Banjarmasin -- Di tengah gempuran makanan modern dan produk instan, cita rasa tradisional khas Banjar seperti kue cucur tetap bertahan dan bahkan menjadi peluang ekonomi menjanjikan bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Kota Seribu Sungai.
Kue cucur, dengan bentuknya yang khas---tebal di tengah dan renyah di pinggir---tidak hanya menjadi hidangan manis yang digemari masyarakat, tetapi juga menyimpan nilai budaya yang dalam. Kue ini kerap hadir dalam berbagai acara adat dan keagamaan masyarakat Banjar, seperti pernikahan dan selamatan, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari identitas kuliner daerah.
Salah satu pelaku UMKM yang masih melestarikan warisan kuliner ini adalah Abdul Hadiq, warga Kelurahan Pekat Baru Ulu, Kecamatan Banjarmasin Tengah. Dengan pengalaman dan ketekunan, ia mengelola usaha keluarga pembuatan kue cucur yang telah membuka lapangan kerja bagi warga sekitar. "Kami ingin mempertahankan cita rasa asli kue cucur Banjar, tapi juga mengikuti selera zaman," ujarnya saat diwawancarai.
Meskipun usaha ini masih tergolong kecil dan dikelola secara tradisional tanpa rencana usaha tertulis, semangat wirausaha yang ditunjukkan cukup besar. Pengelolaan keuangan dilakukan secara manual, namun tetap terpantau dengan baik. Kualitas rasa dan pelayanan pelanggan menjadi prioritas utama, karena menurut Abdul, pelanggan adalah kunci keberlanjutan usaha.
Dalam hal inovasi, pelaku UMKM mulai beradaptasi dengan perubahan zaman. Beberapa variasi rasa dan tampilan kue dikembangkan agar menarik minat generasi muda. Inovasi juga dilakukan dalam proses produksi untuk menjaga kualitas dan efisiensi. Selain menjual di pasar tradisional, Abdul kini memanfaatkan media sosial seperti WhatsApp, Instagram, dan GoFood untuk memperluas jangkauan pasar. Strategi ini terbukti efektif meningkatkan penjualan, terutama saat bulan Ramadan dan hari raya.
Selain memberikan manfaat ekonomi, usaha ini juga membawa dampak sosial dan lingkungan yang positif. Bahan baku yang digunakan sepenuhnya alami---tepung beras dan gula merah---tanpa menghasilkan limbah berbahaya. Minyak goreng bekas pun tidak dibuang sembarangan, melainkan dikelola agar tidak mencemari lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha kecil pun bisa berjalan sejalan dengan prinsip keberlanjutan.
Menurut penelitian mahasiswa Program Studi Geografi, Universitas Lambung Mangkurat, UMKM kuliner seperti kue cucur Banjar merupakan contoh nyata sinergi antara ekonomi kreatif, pelestarian budaya, dan pemberdayaan masyarakat. Hasil penelitian juga menegaskan bahwa keberhasilan UMKM lokal tidak hanya ditentukan oleh modal finansial, tetapi juga oleh pengalaman, kreativitas, dan komitmen menjaga kualitas produk.
Pemerintah Kota Banjarmasin sendiri terus mendorong penguatan sektor UMKM melalui pelatihan dan digitalisasi pemasaran. Upaya ini diharapkan mampu meningkatkan daya saing produk lokal agar dapat menembus pasar nasional bahkan internasional.
Kue cucur Banjar kini bukan hanya sekadar kudapan manis, melainkan simbol semangat kewirausahaan lokal yang berpadu dengan pelestarian budaya. Di tangan para pelaku UMKM, cita rasa tradisional ini menjadi sumber inspirasi untuk membangun ekonomi kreatif yang berakar dari kearifan lokal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI