Dalam bukunya Merdeka 100%, Tan menyebutkan bahwa kemerdekaan itu setidaknya memiliki isi kedaulatan. Lantas apa itu kedaulatan? Menurut Tan, kedaulatan adalah kekuasaan untuk memenuhi hak lahir dan batin dari seseorang atau golongan orang dalam masyarakat.
Hak lahir ialah hak atas keperluan hidup, seperti makanan, pakaian, perumahan, gaji, dan sebagainya. Sementara, hak batin ialah hak buat merdeka berkumpul, berbicara, menulis, hak buat melindungi harta, kemerdekaan, dan jiwa, yang di zaman Revolusi Perancis dinamai "hak manusia".
Selama suatu pemerintahan belum memenuhi hak lahir dan batin dari individu ataupun masyarakat maka sebetulnya itu adalah kemerdekaan yang semu.
Dan bila diperhatikan, Indonesia hari-hari ini berada dalam kemerdekaan semu. Pembubaran ormas terjadi di sana-sini, diskusi ilmiah di lingkungan universitas dibubarkan bahkan postingan status medsos pun bisa dipidana dengan menggunkan pedang UU ITE. Sungguh tragis, Indonesiaku hari-hari ini.
Makna merdeka 100% bagi Tan, bukanlah semata-mata terbebas dari penjajah (tangible) melainkan besarnya golongan orang dalam negara yang mempunyai hak dan lahir itu.
Anti Perjuangan Diplomasi
Soal urusan politik luar negeri pun, ia terbilang sangat keras. Dikala Soekarno dan Hatta masih bernegosiasi dan berjuang secara diplomatis dengan Belanda, ia memilih menolak itu.
Onghokham dalam Rakyat dan Negara menjelaskan, perjuangan secara diplomasi selalu ditentang oleh Tan karena dirinya tak mempercayai Belanda yang selalu mengingkari kesepakatan yang telah dibuat pada perundingan tersebut.
Sikap anti diplomasi ini ditunjukan Tan pada saat kongres yang berlangsung di Purwakarta dan dihadiri sekitar 300 orang dari pengurus partai, badan-badan perjuangan, dan perkumpulan pemuda.
Tan sebagai pembicara utama pada saat itu mendapat giliran bicara dihari kedua, 5 Januari 1946. Ia pun menyoroti mengenai kemerdekaan penuh atau 100% merdeka yang harus diraih oleh Indonesia.
"Kita tidak suka berunding dengan siapa saja sebelum kemerdekaan tercapai 100% dan sebelum musuh meninggalkan pantai dan lautan kita dengan beres. Jangan kira kalau rakyat tidak mengerti diplomasi. Kita tidak suka berunding selama musuh masih dalam negeri kita. Selama masih ada 1 kapal musuh, kita harus terus berontak," ujar Tan Malaka, seperti dikutip dari historia.id