Mohon tunggu...
Salsabillah B.
Salsabillah B. Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hanya seorang mahasiswa yang sedang mencoba hidup slowliving dan selalu berusaha menjadi pribadi yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perjalanan Historis Taksonomi Bloom: Enam Tingkatan Berpikir.

16 Oktober 2025   17:46 Diperbarui: 17 Oktober 2025   07:10 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taksonomi Bloom HOTS -LOTS (Anderson, L.W., dan Krathwohl, D.R. (2001), yang dimodifikasi) (ResearchGate/Annisya Annisya)

       

      Pernahkah anda berpikir mendalam dan bertanya-tanya, mengapa cara pikir atau cara pandangnya para mahasiswa dan para aktivis pendidik di kampus seperti dosen itu terasa berbeda?. Oh apakah cara berpikir itu memang memiliki tingkatan? Dan ternyata, jawabannya: ya. Faktanya, berpikir memang memiliki suatu tingkatan seperti anak tangga. Di setiap anak tangga, memiliki luas dan tinggi yang berbeda dari anak tangga lainnya sehingga untuk ke tangga berikutnya semakin menantang.

      Kerangka klasifikasi tentang tingkatan berpikir ini awalnya dipopulerkan oleh Benjamin S. Bloom (psikolog pendidikan) sebagai ketua dari timnya (1956) berhasil membuat proyek kolaboratif mereka yang bertujuan sebagai alat penyusunan kurikulum dan tes universitas (dengan penilaian kognitif, afektif, dan psikomotor), agar dosen atau pakar pendidik bisa mengukur sejauh mana mahasiswa dapat memahami materi. Pada masa ini, taksonomi Bloom belum populer di luar komunitas ahli pendidikan.


      Klasifikasi ini didasari sebab kebutuhan evaluasi akademik pasca Perang Dunia II, dan juga karena pendidikan tinggi di Amerika Serikat sedang berkembang pesat. Ribuan veteran Perang Dunia II masuk universitas lewat program G.I. Bill, sehingga menyebabkan tantangan baru: bagaimana menilai capaian belajar secara objektif dan terstandar?. Benjamin S. Bloom alumni dari University of Chicago memimpin komite internasional yang bertugas mengklasifikasikan "learning objectives" agar para pengajar bisa menyusun tes yang adil dan komprehensif. Bloom menekankan bahwa aktivis pendidik seharusnya tidak hanya menilai "apakah siswa tahu", tetapi juga "apa yang bisa dilakukan dengan pengetahuan itu". Singkatnya, niat asli dari pembuatan klasifikasi ini bukan menjadikan pedoman mengajar kreatif, melainkan sebagai alat ukur kognitif.  

       Hasilnya Bloom dan timnya menerbitkan buku Taxonomy of Educational Objectives: Handbook I - Cognitive Domain. Buku ini memetakan proses kognitif ke enam tingkat: Knowledge, Comprehension, Application, Analysis, Synthesis, Evaluation. Dari mengetahui hingga mengevaluasi. Bloom melihat keenam tingkat ini sebagai hierarki piramida. Knowledge dan Comprehension sebagai lower order thinking skills (LOTS), sedangkan Application, Analysis, Synthesis, dan Evaluation sebagai higher order thinking skills (HOTS). 

      Bloom juga mengakui bahwa dalam praktiknya, berpikirnya manusia tidak selalu linear. Terkadang manusia menganalisis bersamaan dengan mengingat, atau menciptakan bersamaan dengan mengevaluasi.

      Namun, pada kenyataannya dosen dan guru sulit menerapkan secara praktis sebab kerangka klasifikasi ini terlalu teoretis. Juga karena tidak ada alat asesmen otomatis, sehingga penerapannya memerlukan latihan mendalam.  

      Dalam tahun 1960-1980, UNESCO dan lembaga pendidikan internasional mulai mengadopsinya untuk standarisasi capaian belajar lintas negara dan digunakan di sekolah-sekolah Eropa, Asia, termasuk Indonesia (melalui proyek-proyek UNESCO dan USAID). Namun, beberapa peneliti menyebut Bloom terlalu behavioristik, karena fokus pada hasil belajar yang dapat diobservasi, bukan proses mental yang kompleks. Peneliti lainnya menilai tingkatannya kurang fleksibel karena berpikir tidak selalu berurutan dari mengingat ke mencipta.

      Dalam wawancara dengan Educational Leadership (1979), Bloom mengatakan "The taxonomy was never meant to be a final truth, it is a tool to help teachers think about what they want students to learn.", artinya Bloom melihat klasifikasinya sebagai kerangka terbuka, bukan teori mutlak.

       Pada tahun 2001, L. Anderson dan D. Krathwohl yang merupakan dua mantan muridnya Bloom, menyadari bahwa belajar itu bersifat tidak statis, dan cara berpikir manusia melibatkan proses aktif dan reflektif. Mereka menyusun versi revisi: A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing (2001). Yang hasilnya, mereka merevisi taksonomi agar lebih sesuai dengan pendekatan struktural dan OBE (Outcome-Based Education). Mereka mengubah kata benda jadi kata kerja aktif (knowledge to remembering), menambahkan dimensi dalam konsep pengetahuan (factual, conceptual, procedural, metacognitive), dan memindahkan synthesis menjadi creating di dalam puncak berpikir modern.

      Berikut rangkuman taksonomi Bloom dalam revisi Anderson dan Krathwohl (2001):

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun