Mohon tunggu...
Salsabilla Azzahra
Salsabilla Azzahra Mohon Tunggu... Universitas Brawijaya

Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Review The Significance of The UPR in the Absence of a Regional Human Rights System

17 Maret 2025   23:07 Diperbarui: 17 Maret 2025   23:06 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada bacaan tersebut, penulis buku berargumen bahwa UPR memiliki signifikansi khusus di wilayah dunia yang tidak memiliki kerangka kerja hak asasi manusia regional atau serangkaian kerangka kerja sub-regional. Tulisan ini memfokuskan studi kasus di kawasan Asia Pasifik yang dimana merupakan kawasan yang memiliki budaya dan sejarah yang beragam. Namun nyatanya, kawasan Asia Pasifik dikenal sebagai kawasan yang memiliki mekanisme regional yang paling kurang berkembang dalam melindungi hak asasi manusia. Ada pula beberapa negara yang digunakan sebagai contoh studi kasus yaitu Australia, Thailand, New Zealand dan Fiji. 

Berikut penjelasan mengenai kebijakan HAM di negara tersebut:

Australia

Australia merupakan satu-satunya negara barat yang memiliki sistem demokrasi liberal tanpa adanya undang-undang atau konstitusi yang mengatur hak asasi manusia. Perlindungan hak asasi manusia di Australia bersifat parsial dan tidak ada undang-undang hak asasi manusia nasional. Sebagai sebuah federasi, undang-undang yang relevan dengan hak asasi manusia berbeda-beda di setiap yurisdiksi Australia. Dari 9 Kovenan yang ada, Australia meratifikasi 7 dari konvensi tersebut seperti ICCPR, ICESCR, ICERD, CEDAW, CAT, CRC dan CRPD. Tapi sayangnya keinginan Australia untuk menerima rekomendasi UPR telah menurun seiring berjalannya waktu, sejalan dengan penolakan politik yang cukup besar terhadap gagasan kewajiban hukum internasional. Namun, pemerintahan baru Australia sekarang berencana untuk meninjau kembali kebijakan HAM mereka agar lebih transparan.

Thailand

Pergolakan politik besar di Thailand sepanjang siklus UPR telah membentuk aparat pemerintah dalam hal hak asasi manusia. Sekitar tahun 2010, setahun sebelum UPR pertama di Thailand, militer melakukan tindakan keras yang mematikan terhadap demonstrasi pro-demokrasi, yang menewaskan lebih dari 90 orang. Sama seperti Australia, Thailand juga meratifikasi 7 dari 9 kovenan, bahkan Thailand bergabung dengan HRC di tahun 2010 hingga 2013. UPR menyarankan thailand untuk fokus pada Hak Anak-anak, perempuan dan Hak anti siksaan. Meskipun tingkat penerimaan rekomendasi di Thailand meningkat, tingkat implementasi rekomendasi masih rendah dan pemerintah secara sistematis mencoba menjelaskan ketidakpatuhannya dengan menegaskan kembali ketidakpatuhannya untuk mencabut atau mengubah undang-undang yang membatasi kebebasan berekspresi di setiap siklus UPR. Sehingga Thailand menunjukan kegagalan mereka dalam menangani HAM. Pemerintah Thailand tidak menjamin partisipasi yang bermakna dan kebebasan informasi bagi para pemangku kepentingan selama proses penyusunan UPR, sehingga membuat penilaian lapangan menjadi lebih sulit. 

New Zealand

New Zealand telah terlibat secara aktif dalam UPR. Delegasi mereka dipimpin oleh Menteri Kehakiman, yang menunjukkan pentingnya proses ini. Namun masih ada kurangnya respon terhadap rekomendasi yang diberikan oleh UPR kepada New Zealand. Negara ini juga memiliki catatan yang solid dalam meratifikasi perjanjian hak asasi manusia internasional inti, dengan meratifikasi 7 dari 9 perjanjian inti dan delapan dari sembilan protokol opsional terkait. New Zealand sendiri telah menerima 4 mekanisme pengaduan individual -- dibawah ICCPR, CEDAW, CRPD dan CRC, namun belum menerima ICERD -- sebuah kesenjangan yang signifikan mengingat tantangan dalam mewujudkan hak asasi manusia bagi suku Maori. New Zealand telah membuat 597 rekomendasi kepada negara-negara lain, dengan sekitar 200 rekomendasi dibuat di masing-masing dari tiga siklus UPR hingga saat ini. 

Fiji

UPR merupakan intervensi bagi lingkungan Fiji pasca konflik dan penuh tantangan hak asasi manusia mengingat terbatasnya mekanisme yang tersedia pada saat itu untuk meminta pertanggungjawaban Fiji atas praktik hak asasi manusianya di tingkat nasional dan regional. Dalam tiga siklus UPR Fiji (2010, 2014 dan 2019), pemerintahan Bainimarama berkuasa dan oleh karena itu 'lintasan' pemajuan hak asasi manusia Fiji masih bergantung pada kekuasaannya. Fiji merupakan negara pihak yang meratifikasi 3 dari 9 kovenan seperti ICERD, CEDAW, dan CRC namun pemerintah berkomitmen untuk meratifikasi semua perjanjian inti hak asasi manusia dalam waktu sepuluh tahun, yang diselesaikan pada tahun 2020, menjadikan Fiji salah satu dari sedikit negara di dunia dan satu-satunya negara Pasifik yang melakukannya. Dari 528 rekomendasi dalam tiga siklus UPR, Fiji mendukung 458 rekomendasi, mencatat 70 rekomendasi dan membuat 13 janji sukarela. Secara umum, UPR telah mendukung peningkatan hak asasi manusia di Fiji dengan memastikan akuntabilitas negara. Di tingkat nasional, UPR telah memberdayakan masyarakat sipil untuk meminta pertanggungjawaban negara sejak kudeta 2006.

Dari studi kasus tersebut, mayoritas rekomendasi yang diberikan UPR adalah untuk Asia. UPR sangat bergantung pada peran masyarakat sipil, namun khususnya di Thailand dan Fiji, hal ini menjadi tantangan sehingga muncul pertanyaan mengenai apakah model regulasi ini didominasi oleh negara-negara Barat dan bagaimana model ini dapat bekerja ketika pembela hak asasi manusia berada dalam risiko, adanya pembatasan terhadap kebebasan berbicara, dan seringkali kurangnya pendanaan untuk masyarakat sipil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun