Hasil dari kongres tersebut dibentuklah volksfront (front rakyat) pada 16 Januari 1946 dengan nama resmi persatuan perjuangan. Persatuan perjuangan inilah yang menjadi oposisi pertama sejak Indonesia merdeka. Bahkan Jendral Soedirman pun mendukung kemerdekaan 100% ala Tan Malaka dan kelompoknya.
Posisi Tan yang oposan ini nampaknya harus dibayar dengan mendekam di penjara. Tepatnya Maret 1946, Tan dimasukan ke penjara selama kurang lebih 3 tahun 6 bulan oleh bangsanya sendiri.
Murba dan Ajakan Grilya
Adam Malik dalam bukunya Mengabdi Rebublik: Volume 2 (1978) menyebutkan, Tan Malaka bebas tepat pada tanggal 16 September 1948. Kini saatnya ia bergerak, berjuang dengan prinsip yang diyakininya, yakni terus melawan, bergerilya, anti-diplomasi, demi kemerdekaan seutuhnya bagi rakyat Indonesia.
Belum genap tiga bulan menghirup udara segar, pada 7 November 1948, Tan mendeklarasikan Partai Murba sebagai kendaraan barunya dan kawan-kawan untuk menentang kebijakan diplomasi yang terus-menerus dilakukan pemerintahan Sukarno-Hatta dengan Belanda.
Tatkala Sukarno, Hatta,beserta para pemimpin RI lainnya ditangkap dan diasingkan ke luar Jawa, juga telah jatuhnya Yogyakarta ke tangan Belanda, tiba saatnya bagi Tan Malaka untuk unjuk gigi. Maka, pada 20 Desember 1948, Tan Malaka menyerukan pidato pemerintahan darurat di Kediri yang disiarkan ke segala penjuru melalui Radio Republik Jawa Timur.
"Dari sini,saya menyerukan pada seluruh rakyat di Indonesia, khususnya yang ada di daerah-daerah pendudukan, untuk melancarkan perlawanan gerilya, bebas dari perintah dan pengaruh kolonial, serta terlepas dari diplomasi perundingan," kata Tan Malaka berpidato
"Rebut kembali setiap jengkal tanah yang telah diduduki musuh, dan usirlah ia sampai laut dan kembalikan ke negeri asalnya... Tolak semua perintah gencatan senjata, dari siapapun datangnya, sebelum Belanda meninggalkan Indonesia!" serunya
Berkali-kali Tan Malaka menegaskan rakyat Indonesia harus kembali kepada semangat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan demikian, pidato Tan Malaka---yang menjadi landasan berdirinya pemerintahan darurat di Kediri---bukan untuk menggantikan proklamasi yang tiga tahun lalu dinyatakan oleh Sukarno-Hatta.
"Sudah tiga tahun perjuangan berjalan. Tapi politik diplomasi telah mengembalikan perjuangan kita pada taraf awal revolusi kita. Apakah kita akan berjuang dengan semua yang ada pada kita, ataukah akan kita biarkan Belanda mengatur nasib kita?" tukas Tan Malaka.
"Jika kita masih tetap percaya pada Proklamasi (17 Agustus 1945), dan tidak akan melakukan pengkhianatan terhadap para pahlawan, yang telah mempertahankannya dengan memberikan hidup mereka, maka seharusnya kita kembali kepada semangat Proklamasi, pada bambu runcing." Tan Malaka menutup pidatonya dengan seruan yang amat heroik.