Mohon tunggu...
Samuel HasudunganTampubolon
Samuel HasudunganTampubolon Mohon Tunggu... Seseorang yang senang belajar dan mengajar

Boleh berganti buah, tapi jangan lupa akar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jadilah Orang Lain, Jadi Diri Sendiri Itu Tidak Perlu

21 Mei 2020   21:29 Diperbarui: 21 Mei 2020   21:31 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tulisan ini jangan diambil hati, namanya juga tulisan dari seorang yang kena isolasi.

Let's start

Tulisan ini bukan tentang percaya diri. Kalau tentang percaya diri, nanti jatoh nya terlalu dikaitkan dengan rasa minder dan rasa malu. Karena minder, malu, adalah tidak percaya diri. Gak, bukan itu yang kita bicarain di sini.

Kita juga gak bicarain tentang pura-pura jadi orang lain atau kehilangan jati diri. Karena kalau dibilang jadi orang lain, jatoh nya bakalan jadi menghindari kesamaan-kesamaan yang sebenarnya tidak bisa dihindarkan. Sok beda tapi gak jelas arahnya kemana.

Misalnya lu pengen jadi seperti seorang Alm. B. J Habibie dengan segala pencapaian beliau. Lu akan coba cari biografi hidup beliau. Bagimana saat beliau kuliah di Bandung. 

Bagimana saat beliau kuliah di Jerman. Bagaimana kecintaan beliau akan ilmu pengetahuan, teknologi, fisika, penerbangan, dll. Mungkin lu juga akan cari terkait kiprah beliau dalam dunia politik. 

Dengan mengetahui hal-hal tersebut, lantas lu dapat memperjelas arah langkah yang lu mau tempuh. Bahkan, lu jadi tau dimana kurang lu. Misalnya lu kurang kurang di Fisika, maka lu akan belajar Fisika lebih serius bahkan ikut olimpiade bila perlu. 

Misalnya lu kurang di Bahasa Jerman, tapi lumayan tahu Bahasa Jepang, ya mungkin lu bisa lanjut sekolah teknologi mesin ke Jepang, gak harus Jerman. Misalnya lu kurang di Bahasa Inggris, ya lu akan berusaha mencari cara biar jago Bahasa Inggris, misalnya cari pacar yang Bahasa Inggris nya udah lancar, terus tiap hari pacaran pakai Bahasa Inggris kan keren juga tuh. Tapi tujuan tetap sama, yaitu menjadi seperti B. J Habibie.

Pernah gak sih dengar joke gombal yang kayak gini, "aku pengen yang cantik, yg manis, yg baik, yg kayak kamu lah pokoknya, kalau bisa sih kamu aja sama aku." Nah itu, semua karakter, prinsip, ciri, dan target yang ingin kita capai, pasti ada aja lah wujudnya dalam bentuk seseorang.

Ketika bicara diri sendiri, bisa jadi terlalu dikekang oleh identitias atau label. Misalnya suku. Padahal, with all respect, suku yang disematkan atau dilabeli kapada kita adalah warisan dari orang tua kita. 

Kita gak milih dilahirkan jadi suku apa. Namun berbeda dengan agama, menurutku gak lazim orang pindah suku, tentu saja karena beberapa karakteristik fisik yang terus melekat hingga akhir hayat. Ortu kita suku A, ya kita jadi suku A juga dong. Ayah suku A, ibu suku B, ya kita suku AB campuran. 

Bukan hanya itu, segala tradisi dan budaya dari suku itu akan diajarkan pada kita dan kita pakai sehari-hari. Tapi misalnya ada hal yang bertentangan dengan hal yang ingin kita capai, ku rasa sah-sah aja bila agak menyimpang dikit kalau toh untuk hal yang positif. 

Namun terkadang penyimpangan yang dimaksud ini arahnya terlalu bertentangan dengan nilai-nilai yang ada pada suku yang diwariskan pada kita. Sehingga muncullah omongan kalau kita gak jadi diri sendiri lah, kita lupa sama akar lah, kita lupa jati diri lah.

Menurutku, keterkaitan dengan suku biasanya lebih dalam daripada kebangsaan atau nationality, karena bukan hal baru untuk pindah kewarganegaraan dengan cara mengurus dokumen. Kalau pindah suku ya gimana coba??? Aku ada kenal orang yang sudah jadi warga negara asing, tapi prinsip-prinsip yang ada pada suku nya tetap dia pegang teguh.

Pernah dengar istilah 'amati-tiru-modifikasi'? Kalau pernah, bagaimana dengan istilah 'amati-tiru-titik' aja? Mungkin kita pernah melakukannya. Mungkin kita amati lalu kita tiru tanpa modifikasi. Misalnya ketika baca buku atau dengar ceramah terkait cara penyelesaian suatu masalah. Terus kita amati apa yang orang itu katakan lalu kita tiru tok udah gitu aja. 

Kadang butuh modifikasi. Bagus sih kalau modifikasi ke arah yang lebih baik, ke arah yang berkembang lebih maju. Tapi kalau modifikasi supaya gak diomelin nyinyir orang lain dan malah hasil jadi gak maksimal, ini nih yang gak banget.

Kalau kita punya idola yang kita pengen banget bisa jadi kayak dia, tentu banyak hal yang jadi lebih terukur. Banyak langkahnya yang bisa kita ikuti. Aku gak mendukung plagiat dalam bentuk karya, tapi ada kalanya jika saat ini kita sedang memiliki masalah seperti yang idola kita sudah alami bertahun lalu, ya apa salahnya kita tiru cara penyelesaian masalahnya. 

Apa salahnya kita tiru caranya mencapai prestasinya. Modifikasi boleh saja, terutama terkait perkembangan zaman. Kalau idola kita menyelesaikannya dengan cara 3 tahun lalu, pasti ada yang beda dengan cara saat ini kan. Itu aja sih paling. Tapi yang jelas, jadi lebih terukur dan terarah.

Kalau orang yang kita idolakan juara olimpiade fisika 3 tahun lalu, lalu aku juara olimpiade fisika tahu ini, ya itu gak termasuk kategori meniru dong. Menirunya  tuh gak di situ. Menirunya tuh  ada pada cara belajar si idola yang kita ikuti. Menirunya tuh  ada pada cara si idola dalam mengatur waktu.

Apa sih yang lu harapkan dari berusaha selalu menjadi diri sendiri, menghindari menjadi orang lain, dan selalu menjadi siapa lu yang sebenarnya? Sejauh apa lu bisa bertahan menjadi se-original mungkin? 

Apa sih hal terbaik yang mungkin terjadi bila selalu menghindari menjadi orang lain? Bahkan, sadar atau tidak sadar, bisa jadi sehabis kita nonton film atau sinetron berjam-jam berhari-hari, cara ngomong kita bisa jadi mirip sama yang ada di film itu.

Apa sih kemungkinan terburuk yang bisa terjadi jika kita jadi orang lain tanpa perlu dibeda-bedain? Kalau yang dimaksud dengan menjadi orang lain dalam hal cara penyelesaian permasalahan atau prestasi yang ingin dicapai, malah banyak hal yang jadinya terukur jelas.

Mungkin anda pernah dengar, 'aku ingin seperti nenek!' atau 'aku ingin seperti paman!' Hal ini jelas terukur, misalnya pendidikan si nenek D-1, maka si anak pengen juga jadi D-1. Dalam hal melampaui, misalnya si paman punya 3 toko, maka si anak pengen punya 5 toko. Tentu ada cerita dalam hidup si nenek bagaimana bisa dapat gelar D-1 pada zamannya. 

Tentu ada perjuangan dari si paman bagaimana mengelola 3 toko. Semua hal itu terukur, tinggal ditiru. Silahkan dimodifikasi sesuai zaman. Kalau D-1 zaman dulu mungkin sekarang setara S-2. Kalau dulu 3 toko dalam bentuk ruko, sekarang jualan via e-commerce, tapi gudangnya ada 5.

Sekarang kita coba yang bersifat antonim deh. Mungkin si nenek terkena diabetes, maka hal itu juga patut dihindari. Bisa dicari tahu dan diukur juga hal-hal yang menyebabkan diabetes dan hal-hal yang menghindarkan dari diabetes. Mungkin si paman kecanduan anggur merah campur kolak tengah malam, maka hal itu juga sangat dapat dicari tahu dan diukur untuk sebisa mungkin dihindari.

Apakah kita harus sepenuhnya meniru gaya hidup seseorang agar mencapai prestasinya? Aku gak mau bullshit dengan bilang ambil positifnya dan buang negatifnya. 

Aku malah lebih percaya bahwa bayak hal yang terjadi secara sistematis tehubung sebab-akibat antara satu dengan yang lainnya. Dimana ketika satu elemen dibuang, maka hasilnya jadi beda. Kalau beda resep ya beda hasil. 

Mungkin kebiasaan si nenek diabetes bermula dari gaya kehidupan di kampusnya. Mungkin karena si paman kecanduan anggur merah campur kolak tengah malam bareng teman-teman, tokonya jadi rame dan gak ada maling yang berani masuk tengash malam. Ya contoh yang gak masuk akal sih, tapi you know what I mean lah.

Istilah meniru atau menjadi orang lain pada tulisan ini jelas sebuah hiperbola. Apalagi istilah tidak perlu jadi diri sendiri. Bukan artinya lu ganti nama pas waktu tes CPNS. Beda dengan KTP pula. 

Bukan karena tahun lalu ada teman yang namanya Abdul masuk BUMN, terus pas lu tes BUMN lu pakai naman Abdul padahal nama lu Samsul. Terdapat karakterisitk, ciri, dan prinsip pada diri kita. 

Khususnya bagi yang masih merasa muda dan mencari jati diri, meniru gaya hidup orang lain, terutama dalam hal pemecahan masalah dan target prestasi yang ingin dicapai, bisa dijadikan pilihan. 

Silahkan pilih idola, lalu fake it until you make it. Blak-blakan aja, aku iri dengan orang seumuran yang punya pendapatan lebih besar. Gak salah kalau ku jadikan idola dong. Gak salah juga jika ada dari gaya hidupnya dan cara penyelesaian masalahnya yang ku tiru.

Banyak orang yang ngedance di Tiktok atau sosmed, yang sebenarnya adalah melakukan atau menirukan dance yang lagi trending naik dan secara rating lumayan tinggi. 

Jujur aku pernah karena menonton acara kesukaanku dan diendorse sebuah snack, aku jadi suka snack itu, padahal sebelumnya jarang banget beli yang snack merek itu. Ada juga satu atasanku, lumayan inspiratif orangnya, dia workaholic abis. Di sisi lain, dia suka banget minum suatu jenis kopi, yang sekarang aku malah suka kopi itu.

Akhir cerita, gini deh, kalau kita bisa meniru karena kena endorse orang lain atau meniru sebuah dance viral dari orang lain, wajar sih kalau kita juga tiru gaya hidup orang lain, terkhusus dalam hal pemecahan masalah yang pernah dia alami dalam mencapai prestasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun