Mohon tunggu...
Salsabila SusiloPutri
Salsabila SusiloPutri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ordinary Human

Hello

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

UU ITE Mencederai Kebabasan Berpendapat Ditinjau dari Ruang Publik Habermas

21 April 2021   16:34 Diperbarui: 21 April 2021   16:48 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia telah tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E Ayat 3 yang berbunyi setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Maka dari itu, kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi hak dasar, hak yang dilindungi, dan dimiliki masyarakat Indonesia tanpa pandang bulu. Hal ini menurut penulis, menandakan bahwa Indonesia negara yang mencerminkan demokrasi. Namun, seiring berjalannya waktu, kebebasan berpendapat dan berekspresi ini telah tercederai oleh salah satu UU yang justru menjadi boomerang bagi kita masyarakat Indonesia dalam menyampaikan pendapat yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dilansir dari portal berita CNN Indonesia, UU tersebut terdapat pasal 'karet' yang  menjadi hambatan terbesar bagi kebebasan berpendapat warga Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Terdapat laporan dari lembaga Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet) bahwa semenjak UU ITE diimplementasikan dari tahun 2008 hingga Oktober 2018, terdapat korban sekitar 381 korban UU ITE yang mayoritas dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik dan sisanya ujaran kebencian. Pada tahun 2020, SAFEnet juga melaporkan terdapat 84 kasus dimana 64 kasus diantaranya pemidaan netizen terkait dengan UU ITE dan mereka dilaporkan oleh kalangan atas dan memiliki pengaruh terhadap jalannya pemerintahan. (Indonesia, 2021). Apakah dengan adanya UU ITE ini mencederai kebebasan berpendapat dalam ruang publik menurut Habermas?

Habermas melihat ruang publik dalam 2 kondisi yaitu ketika ruang publik muncul dengan berkembangnya kaum borjuis dan ruang publik muncul ditengah masyarakat yang semakin modern dan plural. Ruang publik saat berkembangnya borjuis diartikan sebagai perantara antara negara dan kaum borjuis dengan bertujuan agar negara lebih merespon opini mereka yang terdapat kebutuhan dan kepentingan kaum borjuis (Habermas, The Structural Transformation of Public Sphere: An Inquiry into Category of Bourgeois Society, 1989).  Lebih lanjut, Habermas juga menjelaskan tentang kritik imanen dalam ruang publik yang berarti membenarkan apa yang salah. Habermas mempunyai 3 kriteria ideal ruang publik; tidak mementingkan status, berfokus kepada kepentingan atau perhatian umum, dan brsifat inklusif (menjadi bagian dari kelompok tersebut) (Nasrullah, 2012, p. 28)  

Selanjutnya, ketika masyarakat semakin modern dan plural , Habermas melihat ruang publik dalam politik informal yang diartikan masing-masing individu menyatakan opini dan kehendaknya yang terkait dengan isu publik dan tidak digunakan sebagai pengambilan keputusan walaupun masyarakatnya plural mereka mempunyai ruang publik masing-masing (Galih, 2012, p. 178) . Menurut Habermas, politik informal rentan mendapatkan tindakan represif dan ekslusif dari ketidakmerataan pembagian kekuasaan, mendapatkan kekerasan, komunikasi yang terganggu, walaupun sebagai medium politik informal mempunyai kelebihan yaitu  komunikasi mereka tidak terbatas, isu atau masalah dapat dirasakan lebih sensitif, ekspresif, dan identitas dan kebutuhan mereka bisa disuarakan tanpa ada tekanan besar seperti dalam politik formal (Habermas, Further Reflections on Public Sphere dalam Calhoun (Ed). Habermas and the Public Sphere, 1996) .

Kembali lagi kepada permasalahannya terkait dengan kebebasan berpendapat dan UU ITE yang di duga mencederai atau menghambat proses kebebasan berpendapat. Di kutip dari ICJR, awalnya UU ITE hanya sebagai hukum tentang transaksi elektronik sebagai upaya Indonesia mengikuti perkembangan dunia perdagangan, Namu, dalam pembahasan UU ini DPR berpendapat pentingnya pengaturan tindak pidana di ruang siber. Jadi, terdapatlah ketentuan pidana yang mengatur pembatasan dan larangan penyebaran kontem yang tidak sah atau illegal yang diatur dalam Pasal 27 -- Pasal 29. Hal ini yang menimbulkan permasalahahan karena pasal-pasal tadi bertentangan dengan hak kebebasan berekspresi yang telah dilindungi dan terdapat dalam UUD. Yang menjadi sasaran dalam pengimplementasian UU ITE adalah, kritik kebijakan publik, keluhan terhadap pelayanan, pemberitaan kasus-kasus tertentu, pencemaran nama baik, fitnah, dan sebagainya. Adanya hukuman penjara ini yang membuat masyarakat takut akan berpendapat dan berekspresi secara bebas (A, 2021, p. 12) .

Realitanya, saya sebagai individu yang sering memantau ruang publik, khususnya media sosial dan media massa saya sangat merasakan bahwa kebebasan berpendapat sangat ditekan oleh pemerintah. Padahal, ruang publik harus hadir dalam negara yang menganut sistem demokrasi untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis dan ruang publik dapat dijadikan sebagai perantara antara negara dan masyarakat sipil (Galih, 2012, p. 169). Saya sering melihat berbagai opini publik yang ada di media sosial, tetapi saya juga menemukan masyarakat yang takut untuk beropini akan isu publik atau politik. Mereka menunjukan ketakutannya dengan 'candaan' seperti takut diciduk, takut diketuk pintu rumahnya, takut karena ada UU ITE, dan sebagainya. Bahkan, saya tidak sengaja melihat salah satu komentar di dalam postingan di media Instagram yang bahkan tidak ada kaitannya dengan isu politik atau publik, bahwa komentar tersebut telah di take down oleh Polisi Siber yang baru-baru ini dibuat, mereka beralasan bahwa komentar tersebut mengandung ujaran kebencian yang ada di dalam UU ITE. 

Saya pribadi sangat terkejut bahkan orang-orang juga ikut berkomentar akan ketakutannya untuk berpendapat di media sosial. Pemerintah benar-benar melakukan aksi nyata untuk 'menakuti' masyrakat untuk berpendapat di media sosial. Realita ini sangat mencerminkan pemikiran Habermas tentang ruang publik bahwa negara dapat mengintervensi ruang publik dan melakukan tindakan represif .

Walaupun saya sering menggunakan media sosial dan ikut memantaunya, saya jarang menemukan individu atau masyarakat yang menyatakan pendapatnya atau bahkan mengkritik dengan keras dan intens tentang isu politik atau publik. Hanya baru-baru ini apabila pemerintah membuat 'ulah' kembali seperti pernyataan denial mereka terkait sudah adanya Covid-19 di Indonesia jika dilihat kembali pada tahun 2019, pembuatan kebijakan, ataupun sikap pemerintah akan suatu hal. Masyarakat yang berani mengeluarkan pendapatnya dalam ruang publik patut diacungi jempol ditengah masyarakat yang merasa ketakutan akan menyampaikan pendapatnya. Tetapi, walaupun pendapat mereka sudah ada, bahasanya enak di baca, dan terkadang mengandung kritik atau menyarankan sesuatu di ruang publik agar dibaca oleh pemerintah, sepertinya mereka tidak memperhatikan hal itu dan tidak menjadikan kritik dan saran sebagai acuan untuk memperbaiki kinerja mereka. 

Pemerintah hanya melakukan dua hal yaitu diam saja tidak menanggapi apapun dan membungkamkan mereka agar tidak lagi memberikan kritik. Padahal menurut Habermas dalam bukunya ST dan BFN, kritik yang bersifat imanen itu ada dan realitanya di Indonesia hal ini seakan tidak diperbolehkan padahal mereka bermaksud untuk membenarkan dari apa yang salah, seakan-akan pemerintah membiarkan saja apa yang salah menurut masyarakat, dan sistem politik ideal yang dimaksudkan Habermas antara politik informal sebagai masukan bagi politik formal tidak akan terjadi apabila para aktor politik formal masih saja mempermasalahkan kritik dan memidanakannya atas salah satu tuduhan yang terdapat dalam UU ITE,  padahal kritik timbul dari kinerja dan pelayanan mereka tidak sesuai ekspetasi atau harapan masyarakat.

Kembali melihat realita bagaimana UU ITE ini selain mencederai kebebasan berpendapat bagi masyarakat tetapi bisa juga menjadi boomerang bagi masyarakat karena mereka yang berpendapat ini apabila dianggap menyinggung aktor tertentu dapat diincar dan dikenakan UU ITE. Tetapi, Jokowi meminta masyarakat aktif mengkritik pemerintah dan memperbaiki layanan publik. Hal ini lantas direspon oleh masyarakat dengan membayangi UU ITE yang sering menjerat orang-orang yang mengkritik pemerintah beberapa contoh seperti jurnalis dan musisi Ananda Badudu ditangkap dengan tuduhan penggalangan dan penyaluran dana aksi mahasiswa 23-24 September 2019, aktivis Ravio Patra dengan tuduhan mengajak orang lain melakukan penjarahan nasional pada 30 April, dan lainnya (Indonesia C. , 2021) selain itu ada kasus yang sangat viral, kasus Baiq Nuril yang terjerat UU ITE dikarenakan menunjukan kebenaran namun berujung kepada pencemaran nama baik. 

Menurut saya, pemerintah harus mengkaji ulang UU ITE agar tidak mencederai kebebasan berpendapat dan tidak menjadi hukum yang tajam kepada masyarakat dan tumpul kepada pemerintah. Tetapi, ruang publik sebagai tempat kita bebas beropini dan menghubungkan dengan pemerintah, dan siapa saja bisa megaksesnya terdapat poin penting lain dalam pemikiran Habermas yaitu agar opini publik diterima oleh politik formal, opininya tidak diperbolehkan liar, maif, vulgar, kalimatnya harus sewajarnya, dan harus diberikan solusi. Bisa saja kita semua menginginkan kebebasan berpendapat namun menurut saya, poin Habermas tersebut juga penting diterapkan di ruang publik dan masyarakat sipil di Indonesia, bisa jadi opini yang ada dalam ruang publik terdapat kata-kata yang tidak seharusnya. Hal ini dapat menjadikan cerminan bahwa kita di ruang publik benar-benar mengkritik dengan baik bukan hanya sekedar menuliskan yang tidak seharusnya dilihat dalam publik. Negara Indonesia sebagai negara yang demokrasi, juga harus menyediakan ruang publik yang pantas dan mampu menerima segala masukan dan kritik, jangan ditamengi dengan UU ITE apabila benar-benar mengakui masyarakat bebas berpendapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun