Adam Smith adalah seorang filsuf yang berasal dari Skotlandia. Dia kini dikenang sebagai bapak ekonomi modern. Dia merumuskan prinsip-prinsip ekonomi yang hingga kini masih menjadi pijakan global. Namun, menyebut nama Smith hanya sebagai ekonom sesungguhnya terlalu menyempitkan perannya. Dia juga adalah seorang pemikir moral yang menempatkan empati dan simpati sebagai fondasi kehidupan sosial.
Adam Smith lahir pada 16 Juni 1723 di Kirkcaldy, sebuah kota kecil di Skotlandia. Sejak muda, ia dikenal tekun dan haus pengetahuan. Setelah menempuh pendidikan di Oxford dan kemudian mengajar di Universitas Glasgow, Smith menjelajahi berbagai bidang ilmu, dari filsafat moral hingga ilmu ekonomi yang saat itu belum berdiri sebagai disiplin yang mandiri. Perjumpaannya dengan dunia akademik dan kehidupan sosial membentuk pemikiran besar yang dituangkannya dalam dua karya utama: The Theory of Moral Sentiments (1759) dan An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776).
Banyak orang mengenal Smith lewat karyanya yang berjudul The Wealth of Nations, karya monumental yang menegaskan pentingnya kebebasan ekonomi dan perdagangan bebas. Di dalam karya tersebut, dia memperkenalkan konsep invisible hand atau tangan tak terlihat. Menurut Smith, setiap individu yang mengejar kepentingannya sendiri justru tanpa sadar berkontribusi pada kemakmuran bersama. Sebagai contoh, demi mendapatkan keuntungan yang maksimal, seorang pedagang akan berupaya menyediakan barang berkualitas dengan harga bersaing dan, secara tidak langsung, hal itu jelas menguntungkan masyarakat. Mekanisme yang digambarkan Smith semacam itu yang pada akhirnya akan membuat pasar mampu mengatur dirinya sendiri. Dalam pasar bebas, seolah ada tangan tak terlihat yang bekerja di balik layar.
Namun, penting untuk diingat bahwa Smith tidak pernah membayangkan pasar sebagai ruang yang tanpa batas dan tanpa etika. Dalam karya selanjutnya yang berjudul The Theory of Moral Sentiments, dia menegaskan bahwa manusia bukanlah makhluk yang hanya digerakkan oleh kepentingan pribadi, tetapi juga oleh rasa simpati dan empati. Menurut Smith, kita sesungguhnya memiliki dorongan alami untuk ikut memahami dan merasakan apa yang dialami orang lain. Dari sanalah moralitas bertumbuh. Tindakan kita menjadi bermakna jika kita mampu mempertimbangkan perasaan orang lain, bukan sekadar mengejar keuntungan belaka.
Keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan sentimen moral itulah  yang membuat pemikiran Smith begitu istimewa. Dia tidak hanya berbicara tentang perdagangan, produksi atau keuntungan, tetapi juga menekankan pentingnya tanggung jawab sosial. Baginya, masyarakat yang sehat dapat tercipta sejauh kebebasan ekonominya berjalan seiring dengan kesadaran moral untuk saling menghormati dan mendukung satu sama lain.
Hal menarik lainnya adalah pandangan Smith tentang perdagangan internasional. Dia menolak proteksionisme yang membatasi pertukaran antarnegara. Menurutnya, perdagangan bebas memungkinkan setiap bangsa untuk fokus pada keunggulan masing-masing sehingga akan menjadi lebih efisien. Dengan berdagang, negara-negara dapat saling mencukupi sehingga idealnya akan mencapai kemakmuran bersama. Pemikirannya itu kemudian menjadi dasar teori perdagangan modern yang kita kenal hingga hari ini.
Warisan Smith bukan hanya pada teori ekonomi yang membentuk arah kapitalisme, tetapi juga pada filsafat moral yang menekankan simpati dan empati sebagai perekat masyarakat. Ia menunjukkan bahwa kemakmuran sejati tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai moral. Di satu sisi, pasar bebas memberi ruang bebas bagi inovasi dan persaingan yang sehat. Di sisi yang lain, moralitas harus memastikan bahwa kebebasan semacam itu tidak menjelma menjadi eksploitasi atau ketidakadilan.
Membaca Adam Smith di masa ekonomi digital seperti hari ini mungkin saja terkesan 'ketinggalan zaman'. Namun, saya justru menemukan poin yang menarik yang menjadikan pemikirannya tetap relevan. Kita hidup di dunia yang menjunjung tinggi kebebasan ekonomi, tetapi pada saat yang sama kerap dihadapkan pada persoalan ketidaksetaraan dan krisis moral. Pada poin itulah, ajaran Smith masih perlu kita renungkan, bahwasannya kebebasan pasar memang penting, tetapi bila dioperasikan tanpa simpati, pasar akan berubah menjadi mesin yang dingin dan tanpa arah.
Kebebasan ekonomi memang tidak boleh dipisahkan dari kesadaran moral. Persaingan memang menggerakkan kemajuan, tetapi empati menjaga agar kemajuan itu tetap manusiawi. Pada akhirnya, kita diingatkan bahwa kemakmuran sejati hanya mungkin terwujud ketika setiap individu tidak hanya berpikir tentang dirinya sendiri, melainkan juga tentang kesejahteraan bersama.