Mohon tunggu...
Muhamad Samiaji
Muhamad Samiaji Mohon Tunggu... Berkeliling mencari pengetahuan baru

Menulis sekedarnya, semoga menambah khasah keilmuan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Rethingking Social Media as Track Security (Memikirkan ulang bagaimana sosial media sebagai pelacak keamanan)

25 September 2025   16:29 Diperbarui: 25 September 2025   16:29 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Berbicara pagi perihal penggunaan sosial media adalah sesuatu yang mendahului sarapan pagi. Bahkan aktivitasnya melampaui mandi pagi, ataupun dapat ditemani secangkir kopi. Padahal dulu, kopi pagi selayaknya dinikmati dengan mengupdate diri dengan membaca surat kabar.

Negara modernlah yang membawa perubahan dasar perilaku manusia, sehingga menjadi tak manusiawi. Menyingkirkan realitas bahkan entitas. Ya, sosial media mulai merentas hingga ke alam bawah sadar. Secara penggunaan, bahkan menjadikan media sosial di uji di tanah ke ilmuan. Begitu berbahaya membakar kalori lebih seorang peneliti seperti saya. Bahkan kesadaran tersebut baru saja terlihat bak teman sepintas lalu yang mengganggu ketenangan hidup. Lebih jauh lagi, saya melihat adanya POLA-POLA penggunaan sosial media dalam bursa saham yang beberapa pelakunya mencari 'pengikut' untuk memerah darahkan lantainya. Lebih tinggi lagi bahkan cuitannya mencapai ranah ke pemerintah antara (mencakup lembaga stakeholder hingga ke perilaku membuang waktu) lembaga penyelenggara dan pelaksana. Seperti suaranya helikopter yang melewati kemacetan namun membuat bising pemikiran.

Mari ulas satu-persatu, penggunaan social media begitu meledak. Bahkan negara kita tercinta dilebeli dengan netizen terjulid yang bisa saja itu ulah buzzer ataupun gerakan massal. Siapa yang sangka bukan, untuk melindungi negeri butuh begitu banyak energi. Layaknya makanan dan minuman pagi yang dinikmati dalam sekali jalan yakni sereal yang berisi saripati penuh gizi. Kembali lagi saya bebicara di ruang sempit, kaku bergerak tetapi masih bisa menarik hipotesis dari gejala kopi pagi.

Ah, saya rasa begitu banyak basa-basi langsung saja menuju inti. Menuju lembaga pemerintah yang harusnya disalahi ya sebut saja namanya, siapa takut. Toh mereka juga manusia dan rakyat seperti saya. Kebebasan berpendapat tentunya dihargai bukan?

Gila, pastinya setelah mereka membaca tulisan ini saya langsung dicari, diburu, dilukai bahkan bisa saja berakibat MATI. Ah, kurasa itu terlalu berlebihan. Saya tidak berada di zaman penculikan seperti gerakan G30S/PKI yang dimotori partai kiri. Bukankah begitu para pembaca budiman.

Sebut saja BIN, BSSN keduanya lembaga keamanan tertinggi negara adalah aktor intelektual yang memiliki integritas tinggi. Begitu pula di level selanjutnya ada Kopasus, Kopaska, Kopasgat yang meninggalkan sahabatnya berupa janji melindungi negara dengan gerakan pasukan khusus merentas batas borderline cukup dengan alat sederhana yang dinamakan Telegraf (kunci morse), Peluit, Senter, Bendera Morse (SEMAPHORE), atau alat elektronik seperti keyer (alat elektronik yang mengaktifkan atau menonaktifkan sirkuit). Ketika alat ini dipergunakan dengan intelegensia maka menandakan negara dalam keadaan BERBAHAYA yang menandakan frekuensi murni sinyal bahaya. Di tingkat bawah yang justru tidak boleh dianggap rendah yaitu cyber kepolisian juga sudah siap mengokang senjata laras panjang yang siap melubangi dahi dari pelaku utama didasari upaya represif. Tapi mereka juga tak berani, ya mereka juga punya hati dan nurani akan berakibat pada sangsi pemecatan 'tidak hormat' yang justru berakibat pada efek mental pribadinya atau bahkan keluarga.

Saya tidak yakin dengan institusi keseluruhan itu setidaknya kurang mewakili. Ada newbie yang tertinggal jauh dibelakangnya. Ya mereka yang memakai lencana kopri. Masih mengunakan surel umum untuk menyimpan data informasi. Bukankah harusnya menjadi sesuatu yang sangat 'rahasia' yang memiliki kunci sandi tertentu agar terjaga dari tangan jahil yang coba menyusupi data penerima bantuan atau bahkan menyimpan data nama ibu kandung yang justru berbahaya bagi perilaku perentasan dengan maksud dan tujuan mengarahkan ke pembobolan rekening perbankan. Bahkan dari tingkat terendah bisa dimanipulasi dengan mengisi lembaran-lembaran kepadatan informasi yang diambil melalui pertanyaan dalam bentuk kuesioner. Perlu penyidikan lebih lanjut perihal perilaku manipulatif dari mereka-mereka ini. Sulit, seperti jalan kelok yang tiada menemui garis akhir validasi dan verifikasi. Bukankah hentakan API (Application Programming Interfacez) yang berdasarkan catatan kependudukan maka selesai perkara penyimpangan anggaran.

Wah sepertinya terlalu dini berbicara penyimpanan pengamanan data kredensial. Kenapa tidak mengambil jalan memutar untuk kembali mengarahkan setir ke jalur penyimpangan anggaran daerah maupun anggaran negara. Toh pelakunya disebut dengan pelanggan pengguna anggaran (koruptor) kan! Ya mereka adalah perusuh utama dari penyusunan angkatan yang dilebeli PEMANFAATAN anggaran. Kacaunya itu sudah teranggarkan dan terprasastikan dalam abodemen pengajuan RPABN DAN RAPBD.

Tak salah jika kami marah, kamu dipercaya susah, lantas kami marah. Adalah sepenggal lirik dari erik yang menandakan mosi tidak percaya akan keterwakilan suara. Wajar jika kerusuhan kemarin antara tanggal 13 - 25 Agustus 2025 langsung mengarah kepada perlawanan, pelemparan, pengrusakan, dan pembakaran yang ingin melemahkan. Tetapi untungnya itu tidak sampai membakar warung kopi hijau (dibaca: gedung DPR dan MPR karena cuma bisa memakan gorengan anggaran dan menyisakan ampas kopi penderitaan rakyat!) sayangnya ada saja tikus yang takut malah kabur keluar negeri bukannya bertanggungjawab atas kesalahan tingkah joget-joget seolah meludahi janji suci tulus yang diambil dengan kesadaran diri untuk memeluk amanat yang spektrum rendahnya harusnya melukai mereka (pejabat) dengan beban mental yang bergelantungan di Palu kesepakatan suara sidang forum pembahasan anggaran, undang-undang ataupun itulah saya juga ndak paham, wong mereka yang berbisik didalam ruangannya tanpa transparansi informasi yang harusnya terpublikasi dan diamati oleh KAMI maka jangan anggap rakyat tak berdaya. Anarkis kami didasari tindakan premanisme kalian bukan?! Ya, kami merentas sosial media kalian yang bahkan tak becus membuat para pasal di Undang-undang ITE.

Tak salahkan kami ikut serta dalam demo? Salahkah kami kak? Kami gen-z ingin mengamuk tanpa alasan dan logika. Meskipun diantara kami (dibaca: pelaku demo yang dibayar) melakukan vandalis berlebihan. Ya, itu juga karena ulah mereka yang mengonsumsi obat terlarang yang disebut dengan media sosial. Mereka (gen-z) memilih panutan dari surel-surel yang menampilkan hiburan berupa video panjang atau bahkan shortcuts. Tak heran perilaku tawuranya sulit terprediksi sejak dini. Pecah disana-sini membingungkan aparat penegak hukum melemparkan baru kesalahan yang melukai berbagai elemen dasar bahkan di tingkat pendidikan sangsinya berupa dikeluarkan dari sekolah. Orang tua sulit menangis menghadapi lika-liku pencarian jati diri. Sudah diratapi tapi malah diulangi terus menerus tak jera bahkan hingga keluar jeruji. Kenakalan yang tidak terobati dan terbawa hingga menuju masa akhir pubesitas. Seolah kepolisian catatkan kematian bagi pembuat onar. Ya itu tak mudah ditembus bukan, bahkan untuk sekedar dijaminkan menjadi anggota dewan. Sungguh analogi mengerikan, di mana-mana banyak pelaku Kerusuhan.

Kini nyanyian apapun tak akan menyudahi berbagai polemik kalimat 'perentasan' menyudahinya bagaikan menyerah pasrah. Menghentikan pembahasan sama saja berserah kepada sang pemilik tekad penuh putih berseri. Ribuan buku sitasi tak cukup untuk merevisi, perlu dikaji setiap keilmuan tentang perentas bergaya premanisme yang tidak memilki ruang waktu untuk sekedar di selami atau bahkan ditiduri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun