Mohon tunggu...
Ganda Samson
Ganda Samson Mohon Tunggu... Ilmuwan - Hidup Matinya Seorang Penulis

Lahir di Pematang Siantar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

17 Oktober & Tali-temalinya

27 Oktober 2021   17:21 Diperbarui: 27 Oktober 2021   17:31 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tanggal 17 Oktober 1952, LetKol Kemal Idris mengarahkan moncong meriam ke istana . Setelah 3 Juli 1946, inilah peristiwa berikutnya yang mana terjadi pembangkangan secara langsung terhadap eksekutif yang dilakukan oleh tentara. Penyebabnya adalah kehendak legislatif mencampuri urusan intern sangat mencolok, dan presiden dianggap mendiamkan hal itu. Soekarno marah dan kemudian memecat Kolonel AH Nasution dari jabatan KSAD.

Sebagai gantinya, diangkatlah KSAD care taker, yang semakin membelah soliditas para perwira Angkatan Darat yang sebenarnya sudah retak sepeninggal Jenderal Soedirman. Dan meskipun Letnan Jenderal TB Simatupang tidak termasuk pendukung Nasution, dirinya juga meminta Soekarno mencopot lambang-lambang militer yang menempel di dadanya dengan alasan bahwa dia bukan tentara, dan revolusi telah selesai. "Kamu memang punya bakat besar memberaki saya" (sic!) ujar Soekarno menutup pembicaraan sambil melemparkan sisa kopi di gelas. Simatupang pun keluar ruangan sambil membanting pintu.

Soekarno kemudian menarik dan menempatkan Nasution kembali ke jabatan KSAD. Entah karena ada kesepakatan atau karena loyalitas baru, laki-laki asal Kotanopan itu mengusulkan kepada presiden supaya kembali ke UUD 1945 dengan dukungan tentara. Ini menunjukkan bahwa tentara dan Soekarno sebenarnya sama-sama tidak suka kepada legislatif, atau minimal berupaya menempatkan konstituante di bawah kekuasaannya.

Sejak itu Soekarno akrab dengan militer. Tetapi karakter Soekarno dan Nasution secara pribadi membawa keduanya tidak selalu selaras. Terutama ketika sejak 1951, DN Aidit membuat PKI menjadi kekuatan politik yang masif. Sebagai seorang santri, Nasution tidak menyukai PKI dan itu membuatnya berjarak dengan politik presiden. Mungkin dia terlalu frontal berhadapan dengan komunis, sementara Ahmad Yani memainkan kartu politik yang terkesan flamboyan, sehingga disukai oleh presiden.

==========

Sebelum 17 Oktober 1952, doktrin perang TNI adalah perang kemerdekaan. Pengalaman tempur bersama Jenderal Soedirman menjadi pembentuk karakter TNI, dengan semboyan "Merdeka 100%!". Tetapi memasuki tahun 1950an, sepeninggal Jenderal Soedirman, TNI harus menghadapi situasi baru yang sepenuhnya sulit dimengerti secara politik, dan tentara "tidak lagi memiliki seorang bapak yang mengayomi". Maka sangat wajar terjadi kebingungan, dan terlebih lagi "mau diapakan sebenarnya tentara ini?". TNI tidak mau diatur oleh legislatif, karena panglima tertinggi berada di pundak sang pemimpin eksekutif. Tetapi jika presiden membiarkan tentara "sulit diatur", tentunya situasi makin tidak terkendali.

Hemat saya, itulah latar belakang peristiwa pembangkangan itu sehingga sifat dan karakter politik pribadi semakin mendominasi langkah selanjutnya. Termasuk ketika berbagai pemberontakan telah selesai dipadamkan pada 1961 (RMS. PRRI/ Permesta, DI/TII dll), selanjutmya adalah politik (kembali). Bukan kebetulan pula, presiden adalah seorang orator yang doyan dengan riuh rendah politik massal. Maka ketika Komunisme menginfiltrasi tentara, usaha mencegah itu tak pernah serius dilakukan.

Harus dikatakan bahwa setelah peristiws 1952 itu, Soekarno tidak memiliki lawan-lawan politik kalangan sipil yang berarti. Tetapi tentara adalah lawan tanding yang diam-diam ternyata ganas, selain komunis di akhir pemerintahannya. Dalam kaitan ini, Nasution dan Simatupang -- dua perwira alumni Breda Bandung -- sebagai kreator Dwi Fungsi, tidak dapat dianggap remeh. Hanya saja, Simatupang kemudian lebih tertarik mendalami 3 Karl -- seperti pengakuannya. Sedangkan Nasution, seperti kita tahu, pada awalnya sangat berminat pada politik, tetapi akhirnya "malu-malu kucing", dan setelah Petisi 50 akhirnya 'dihabisi'. Entahlah.

==========

Meskipun kemudian Jenderal Ahmad Yani menjadi tumbal, tetapi jalan bagi militer untur berkuasa memang sudah terancang dengan rapi. Dan cara Soekarno mengontrol parlemen dengan memanfaatkan tentara menjadi sebuah contoh yang bertahan cukup lama, selama 30 tahun lebih. Massa yang riuh juga diredam dengan massa mengambang. Saya menyaksikan dari dekat bagaimana militer menjadi alat kekuasaan, di sebuah desa kecil di Sumatera Utara, pada 1984.

Artinya, peristiwa 17 Oktober 1952 itu adalah sebuah pemantik bagi sebuah jalan panjang kekuasaan yang dikehendaki tentara. Dan itu terjadi, mungkin saja karena pada 18 Agustus 1945 Soekarno tidak mengubah sistem yang telah tercipta secara sosiologis sejak berakhirnya tanam paksa, 1870. Masyarakat yang sepenuhnya sangat dikuasai oleh perasaan -- bukan rasio -- sementara negara menjalankan bussiness as usually. Tentu saja itu bukan semata kesalahan Soekarno. Proklamasi itu sendiri berlangsung dengan cepat dan pemindahan kekuasaan harus "berlangsung dalam tempo yang sesingkat-singkatnya'. Termasuk dalam dalam soal mengatur tentara yang sebenarnya sulit diatur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun