yang memahaminya terambil dari kata Saba' yaitu suatu daerah di Yaman, di mana pernah berkuasa Ratu Balqis dan penduduknya menyembah matahari dan bintang. Ada lagi yang berpandapat bahwa kata ini adalah kata lama dari bahasa Arab yang digunakan oleh penduduk Mesopotamia di Irak.

Kata () syahid berkisar maknanya pada kehadiran, pengetahuan, informasi dan kesaksian. Allah syahid dalam arti Dia hadir, tidak gaib dari segala sesuatu, serta menyaksikan segala sesuatu (QS. Saba' [34]: 47) atau disaksikan oleh segala sesuatu -- melalui bukti-bukti kehadiran-Nya di alam raya (QS. Ibrahim [14]: 10) atau melalui potensi yang dianugerahkan-Nya kepada setiap manusia dan makhluk Allah berfirman:

"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi" (QS. Al-A'raf [7]:  172)

"Kepunyaan-Nya-lah siapa saja yang ada dilangit dan ada dibumi. Semuanya hanya tunduk kepada-Nya" (QS. Ar-Rum [30]: 26).

Imam Ghazali ketika menjelaskan makna sifat ini membandingkannya dengan sifat-sifat Allah yang lain. Makna sifat ini -- menurutnya -- sejalan dengan sifat 'Alim (Maha Mengetahui), dengan kekhususan tersendiri. Allah Maha Mengetahui yang gaib dan nyata. Yang gaib adalah yang tersembunyi, sedang syahadah adalah antonim yang gaib, yakni yang nyata, maka dengan sifat al-Khabir Dia mengetahui yang gaib dan hal-hal yang bersifat batiniah. Sedang asy-Syahid adalah pengetahuan-Nya menyangkut hal-hal nyata.

Istilah penodaan agama diambil dari pasal 156a KUHP, dan Undang-Undang Nomor 1 PNPS tahun 1965. Penodaan agama diartikan sebagai perbuatan dengan mengeluarkan perasaaan permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan agama. Penodaan agama bisa muncul melalui perbuatan lisan, tulisan ataupun perbuatan lainnya.

 Semua perbuatan di anggap menodai agama jika tujuan pokoknya untuk memusuhi atau menghina suatu agama.

 

            Ada tiga jenis keputusan hakim yang digunakan untuk mengadili seseorang yang melecehkan atau menodakan agama, yaitu:

 

a.         Putusan bebas: Tindak pidana yang didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Dengan kata lain, tidak dipenuhinya ketentuan asas minimum pembuktian (yaitu dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah) dan disertai keyakinan hakim. (Vide Pasal 183 KUHAP)

 

b.         Putusan lepas dari tuntutan hukum: Segala tuntutan hukum atas perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaaan jaksa/penuntut umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, akan tetapi terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana, karena perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.

 

c.         Putusan pemidanaan: Pada dasarnya putusan pemidanaan dapat dijatuhkan, apabila telah dipenuhinya syarat objektif dan subjektif yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun