KETIKA ADAB MURID KOTA KIAN MEMUDAR, SIAPA YANG SALAH?
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Sementara itu, di pedesaan, meski sarana belajar terbatas, adab masih berdenyut hangat dalam keseharian, dimana murid menunduk saat menyapa guru, menyimak dengan tenang ketika pelajaran berlangsung, dan membantu tanpa diminta. Gambaran ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi dan kenyamanan fasilitas belum tentu sejalan dengan kemajuan moral. Justru, di tengah kemewahan belajar, kesantunan kian terpinggirkan.
Fenomena ini bukan sekadar pergeseran perilaku, melainkan gejala mendalam dari rusaknya keseimbangan antara pengetahuan dan budi pekerti. Di tengah kota yang gemerlap, pendidikan kehilangan salah satu rohnya yang paling hakiki terkait membentuk manusia beradab, bukan sekadar individu yang berilmu saja.
Menatap laju kehidupan kota yang serba cepat telah mengubah banyak hal, termasuk cara manusia memaknai sopan santun. Di tengah denyut modernitas, di mana waktu dianggap uang dan efisiensi menjadi ukuran keberhasilan, adab perlahan tersisih dari ruang interaksi sosial. Murid-murid kini tumbuh dalam budaya instan, serba cepat, serba digital, dan serba pamer, yang membuat kesantunan terasa kuno dan tidak relevan.
Di rumah, banyak keluarga terjebak dalam rutinitas pekerjaan yang padat; orang tua pulang larut, anak-anak ditemani gawai, bukan percakapan hangat. Akibatnya, proses penanaman nilai moral dan budi pekerti yang seharusnya dimulai dari keluarga menjadi terabaikan. Sekolah pun, yang mestinya menjadi perpanjangan tangan keluarga dalam membentuk karakter, lebih sibuk mengejar ranking, akreditasi, dan capaian akademik. Nilai-nilai seperti menghargai guru, menyapa dengan sopan, dan menolong teman menjadi pelajaran tak tertulis yang jarang disinggung. Sementara itu, media sosial dengan segala gemerlapnya justru menjadi ruang baru yang menormalisasi gaya bicara kasar, sindiran, dan sikap tak hormat.
Realita di dunia maya, banyak murid belajar meniru gaya selebritas yang penuh sensasi daripada figur teladan yang beradab. Maka, tanpa disadari, modernitas yang semula diharapkan membawa kemajuan justru mengikis sendi-sendi kesopanan, meninggalkan generasi yang cerdas secara digital, namun kering dalam tata krama dan empati sosial.
Di sekolah, para guru sering kali terjebak dalam tekanan administrasi dan tuntutan kurikulum. Orientasi pendidikan yang lebih menekankan hasil, angka rapor, nilai ujian, dan prestasi akademik membuat proses pembentukan karakter sering dianggap sekadar pelengkap. Murid pun akhirnya tumbuh dalam sistem yang mengajarkan cara menjawab soal dengan benar, tapi lupa bagaimana bersikap benar terhadap sesama. Sementara itu, lingkungan kota yang keras dan kompetitif menanamkan nilai individualisme yang kuat; setiap orang berlomba mengejar pencapaian pribadi tanpa sempat menoleh pada nilai kebersamaan. Ditambah lagi dengan budaya instan dari media sosial yang mendorong murid untuk meniru perilaku tanpa proses refleksi.