Mohon tunggu...
Sampang Update
Sampang Update Mohon Tunggu... Admin

Tempat berbagi informasi seputar Kabupaten Sampang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

LPG Melon: Ketika Api Dapur Padam di Negeri yang Kaya Energi

24 April 2025   10:24 Diperbarui: 24 April 2025   10:24 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah rutinitas rumah tangga yang sederhana, tak banyak yang menduga bahwa sebuah tabung gas 3 kilogram yang akrab disebut LPG melon bisa menjadi barang "mewah". Tapi itulah kenyataan yang tengah dihadapi sebagian besar warga Kabupaten Sampang, termasuk mereka yang tinggal di pusat kota.

Rizkiyah, seorang ibu rumah tangga berusia 30 tahun yang tinggal di Kecamatan Kota Sampang, menggambarkan perjuangannya mendapatkan satu tabung LPG melon. Dari toko ke toko ia berkeliling, hanya untuk mendapati etalase kosong. Kelangkaan ini membuatnya terpaksa menunda memasak dan membeli makanan di warung. Sebuah keputusan yang tak hanya mengubah aktivitas dapur, tetapi juga memengaruhi pengeluaran keluarga.

Ketika HET Sekadar Angka di Atas Kertas

Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk LPG melon seharusnya berada di angka Rp18.000. Namun kenyataan di lapangan jauh dari itu. Di wilayah perkotaan, harga melon merangkak hingga Rp20.000, dan lebih ekstrem lagi di daerah pelosok, harga bisa tembus Rp28.000 per tabung.

Kepala Diskopindag Sampang, Chairijah, tidak menampik fenomena ini. Ia mengakui kelangkaan memang terjadi, dan keterlambatan pengiriman menjadi penyebab utama. Meskipun pengawasan distribusi bukan kewenangan dinasnya, ia berinisiatif melakukan koordinasi dengan Bagian Perekonomian Pemkab Sampang agar ada langkah solutif yang bisa diambil bersama.

Refleksi: Masak Jadi Tantangan, Subsidi Tak Menyentuh

Peristiwa ini seharusnya menjadi momentum refleksi: bagaimana mungkin barang yang disubsidi pemerintah justru menjadi beban baru bagi rakyat kecil?

Subsidi energi seharusnya hadir sebagai bantalan sosial, bukan sekadar skema anggaran. Bila distribusi tidak dikawal dengan baik, maka ia akan berubah menjadi ladang spekulasi, tempat para pengecer mengambil keuntungan lebih dengan alasan "stok menipis" atau "pasokan telat".

Apalagi di masa seperti sekarang, ketika kebutuhan dapur semakin menyesuaikan harga pasar, bukan isi kantong rakyat. Bagi banyak ibu rumah tangga, kelangkaan gas bukan soal ekonomi semata, tetapi juga soal ketahanan pangan keluarga: bagaimana menyajikan makanan hangat dengan keterbatasan yang makin menghimpit?

Menanti Arah dan Kepastian dari Pemerintah

Perlu langkah strategis dan cepat dari pemerintah daerah. Bukan hanya soal komunikasi antar instansi, tapi juga langkah konkret---apakah perlu operasi pasar? Perlu pengawasan ekstra di jalur distribusi? Atau, perlu penyusunan ulang zonasi distribusi gas subsidi agar lebih merata?

Krisis kecil seperti kelangkaan LPG ini mungkin terkesan biasa bagi sebagian orang, namun di dapur-dapur kecil keluarga Sampang, inilah realitas yang membentuk hari-hari mereka. Setiap lonjakan harga, setiap keterlambatan pasokan, selalu ada dampaknya yang nyata dan langsung terasa.

Semoga pemerintah tak hanya mendengar, tapi juga hadir lebih dekat. Karena kadang, kebutuhan yang paling dasar seperti menanak nasi pun kini harus antre dan tawar-menawar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun