Mohon tunggu...
Salsabilla Ramadhani
Salsabilla Ramadhani Mohon Tunggu... Pelajar

Aku suka coklat

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Saat AI Menentukan Hidup: Apakah Gen Z Mulai Kehilangan Intuisi?

3 Oktober 2025   15:45 Diperbarui: 3 Oktober 2025   15:43 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang begitu pesat saat ini membawa pengaruh signifikan terhadap cara generasi muda mengambil keputusan dalam hidup. Generasi Zaman Now atau yang sering disebut Gen Z berada pada posisi unik, di mana mereka tumbuh bersama perkembangan teknologi digital yang sangat cepat. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka sering dihadapkan pada berbagai pilihan penting, seperti menentukan jurusan pendidikan, memilih karier, hingga membangun relasi sosial. Masalah muncul ketika sebagian besar dari mereka mulai lebih mempercayai saran atau rekomendasi dari algoritma berbasis AI ketimbang mengandalkan intuisi, pengalaman, atau nilai-nilai personal yang seharusnya juga berperan dalam menentukan arah hidup.

Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai survei dan laporan penelitian. Deloitte dalam laporannya pada tahun 2023 menyebutkan bahwa sekitar 58% Gen Z memanfaatkan algoritma dan rekomendasi kecerdasan buatan untuk mengambil keputusan penting, mulai dari perencanaan keuangan, pemilihan jurusan kuliah, hingga pengambilan langkah karier (Prestianni, T. 2025). Angka tersebut menunjukkan bahwa AI tidak lagi hanya menjadi alat bantu teknis, tetapi sudah masuk ke ranah keputusan personal yang sebelumnya bersifat subjektif. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: apakah dominasi AI dalam proses pengambilan keputusan benar-benar membuat hidup generasi ini lebih mudah dan terarah, atau justru membuat mereka kehilangan jati diri dalam menentukan pilihan hidupnya?

Permasalahan lain yang muncul adalah potensi hilangnya keseimbangan antara logika berbasis data dan intuisi manusiawi. Pilihan hidup sejatinya tidak selalu bisa diukur hanya dengan angka atau data statistik, melainkan juga melibatkan faktor emosi, keyakinan, nilai moral, dan pengalaman pribadi. Jika generasi sekarang lebih condong mengandalkan kecerdasan buatan, maka ada risiko besar bahwa mereka akan tumbuh menjadi individu yang terlalu bergantung pada mesin. Hal ini dapat menyebabkan lemahnya kemampuan refleksi diri dan kurangnya keberanian untuk mengambil keputusan yang lahir dari intuisi dan kebijaksanaan personal.

Tidak dapat dipungkiri bahwa AI memberikan banyak keuntungan bagi Gen Z dalam hal pengambilan keputusan. Kehadiran algoritma yang mampu mengolah data dalam jumlah besar secara cepat memungkinkan mereka untuk melihat peluang dengan lebih objektif. Misalnya, aplikasi karier berbasis AI dapat memberikan rekomendasi jalur profesi yang sesuai dengan keterampilan dan tren pasar kerja terkini, sehingga meminimalisasi risiko salah memilih. Dari sudut pandang ini, AI memang dapat membantu generasi muda untuk mengoptimalkan pilihan hidup mereka dengan dasar yang lebih logis dan terukur.

Namun, harus diakui pula bahwa AI memiliki keterbatasan mendasar. Kecerdasan buatan hanya dapat mengolah data berdasarkan pola dan informasi yang sudah ada, sementara kehidupan manusia penuh dengan ketidakpastian dan kompleksitas. Banyak hal yang tidak bisa diwakili oleh algoritma, seperti emosi, moralitas, dan pengalaman personal yang bersifat subjektif. Intuisi manusia, yang terbentuk dari gabungan pengalaman hidup, perasaan, dan keyakinan, tetap memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan. Jika Gen Z terlalu mengandalkan AI, maka ada risiko mereka kehilangan kemampuan untuk membaca situasi dengan hati dan rasa, padahal hal tersebut sering kali menjadi faktor penentu dalam keberhasilan hidup.

Ketergantungan berlebihan pada AI juga dapat mengikis kemampuan berpikir kritis generasi muda. Dalam situasi di mana segala keputusan dipengaruhi oleh rekomendasi sistem, individu dapat terjebak dalam apa yang disebut sebagai "filter bubble". Artinya, mereka hanya akan disodorkan pilihan yang dianggap sesuai oleh algoritma, tanpa memiliki kesempatan luas untuk mengeksplorasi kemungkinan lain. Padahal, proses eksplorasi dan pengambilan risiko adalah bagian penting dari pembentukan karakter dan kematangan pribadi. Jika hal ini hilang, maka generasi mendatang berpotensi menjadi pasif dan tidak mampu mengambil keputusan yang berani.

Berdasarkan faktor diatas, dapat disimpulkan bahwa perdebatan antara penggunaan AI dan intuisi dalam menentukan pilihan hidup generasi zaman now bukanlah persoalan memilih salah satu secara mutlak, melainkan bagaimana mengintegrasikan keduanya secara seimbang. AI hadir dengan kelebihan berupa data, logika, dan efisiensi, sementara intuisi membawa makna, pengalaman, dan dimensi emosional yang tidak bisa digantikan oleh mesin. Jika generasi muda mampu menggabungkan keunggulan keduanya, maka mereka akan mampu mengambil keputusan yang tidak hanya cerdas secara rasional, tetapi juga bermakna secara personal. Dengan demikian, generasi zaman now dapat berkembang menjadi pribadi yang mandiri, bijak, dan mampu menghadapi kompleksitas hidup di era modern tanpa kehilangan jati diri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun