Mohon tunggu...
Ganda Samson
Ganda Samson Mohon Tunggu... Ilmuwan - Hidup Matinya Seorang Penulis

Lahir di Pematang Siantar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Politik Militer di Asia Tenggara: Sebuah Perbandingan?

12 Maret 2021   20:14 Diperbarui: 12 Maret 2021   20:28 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hampir seminggu setelah meletusnya kudeta militer di Myanmar, Presiden Joe Biden menyeru, "Kami akan terlebih dulu melihat reaksi sekitar tentang kondisi kudeta". Tentu yang dimaksud adalah Thailand, Tiongkok, Kamboja, Malaysia, dan juga pastinya Indonesia. Tapi mengapa Biden tidak langsung ke sumber masalah? Apakah ini ciri perbedaan kontras dengan cara-cara presiden Republik melihat persoalan?

Sebenarnya tidak. Sejak Eisenhower, Asia Tenggara adalah sebuah "kawasan X" di Asia Pasifik yang perlu diperhatikan dengan cermat, termasuk secara sosiologis.

***

Tidak seperti militer Thailand, tentara Myanmar sama sekali tidak bertendensi kultural. Mereka dibentuk oleh kebutuhan persaingan dan konflik antar etnis serta perang antarsuku di pedalaman. Jenderal Aung San (1949) telah mengusahakan persatuan dan nasionalisme. Konsep Reorganisasi dan Restrukturasi tentara lahir di tangannya. Tetapi bapak tentara Burma itu tidak panjang umur. Sepeninggal Aung San, konflik sosial menyebar kembali, juga diimbuhi ketidak-mampuan pemimpin-pemimpin sipil berpolitik pada level kebangsaan. Oligarki pun tumbuh menyeruak tanpa terkendali.

Tidak terlalu berlebihan jika mengatakan bahwa sejak dekade 1960an tak ada lagi negarawan yang lahir di tengah masyarakat Burma, bahkan hingga menjadi Myanmar (modern).

Tentu saja itu berbeda dari Muangthai. Sejak Dinasti Mongkut, raja adalah panglima tertinggi semua serdadu. Dapat pula dipastikan, semua rakyat tunduk pada raja tanpa kecuali. Raja adalah panutan, sebagaimana raja adalah philo sophia sekaligus teladan Theravada. Raja adalah kondisi ideal sekaligus fakta empirik yang terlalu diharapkan, meskipun akhir-akhir ini muncul pertanyaan besar, bagaimana semisal raja baru tidak sebijak ayahnya?

Seperti Myanmar, Vietnam dan Kamboja hampir setali tiga uang. Tetapi Perang Vietnam (1969-1975) 'mendidik' para serdadu mereka untuk menghormati peran dan jasa-jasa non-militer terhadap negara, khususnya tentang Nasionalisme dan Ideologi. Rezim militer dan wibawa kekuasaan tak ada artinya tanpa perjuangan gigih kelas sosial paling bawah, yang disana-sininya mengingatkan kita pada 'Vietnam Rose'; sebuah aforisma paling memalukan atas kekalahan pasukan Amerika Serikat di Asia Tenggara.

***

Sejak kemerdekaan-I dari Spanyol (1898), Filipphina memahami dirinya sebagai sebuah Nation yang ringkih. Tentu bukan soal negara kepulauan dan suku-suku yang proselitis, tetapi fakta bahwa posisi geografis mereka memang rentan diserang negara lain, sementara Spanyol tidak mewariskan blue print negara modern yang meyakinkan bagi negeri jajahan. Maka kolonialisme ke-II melalui Amerika Serikat seolah menjadi blessing disghuised.

Amerika Serikat lah yang membentuk angkatan perang Filipphina, sekaligus memperkenalkan gaya perang tradisional Amerika. Maka jangan heran jika sampai hari ini Filipphina selalu dijuluki negara berlagak coboy di Asia Tenggara, termasuk soal Demokrasi. Toh mereka tidak pernah merasa perlu malu soal Subic, pangkalan militer yang pada dekade 1980-an melahirkan sejumlah patologi sosial.

Setelah Corry Aquino, Jenderal Fidel Ramos menjadi presiden berikutnya. Di tangan Ramos lah ideologi dan proses Modernisasi militer Filiphina berhasil dibangun dan diperkuat.

***

Sementara Malaysia & Singapore adalah anggota Persemakmuran Britania Raya yang militernya berbaris seperti konvoi Angkatan Laut Inggris, Brunei Darussalam tetap melihat posisi pribadi Sultan Bolkiah untuk semua solusi, termasuk komando militer tanpa syarat. Tetapi tentu saja, Malaysia maupun Singapore takkan pernah melupakan ambisi Bolkiah saat membentuk Persekutuan Malaya tahun 1956/57 dulu. Sejarah mungkin akan membuktikan bahwa sepeninggal Bolkiah, apakah Brunei akan bergabung dengan salah satu diantara mereka sebagai sesama ex jajahan Inggris.            

Lebih dari itu, sejak Selat Malaka mulai dihampiri kapal-kapal VOC dulu, militer semenanjung tak bisa lepas dari soal mental. "Jadi bukan soal strategi, jumlah pasukan dan taktik perang", kata Dr. M, tahun 1997 lalu. Kalimat itu diutarakan persis pada saat mereka memenangkan Sipadan dan Ligitan dari Indonesia.

***

Mungkin benar, termasuk jika menggunakan perspektif Antropologis; menyebut Melayu adalah mengulik persoalan karakter sosial inheren manusia, bahkan sejak 'era keemasan Lancang Kuning' (Hang Tuah dan Hang Lekir).    

Apakah itu juga yang dimaksud Tun Abdul Razak bahwa "Sepanjang masa, membangun kerajaan Melayu tidak lain adalah soal "human capital"? Itu pulakah sebabnya Malaysia terus menggumuli kekuatan militer mereka pada era cyber war ini? 

Tetapi soalan yang melampaui kedua pertanyaan barusan itu justru agaknya harus diletakkan pada negara dominan Ras Melayu lainnya: Indonesia. Bagaimanakah sosiologi dan politik kemiliteran Indonesia, dulu ~ sekarang maupun nanti?

Hormat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun