Mohon tunggu...
Sanaha Purba
Sanaha Purba Mohon Tunggu... Penulis

Selamat datang di kolom Yohanes Sanaha Purba, ruang inspirasi bagi para pencari ilmu dan pemikir kritis. Saya adalah seorang penulis, pendidik, dan pencinta filsafat yang berkomitmen menghadirkan wawasan bernas dalam dunia filsafat, bahasa, dan edukasi. Kunjungi juga youtube saya, https://www.youtube.com/@Sanahapurba Untuk ngobrol serius, silahkan email saya di sanaha.purba@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

GEORGE BERKELEY | Dunia yang Ada adalah yang Dipikirkan

27 September 2025   19:00 Diperbarui: 20 September 2025   20:33 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Ketika kita berbicara tentang realitas, biasanya yang terlintas di benak kita adalah dunia material yang bisa disentuh, dilihat, dan dirasakan. Namun, pernahkah Anda membayangkan jika semua itu sesungguhnya tidak benar-benar ada, kecuali di dalam pikiran kita? Pertanyaan itulah yang diajukan George Berkeley, filsuf asal Irlandia yang lahir pada 12 Maret 1685. Radikal bukan gagasannya?

Meski merupakan seorang yang jenius, Berkeley menjalani hidup yang sederhana. Ia belajar di Universitas Dublin. Setelahnya, dia menjadi pendeta di gereja Katolik Anglikan. Namun, kesederhanaan hidupnya sama sekali tidak mengurangi keberaniannya dalam berpikir dan mengajukan gagasan. Ia menantang salah satu pandangan yang paling mapan dalam filsafat masa itu. Pandangan yang dia tolak menyatakan bahwa dunia material adalah sesuatu yang berdiri sendiri secara independen, terlepas dari pikiran.

Berkebalikan dari arus utama filsafat di jamannya, Berkeley percaya bahwa kenyataan sejati bukanlah materi, melainkan pikiran dan persepsi. Prinsip utama Berkeley yang terkenal berbunyi esse est percipi yang artinya "ada berarti dipersepsikan". Bayangkan sebuah pohon di hutan. Menurut pemikiran umum, pohon itu tetap ada walau tidak ada seorang pun yang melihatnya. Tetapi bagi Berkeley, pohon itu hanya benar-benar ada sejauh ada pikiran yang memersepsikannya. Dengan kata lain, tanpa persepsi, benda apa pun kehilangan eksistensinya. Pemikiran Berkeley yang semacam itu jelas mengguncang perbincangan filosofis masa itu. Ia seolah menantang intuisi kita yang paling dasar tentang dunia sehari-hari.

Bagaimana mungkin benda tidak memiliki wujud independen? Jawaban Berkeley adalah bahwa manusia tidak pernah benar-benar mengetahui benda itu sendiri. Apa yang kita ketahui hanyalah persepsi, seperti warna yang tertangkap oleh mata, suara yang terdengar di telinga, atau tekstur yang terasa di kulit. Semua pengalaman itu berlangsung dalam kesadaran, bukan di luar sana. Jadi, apa yang kita sebut "dunia" sesungguhnya tidak lain adalah jaringan persepsi yang berlangsung terus-menerus dalam pikiran.

Namun, Berkeley bukanlah seorang pemikir skeptis yang menolak keberadaan dunia sama sekali. Baginya, ada penjamin yang memastikan dunia tetap konsisten meski manusia tidak selalu mengamatinya, yaitu Tuhan. Tuhan, menurut Berkeley, adalah pikiran tertinggi yang selalu memersepsikan segala sesuatu. Karena itulah, bahkan ketika tidak ada manusia yang menyaksikan sebuah gunung atau sungai, gunung dan sungai itu tetap ada, sebab selalu hadir dalam pandangan Tuhan. Dengan memasukkan Tuhan sebagai pusat, Berkeley mengubah filsafat menjadi lebih spiritual. Dunia bukanlah materi kaku tanpa makna, melainkan bagian dari kesadaran ilahi yang abadi.

Tidak mengherankan bila pandangan Berkeley membuatnya harus berseberangan dengan kelompok pemikir filsafat materialisme yang menjadi arus utama pada zamannya. Materialisme meyakini bahwa dunia terdiri dari benda-benda yang independen dan objektif, terlepas dari siapa pun yang melihat. Berkeley menilai anggapan itu tidak memiliki dasar kuat. Baginya, kita tidak pernah bisa membuktikan adanya materi yang benar-benar berdiri sendiri di luar pengetahuan kita. Manusia hanya memiliki hanyalah pengalaman inderawi sebagai modal dasar pengetahuan dan kesadarannya. Dengan menghapus materi sebagai entitas yang terpisah dari kesadaran manusia, Berkeley justru berusaha membawa filsafat ke arah yang lebih spiritual dan dekat dengan dimensi batin manusia.

Pada masa selanjutnya, pandangan Berkeley menjadi salah satu fondasi bagi berdirinya aliran idealisme dalam filsafat. Banyak pemikir besar setelahnya, seperti Immanuel Kant, dipengaruhi oleh keberanian Berkeley dalam menegaskan hubungan erat antara pikiran dan dunia luar. Meski Berkeley sendiri tidak mendapat pengakuan yang besar sepanjang masa hidupnya, warisan pemikirannya akhirnya mendapatkan sorotan yang serius pada abad-19 dan 20. Pada masa setelah kematiannya, ia justru kembali dibaca dalam konteks subjektivisme, fenomenologi dan juga sebagai jembatan menuju pemikiran modern tentang kesadaran.

Kini, lebih dari tiga abad setelah kelahirannya, ide Berkeley masih relevan bagi kita. Dia seolah mengajak kita merenungkan kembali hubungan antara kenyataan dan persepsi. Apa yang kita anggap nyata, apakah betul kenyataan berdiri di luar diri kita, ataukah kenyataan lahir dari cara kita melihat dan merasakannya? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tidak sekadar permainan intelektual. Pemikiran Berkeley menyentuh cara kita memahami kehidupan kita sehari-hari. Bagaimana kita menafsirkan peristiwa, bagaimana kita memaknai pengalaman, semua itu bergantung pada lensa persepsi.

Dari Berkeley, saya belajar bahwa filsafat bukan sekadars berisi perdebatan tentang konsep abstrak, melainkan juga ajakan untuk melihat dunia dengan kesadaran yang baru. Dengan menyadari bahwa persepsi membentuk realitas, kita terdorong untuk lebih berhati-hati dalam menilai sesuatu. Selain itu, dengan memahami gagasan bahwa Tuhan selalu hadir sebagai penjamin keberadaan dunia, saya merasa diajak Berkeley untuk melihat bahwa di balik segala keterbatasan kita sebagai manusia, ada sesuatu yang lebih tinggi yang menopang eksistensi kita. Itulah mengapa Berkeley tetap pantas dikenang, bukan hanya sebagai pemikir yang radikal, tetapi juga sebagai filsuf yang menempatkan pikiran dan spiritualitas di pusat kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun