Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

BIN & Din Minimi: Think Differently?

30 Desember 2015   11:08 Diperbarui: 30 Desember 2015   11:26 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: SERAMBI INDONESIA

Menarik sekali ketika kepala BIN Sutiyoso mengungkapkan bahwa pemerintah akan memberikan amnesti kepada kelompok Din Minimi. Sontak beberapa komentar dan pendapat dari kalangan "yang merasa lebih berhak" dan "lebih tahu" mengemuka di media massa. Salah satunya adalah dari Kapolri yang lebih meminta agar kelompok tersebut diproses hukum (link berita) dan anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon yang mengkritik bahwa pola pemberian amnesti bisa menyuburkan praktik separatisme daerah (link berita). Apakah itu memang seharusnya? Atau kekhawatiran politisi itu akan terbukti?

Pertimbangan Hukum vs Holistik

Saya kira pendapat Kapolri mengenai kelanjutan proses hukum untuk kelompok Din Minimi memang sudah sesuai prosedur. Kelompok Din Minimi juga sudah banyak melakukan pelanggaran hukum. Jadi wajar saja harus diproses bukan? Kalau berpatokan kepada pemikiran itu maka saya kira hampir semua orang akan mengamini. Tapi persoalan separatisme bukanlah persoalan kriminal biasa. Walau sama-sama berangkat dari ketidakpuasan dengan kondisi internal maupun eksternal, ada perbedaan hakiki antara separatisme dan kriminal biasa yang sebaiknya memang harus diproses secara hukum.

Kriminalitas perorangan atau kelompok kecil relatif lebih mudah diatasi dengan prosedur hukum. Sementara separatisme lebih kompleks dan potensi untuk meluas serta tumbuh laten lebih besar.  Kita harus belajar dari sejarah bahwa hasil dari menghadapi gerakan separatisme lebih jarang sukses bila hanya mengedepankan aspek hukum dan prosedur formal. Banyak aspek psikologis dan sosial lainnya yang lebih sukses berperan dalam mengantisipasi, meredam bahkan mematikan gerakan separatis. Ingat sejarah Timor Timur dan Aceh di era 70 dan 80-an. Yang terjadi adalah pertumpahan darah diantara kita dan saudara kita di daerah tersebut dalam waktu yang cukup lama.

Hukum memang harus jadi panglima. Tapi menurut saya, pendekatan holistik lebih mumpuni untuk mengatasi gerakan separatis seperti kelompok Din Minimi ini. Saya mendukung kebijakan BIN untuk mengakomodir dan membantu memberikan amnesti dari pemerintah kepada kelompok mereka. Dengan adanya amnesti maka mereka akan kembali ke masyarakat. Mereka akan menjadi masyarakat biasa lagi dan itu artinya mereka harus mengikuti aturan dan kesepakatan seperti orang kebanyakan. Jadi kembali ke titik awal untuk hidup normal. Pasti Din Minimi dan kelompoknya tahu konsekwensi menjadi orang biasa dan artinya mereka siap tunduk dengan itu. Lalu apa untungnya menghukum mereka? Kenapa tidak memberi kesempatan bagi saudara kita yang mau kembali dan bergabung dengan masyarakat.


Saya yakin mereka akan berpikir dua kali bila ingin melawan hukum di masa depan karena sekarang situasinya sudah berbeda. Dan jangan lupa bahwa masyarakat juga akan berbeda pendapatnya nanti karena sudah melihat bahwa negara sudah mau merangkul dan memaafkan mereka. Lalu untuk apa lagi bikin perlawanan? Bukankah lebih baik berdiskusi dan mengeluarkan pendapat seperti layaknya masyarakat lain?

Memaafkan bukan berarti tunduk kepada mereka. Malah menurut saya menunjukkan bahwa pemerintah sekarang lebih pede dengan kekuatannya. Pemerintah melalui BIN menunjukkan kewibawaan dan posisi lebih menentukan daripada kelompok separatis tersebut. Coba pikirkan, kalau hanya menyerbu dan menangkapi mereka saja, bukankah itu cara setingkat dan selevel dengan mereka? Belum lagi melihat hasil proses selama ini yang tidak selalu sukses. Ada yang memang harus melalui cara keras tapi tentunya setelah proses negosiasi tidak menemui titik temu.

BIN, menurut saya, sudah melakukan strategi cerdik dan bijak. Tidak perlu melakukan tindakan represif. Merangkul lawan lebih daripada merangkul sahabat. Strategi itu yang diajarkan oleh ahli perang kuno Sun Tzu, dan saya kira masih sangat relevan saat ini. Masyarakat sendiri tetap akan ada pro dan kontra. Belum tentu semua berpikir bahwa memberi ampun berarti pemerintah lembek dan tunduk. Namun lebih kepada menunjukkan kemampuan negosiasi yang baik, menghindari semaksimal mungkin pertumpahan darah, dan mengedepankan pendekatan holistik daripada militeristik kaku.

Kemungkinan Dibalik Skenario Amnesti

Kenapa BIN berusaha membantu untuk  mendapatkan amnesti? Hal ini yang lebih menarik perhatian saya daripada berita heboh seputar respon mengenai pengampunan itu.

Saya menganalisa bahwa BIN di era Sutiyoso sudah berbeda dengan era sebelumnya. Kini tantangan semakin pelik dan kompleks. Pendekatan yang hanya mengedepankan kekuatan prosedur dan hukum yang kaku terbukti tidak bisa mengurangi potensi gangguan keamanan separatisme. Diperparah lagi dengan kondisi geopolitik di dunia yang semakin menyuburkan separatisme global seperti Al-qaeda dan ISIS. Terbukti terjadi evolusi gerakan separatis dari waktu ke waktu. Dan Indonesia selalu menjadi panggung percobaan yang menarik hati karena kondisi ekonomi, politik dan demografinya.

Di era sebelum Sutiyoso, banyak yang berpendapat bahwa BIN terkesan mandul dan tidak mampu menangani gangguan keamanan dengan baik. Data intelijen yang diharapkan bisa membantu aparat keamanan dianggap tidak efektif dalam menangani berbagai kasus daerah dan nasional. Bahkan dulu ada ledekan untuk hal ini yaitu Intel  Melayu. Dinilai lamban, bergerak setelah ada kejadian, dsb. Sebenarnya itu hanya stigma publik saja. Tidak mudah melakukan kegiatan intelijen untuk negara sekompleks Indonesia ini. Bandingkan saja dengan CIA dan FBI di Amerika, walau sudah anggaran luar biasa masih kecolongan juga bukan?

Berbeda dengan kedua lembaga negara adidaya tersebut, BIN milik negara kita ini lebih hemat biaya (alias anggaran terbatas) dan pasti ada dampaknya terhadapa produktivitas kerjanya bukan? Belum lagi soal koordinasi antar lembaga. Menurut saya seharusnya BIN berdiri sendiri seperti layaknya sebuah lembaga intelijen. Tapi namanya Indonesia, mereka diletakkan dibawah departemen hankam. Jadi publik memandang BIN dengan kacamata hankam yaitu prosedur hukum atau pola militeristik. Padahal tugas BIN seharusnya lebih luas daripada bermain di ranah hukum dan aturan formal biasa.

BIN harus mampu masuk ke lini yang tidak terbayangkan oleh kita. Pendekatan hukum hanyalah salah satunya dan itulah yang kita kira seharusnya dilakukan oleh mereka bukan? Padahal dalam kenyataannya, banyak model pendekatan yang harus diterapkan. Bahkan metode yang penuh dengan intrik, kekerasan, perang psikologis, penyusupan dan infitrasi bukan hal yang aneh bagi badan intelijen di negara manapun di dunia ini, termasuk BIN. Jadi memaksa BIN hanya melakukan satu pendekatan saja sama artinya menyuruh seorang koki memasak dengan hanya satu tangan atau satu kaki. Bisa tapi jangan harap hasilnya maksimal.

Lalu mengapa BIN melakukan pendekatan persuasif? Coba kita bandingkan dengan gerakan ISIS saat ini. Terlepas dari kontroversi apakah ISIS bentukan Amerika atau bukan, mayoritas pengamat intelijen akan setuju bahwa pendekatan Amerika Serikat yang gegabahlah yang semakin memicu gerakan separatis global tersebut. Api dilawan dengan api, mata diganti dengan mata. Hasilnya adalah perang yang tidak berkesudahan sampai sekarang. Bahkan semakin ramai dengan contoh aktual Perang Syria.

Pemberian amnesti adalah pendekatan holistik yang bagus. Membuat para pelaku menurun tensinya dan berpikir keras apakah mau lanjut atau tidak? Jika anda seorang anggota separatis, anda akan paham bahwa pendekatan humanis dan sosial jauh lebih berdampak daripada tindakan represif  bertamengkan hukum. Berbeda dengan gaya Amerika melalui CIA yang mengobok-obok negara Timur Tengah, BIN memilih pendekatan "diluar kebiasaan". Wajar saja Kapolri langsung merespon dengan pendekatan hukum karena itulah cara berpikir prosedural. Tapi apakah kita tidak bisa belajar dari sejarah kita sendiri?

Pemberian amnesti akan memakan waktu dan banyak terjadi dialog. Dalam hal inilah BIN bisa mempelajari dan mengenal kelompok separatis Din Minimi lebih intens. Banyak sekali hal penting yang bisa didapat dengan komunikasi langsung. Pendekatan dan model pembelajaran ini memang belum tidak mudah diimplementasikan ke kelompok separatis lain di Indonesia, tapi bayangkan betapa penghematan biaya, waktu dan nyawa yang didapat dari cara ini bukan?

Kemungkinan Di Masa Depan

Tentu proses amnesti yang dijanjikan masih bisa berubah dalam praktiknya nanti. Kelompok Din Minimi juga tidak bodoh mengantisipasi hal itu. Hanya saja mereka tetap memilih menyerah dan kembali kepada keluarga. Artinya pemerintah melalui BIN mampu meyakinkan mereka bahwa permintaan mereka akan dipertimbangkan dan diupayakan untuk terwujud.

Berita ini akan tersebar kesemua daerah. Alih-alih menyuburkan separatisme di daerah, hal ini akan membuka pintu pemikiran bahwa pemerintah bisa diajak berdialog. Bisa diajak mendengar keluhan dan jeritan hati kaum separatis tanpa jalan kekerasan dan perang yang tidak jelas kapan akan berakhir.

Suka atau tidak suka, kalau selalu mengedepankan prosedur hukum tanpa ada dialog dan negosiasi, maka ketegangan akan selalu muncul. Bila tidak berani memaafkan maka rekonsiliasi akan sulit tercapai. Dan bila tidak berani bertindak  berbeda maka hasilnya akan selalu sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun