Dalam dunia sastra, bahasa bukan hanya alat untuk menyampaikan makna, tetapi juga ruang bermain bagi imajinasi. Dari berbagai gaya bahasa yang memperindah karya sastra, metafora dan simile adalah dua yang paling sering muncul dan kerap disalahartikan sebagai hal yang sama. Padahal, keduanya memiliki perbedaan mendasar baik dari segi bentuk maupun kedalaman makna yang ingin disampaikan.
Metafora merupakan gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara langsung tanpa menggunakan kata pembanding seperti seperti, bagai, atau laksana. Metafora tidak sekadar menyejajarkan dua objek, tetapi menyatukan keduanya dalam satu makna baru yang simbolis dan imajinatif. Ketika seseorang mengatakan "waktu adalah pencuri", kalimat itu tidak bermaksud bahwa waktu benar-benar mencuri, melainkan menggambarkan bagaimana waktu perlahan mengambil hal-hal berharga dalam hidup tanpa kita sadari. Di sinilah kekuatan metafora: ia menyembunyikan makna di balik bahasa yang sederhana, menciptakan kedalaman yang hanya bisa dijangkau dengan perasaan dan penafsiran.
Sementara itu, Simile menggunakan perbandingan yang eksplisit. Ia hadir dengan kata pembanding seperti seperti, bagai, laksana, atau umpama yang membuat makna lebih mudah dipahami. Misalnya, dalam kalimat "wajahnya bersinar seperti mentari pagi", penulis secara jelas menyamakan wajah seseorang dengan cahaya matahari. Simile bekerja dengan cara yang lebih terbuka, tidak menyembunyikan makna, tetapi tetap memberikan keindahan dalam kesederhanaannya. Karena sifatnya yang eksplisit, simile sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, lagu, bahkan iklan, untuk menciptakan efek lembut dan mudah diingat.
Meski sama-sama membandingkan dua hal yang berbeda, perbedaan utama antara metafora dan simile terletak pada cara mereka membangun hubungan makna. Metafora menyamakan secara langsung tajam dan mendalam. Simile membandingkan secara halus jujur dan terang. Metafora mengundang pembaca untuk berpikir, sementara simile mengajak mereka untuk merasakan.
Dalam karya sastra, keduanya memiliki fungsi yang serupa: memperindah bahasa, membangun suasana, dan menyalakan imajinasi. Namun, metafora sering kali digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang abstrak, filosofis, atau emosional. Ia memberi nuansa simbolis yang kuat, seolah menyembunyikan dunia makna di balik kalimat. Simile, di sisi lain lebih banyak digunakan untuk memberi gambaran konkret dan langsung; ia menjembatani antara kenyataan dan perasaan dengan cara yang lembut.
Pada akhirnya, baik metafora maupun simile sama-sama menunjukkan keindahan bahasa yang tak terbatas. Metafora adalah bisikan yang membuat pembaca berpikir dua kali, sedangkan simile adalah senyum lembut yang langsung bisa dirasakan. Keduanya mengajarkan bahwa bahasa tidak hanya tentang apa yang dikatakan, tetapi juga tentang bagaimana kita merasakannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI