Mohon tunggu...
Salsa Tabayuni
Salsa Tabayuni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student

A fervent, energetic, steadfast individual with experience in journalism, broadcasting, information dissemination, and project management.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Groupthink: Aksi Boikot Produk dalam Konflik Palestina-Israel

2 Januari 2024   14:37 Diperbarui: 2 Januari 2024   22:14 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik Palestina-Israel yang masih bergejolak hingga penghujung 2023 telah berlangsung selama beberapa dekade. Serangan ini menewaskan ribuan orang dan menjadi salah satu konflik terpanjang dan paling rumit di dunia. Meski sering dianggap sebagai konflik agama, namun Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menekankan bahwa konflik ini adalah permasalahan politik dan kemanusiaan. Upaya untuk penyelesaian konflik ini juga telah dilakukan selama puluhan tahun namun hingga saat ini belum ada solusi yang memuaskan kedua belah pihak.

Peperangan pada bulan bulan terakhir di tahun 2023 ini menyorot perhatian dunia dengan banyak korban serta suara-suara dukungan dari berbagai pihak. Beragam bentuk dukungan seperti bantuan bahan pokok, obat-obatan, aksi bela dan doa bersama, hingga boikot produk. Penulis menyoroti seruan boikot produk yang diduga mendukung agresi Israel atau terafiliasi dengan Israel.

Sebagian besar masyarakat khususnya di Indonesia, mengikuti seruan memboikot produk-produk yang diduga memiliki keterkaitan dengan penyerangan Israel terhadap Palestina. Seruan ini muncul karena beberapa perusahaan ternama secara gamblang menyatakan dukungannya melalui cuitan di media sosial maupun aksi bantuan kepada tentara Israel yang melakukan penyerangan. Hal ini memicu anggapan bahwa keuntungan dari cabang-cabang perusahaan yang berada di Indonesia akan turut membantu Israel dalam agresi militernya.

Penulis menggarisbawahi “diduga” karena pada kenyataannya daftar produk yang diboikot hanya mengacu pada merek dan digeneralisasi bahwa semua produk dari merek tersebut pro-Israel. Hal ini dibuktikan dengan contoh salah satu perusahaan makanan cepat saji McDonald’s. Masyarakat Indonesia mulai memboikot McDonald’s dan beberapa merek lainnya pada pertengahan Oktober setelah muncul unggahan McDonald’s Israel yang memberikan ribuan makanan gratis untuk tentara Israel saat peperangan dengan Hamas. Sementara itu, di Indonesia McDonald’s yang berada di bawah naungan PT Rekso Nasional Food turut menjadi target boikot. Menanggapi ajakan boikot, PT Rekso Nasional Food mengeluarkan pernyataan terkait posisinya dalam konflik di Timur Tengah. Dalam keterangannya perusahaan yang sering disebut McD itu menyatakan bahwa PT Rekso Nasional Food merupakan perusahaan swasta nasional yang sepenuhnya dimiliki oleh pengusaha asli Indonesia dengan jumlah karyawan lebih dari 16.000 tenaga kerja lokal dan tidak terafiliasi dengan McDonald’s di negara lain termasuk McDonald’s Israel. Lebih lanjut, McDonald’s Indonesia menekankan permasalahan pembayaran royalti yang tidak digunakan dalam konflik ini, hingga upaya dukungan terhadap pemerintah Indonesia dalam mendukung Palestina dengan memberikan bantuan kepada para korban di Gaza, Palestina.

Sumber: McDonald’s Indonesia Newsroom
Sumber: McDonald’s Indonesia Newsroom

Sumber: McDonald’s Indonesia Newsroom
Sumber: McDonald’s Indonesia Newsroom

Penulis mengkaitkan hal ini dengan groupthink karena aksi memboikot suatu produk dapat dianalisis dalam konteks pengambilan keputusan dan konformitas kelompok. Penulis melakukan pencarian informasi kepada suatu kelompok pengguna media sosial Instagram yang pernah melihat unggahan tentang ajakan boikot. Penulis kerucutkan pada followers @thataljundiah yang pernah mengunggah ulang ajakan boikot oleh influencer @kiyahnaat yang hingga saat ini masih terus menyuarakan dukungannya pada Palestina salah satunya melalui seruan boikot.

Sumber: Instagram/khiyahnaat
Sumber: Instagram/khiyahnaat

Penulis mengambil tujuh partisipan dan bertanya tentang aksi boikot yang dilakukan. Beranjak dari contoh kasus McDonald’s penulis turut menanyakan partisipan terkait perubahan sikap yang mereka ambil berkaitan dengan McDonald’s. Empat dari tujuh partisipan menjawab mereka berhenti membeli atau mengonsumsi McDonald’s. Namun, seluruh partisipan mengaku bahwa pengambilan keputusan yang dilakukan atau boikot terhadap produk-produk dalam daftar boikot dilakukan tanpa mencari tahu secara mendalam keterkaitan produk dengan agresi Israel terhadap Palestina. Lima dari tujuh menjelaskan bahwa mereka mempercayai daftar produk yang telah beredar dan ramainya ajakan di media sosial. Sedangkan dua partisipan lainnya mengaku mengikuti arahan daftar produk yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Salah satu dampaknya, tak jarang ada komentar dilontarkan pada masyarakat yang masih mengonsumsi produk yang tercantum dalam daftar boikot.

Berdasarkan data ini, penulis menemukan pola yakni terdapat beberapa alasan atau dorongan untuk melakukan aksi boikot yang berujung pada pengambilan keputusan dan perubahan sikap yakni menghentikan penggunaan atau konsumsi produk. Namun, terdapat fase yang hilang di antara dorongan dan perubahan sikap tersebut, yakni mengkritisi. Berangkat dari hal ini, penulis mengkaitkannya dengan fenomena groupthink, yakni ketika sebuah kelompok memprioritaskan kesesuaian di atas evaluasi kritis, akan mengarahkan pada hasil pengambilan keputusan yang tidak rasional atau disfungsional. Dalam kasus ini, ketika individu menekan keyakinan mereka untuk menyesuaikan diri dengan pendapat mayoritas tanpa evaluasi situasi secara kritis, serta memenuhi delapan gejala groupthink maka dapat dianggap sebagai contoh groupthink.

Sumber: Olahan Penulis
Sumber: Olahan Penulis

Delapan gejala groupthink yakni, ilusi kekebalan, keyakinan akan moralitas kelompok, rasionalisasi kolektif, stereotip kelompok lain, penyensoran diri sendiri, kebulatan suara ilusi, tekanan langsung terhadap yang berbeda, serta mindguards.

Kelompok yang penulis soroti optimis akan keputusan melakukan boikot produk yang “diduga” terafiliasi dengan agresi militer Israel, karena merupakan keputusan bersama dan tak jarang ketika keputusan memiliki dampak, anggota kelompok rela untuk menanggung risikonya. Hal tersebut teridentifikasi sebagai bentuk ilusi kekebalan. Dalam kelompok yang sama penulis melihat adanya rasa percaya diri terhadap kegiatan yang dilakukan. Anggota kelompok turut membentuk keyakinan bahwa boikot produk merupakan bentuk solidaritas dalam mendukung kemerdekaan Palestina, hal ini dapat dikaitkan dengan gejala keyakinan akan moralitas kelompok. Rasionalisasi kolektif yang terjadi terlihat dari pengabaian masyarakat terhadap klarifikasi tentang keterlibatan perusahaan dengan agresi militer Israel. Selain itu, salah satu gejala yang paling terlihat yakni adanya stereotip yang disematkan pada masyarakat yang tidak mengikuti aksi boikot produk yakni sebagai orang yang tak acuh terhadap kemanusiaan.

Aksi boikot atas dasar kemanusiaan ini menjalar dan menyebabkan adanya penyensoran seseorang atas dirinya karena takut menyuarakan pendapat yang berbeda, takut mendapat “cap” dan karena adanya sanksi sosial meski ringan yang didapat ketika tidak melakukan aksi boikot di lingkungan yang mendukung gerakan tersebut. Pada fenomena ini, dengan adanya rasa kesamaan identitas, kelompok pendukung merasa adanya kebulatan suara ilusi. Hal ini terlihat dari jawaban sebagian partisipan karena mereka mengikuti ajakan yang viral dan merasa seluruh masyarakat dengan identitas sama memiliki pemikiran serupa. Lebih lanjut, terdapat mindguards, yakni orang yang bertugas menyaring informasi dari luar. Pada fenomena ini, penulis melihat bahwa influencer yang menyuarakan aksi boikot juga turut menyampaikan pengaruhnya terhadap kemerosotan pemasukan brand tertentu yang diduga pro-Israel. Kedelapan gejala ini saling berkaitan dan penulis mengidentifikasi fenomena ini sebagai groupthink.

Fenomena ini diperkuat dengan adanya Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina. Fatwa ini menjelaskan bahwa mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina atas agresi Israel hukumnya wajib, sedangkan mendukung agresi Israel terhadap Palestina hukumnya haram. Terdapat pula imbauan agar umat Islam menghindari transaksi produk yang terafiliasi dengan Israel.

Dengan adanya Fatwa ini, seruan boikot semakin gencar dilakukan tanpa menelisik lebih dalam latar belakang produk dan kaitannya dengan Israel. Dalam hal ini Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin turut meminta agar pihak yang berwenang dapat memilah produk yang benar-benar mendukung dan terafiliasi dengan Israel. Sejauh ini, MUI belum mengungkapkan secara eksplisit daftar perusahaan atau produk yang pro-Israel, beberapa daftar yang mengatasnamakan MUI telah dipastikan hoaks.

Pengambilan keputusan untuk memboikot suatu produk dengan mengkritisi terlebih dahulu latar belakang dan kaitannya dengan Israel terutama aksi pernyerangan terhadap Palestina, akan lebih baik, adil dan tidak menimbulkan permasalahan baru. Kerugian dapat dialami bagi orang yang tidak bersalah dan tidak memiliki kaitan dengan Israel. Berkaitan dengan konflik ini, penulis turut mendukung kemerdekaan Palestina dengan aksi yang dapat penulis pertanggungjawabkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun