Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Trump Pembawa Damai

8 Januari 2021   16:12 Diperbarui: 8 Januari 2021   16:27 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa pembeda Presiden Amerika Serikat Donald John Trump dengan pendahulunya, Barack Hussein Obama? Menurut saya, perbedaan paling mencolok adalah cara pandang keduanya mengenai perdamaian.

Bila kita masih ingat, terpilihnya Obama dalam Pilpres AS 2008 disambut secara gegap gempita. Tak hanya oleh warga Negeri Paman Sam, tetapi juga oleh penduduk belahan dunia lain. Bahkan, pada tahun pertamanya berkuasa sudah diganjar hadiah Nobel Perdamaian 2009.

Entah apa inisiatif perdamaian yang dibuat oleh Obama ketika itu. Panitia Nobel hanya menganggap pria berdarah Kenya tersebut dapat merintis perdamaian dunia. Terlebih, janji-janji kampanyenya bermuatan semangat antiperang dan perdamaian.

Ternyata, harapan tinggallah harapan. Sepuluh tahun lalu, seperti saya tulis di Presiden Berlumuran Darah, Obama memerintahkan pesawat tempur AS mengebom Libya. Tujuannya adalah untuk menjatuhkan rezim diktator Muammar Khaddafi.

Tak hanya di Libya, Obama juga kemudian beraksi di Suriah. Dalam rangka mengusir Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), serdadu AS dikerahkan untuk membantu pemberontak Suriah sejak 2014. Selain menaklukkan ISIS, ambisi AS juga menjungkalkan Presiden Bashar al Assad.

Saat menggantikan Obama pada Januari 2017, Trump tidak bisa mengelak dari masalah Suriah. Dia tetap melanjutkan perang guna menghabisi ISIS, sampai pemimpinnya, Abu Bakar al Baghdadi, tewas pada Oktober 2019. Namun, Trump memerintahkan penarikan tentara sesudah tujuan utama tercapai.

Selain di Suriah, Trump mengurangi jumlah tentara AS di Irak dan Afghanistan. Di Afghanistan, Trump malah tak disangka-sangka memprakarsai perjanjian damai dengan Taliban.


Alih-alih memicu perang, pemerintahan Trump lebih fokus menghindarkan AS dari konflik bersenjata. Ketika berkampanye dalam Pilpres 2020, Trump berkali-kali membanggakan pemulangan tentara AS dari 'negeri yang bahkan tidak pernah kita dengar namanya'.

Di sisi lain, politisi Partai Republik itu memamerkan pembunuhan jenderal Iran Qasem Soleimani. Pembunuhan Soleimani memang berpotensi memicu perang dengan Iran, tetapi toh urung terjadi. Ketegangan dengan republik Islam itu beberapa kali mengemuka, tetapi senjata belum meletus.

Saat transisi kepresidenan pada 2017 silam, Trump juga mengaku diberitahu Obama potensi perang dengan Korea Utara. Bukannya melanjutkan ketegangan, Trump malah kemudian akur dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Keduanya menggelar pertemuan khusus di Singapura.

Keberhasilan Trump mencegah perang bertolak belakang dengan Obama dan presiden-presiden sebelumnya. Sering terbukti, perang yang dilancarkan AS bukannya menciptakan perdamaian seperti gembar-gembor awal, melainkan malapetaka. Motivasinya diduga tak lain untuk kepentingan korporasi yang mendapat untung, baik langsung maupun tidak langsung, dari perang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun