Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

School Well-Being: Ketika Sekolah Menjadi Rumah Aman bagi Semua Warganya

24 September 2025   05:45 Diperbarui: 24 September 2025   05:45 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: youtube.com

SCHOOL WELL-BEING: KETIKA SEKOLAH MENJADI RUMAH AMAN BAGI SEMUA WARGANYA

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Sekolah sering disebut sebagai rumah kedua, tetapi tidak semua sekolah benar-benar terasa seperti rumah yang menenangkan. Banyak anak datang dengan cemas, guru mengajar di bawah tekanan, dan orang tua pun resah karena khawatir akan suasana belajar yang tidak ramah. Di sinilah pentingnya school well-being: menjadikan sekolah sebagai ruang yang aman secara fisik, mental, dan sosial. Ketika rasa aman tumbuh, relasi antar warga sekolah pun membaik, suasana belajar menghangat, dan setiap individu merasa dihargai serta terlindungi. Membangun sekolah yang sehat jiwa dan raga bukanlah mimpi, melainkan tanggung jawab bersama agar setiap langkah di lingkungan sekolah selalu terasa pulang ke rumah.

Input gambar: prsoloraya.pikiranrakyat.com
Input gambar: prsoloraya.pikiranrakyat.com
School well-being mencakup tiga unsur utama yang saling melengkapi: aman fisik, aman emosional, dan aman sosial. Aman fisik berarti sekolah bebas dari bahaya, ruangan tertata rapi, fasilitas aman, dan lingkungan terjaga kebersihannya sehingga meminimalkan risiko kecelakaan. Aman emosional tercipta ketika siswa merasa dihargai, didengar, dan tidak takut salah; guru pun mengajar dengan hati tanpa tekanan berlebih. Sementara itu, aman sosial menuntut adanya relasi yang sehat antarsiswa, guru, dan warga sekolah lain tanpa perundungan, diskriminasi, atau konflik yang merusak rasa percaya diri. Ketiga unsur ini menjadi fondasi agar sekolah mampu menopang tumbuh kembang peserta didik secara utuh.

Mewujudkan school well-being bisa dimulai dari langkah-langkah kecil yang konsisten. Pertama, guru, misalnya, dapat membuka kelas dengan sapaan hangat, mendengar keluh kesah siswa tanpa menghakimi, dan menciptakan aturan kelas yang adil bagi semua. Kedua, siswa diajak saling menghargai teman, menolong yang kesulitan, serta berani melapor jika melihat perundungan. Ketiga, orang tua pun berperan penting dengan mendukung komunikasi terbuka di rumah, mendampingi belajar tanpa membebani anak dengan tuntutan berlebihan, serta aktif menjalin hubungan baik dengan pihak sekolah. Ketika ketiganya saling terhubung, sekolah perlahan akan menjadi ruang yang benar-benar aman, ramah, dan membahagiakan bagi semua warganya.

Langkah-langkah tersebut sejalan dengan pandangan Professor Peter Gray, seorang psikolog pendidikan dari Boston College, bahwa konsep school well-being menekankan pentingnya kebebasan dan rasa aman dalam proses belajar, sehingga anak dapat berkembang secara alami tanpa tekanan yang merusak kreativitas dan mentalnya. Selain itu, sekolah harus bertransformasi menjadi ruang bermain intelektual dan sosial, bukan penjara aturan dan ketakutan. Pandangan ini meneguhkan makna school well-being sebagai ekosistem yang merawat, mendukung relasi sehat, dan memberi ruang tumbuh bagi setiap warga sekolah.

Input gambar: wayang.media.blogspot.com
Input gambar: wayang.media.blogspot.com
Konsep school well-being tidak hanya soal gedung yang bersih atau aturan yang rapi, tetapi juga terwujud melalui hubungan yang hangat dan saling mendukung antarwarga sekolah. Ketika guru, siswa, tenaga kependidikan, hingga orang tua saling menghormati peran masing-masing, rasa aman dan nyaman pun tumbuh secara alami. Hubungan yang sehat mendorong terbentuknya budaya dialog, toleransi, dan gotong royong, sehingga masalah kecil tidak mudah membesar menjadi konflik. Dalam lingkungan seperti ini, setiap orang merasa punya tempat untuk didengar dan dihargai, tanpa rasa takut akan penilaian atau diskriminasi.

Meskipun konsep school well-being semakin sering digaungkan, tantangan di lapangan tetap nyata dan kompleks. Masih banyak sekolah yang harus bergulat dengan masalah perundungan, baik secara langsung maupun melalui media sosial. Beberapa guru juga kerap terbebani administrasi berlebih sehingga kurang memiliki waktu untuk membangun kedekatan emosional dengan siswa. Di sisi lain, orang tua kadang sulit bekerja sama dengan pihak sekolah karena keterbatasan waktu atau miskomunikasi. Fasilitas fisik yang kurang memadai pun bisa menambah risiko kecelakaan atau gangguan kesehatan. Semua tantangan ini harus diakui dan dihadapi bersama agar mimpi menjadikan sekolah sebagai rumah aman bagi semua dapat terwujud dalam keseharian.

Harapannya, semua pihak baik guru, siswa, orang tua, hingga pemangku kebijakan saling bahu membahu menjaga sekolah tetap menjadi ruang yang merawat, bukan sekadar tempat menuntut prestasi. School well-being hanya akan hidup jika rasa aman, nyaman, dan saling percaya benar-benar terasa di setiap sudut sekolah. Diharapkan setiap sekolah di mana pun berada mampu menumbuhkan school well-being bukan hanya sebagai slogan, tetapi sebagai budaya hidup sehari-hari. Semoga guru, siswa, orang tua, dan seluruh warga sekolah saling menguatkan, saling menjaga, dan saling mendukung di dalam lingkungan belajar yang penuh kasih dan rasa aman.

Dengan begitu, sekolah benar-benar menjadi rumah kedua yang dirindukan, bukan lagi ditakuti dan sanggup menumbuhkan harapan, kebahagiaan, dan masa depan yang lebih baik bagi setiap anak bangsa. Mari kita bersama-sama membangun suasana belajar yang menyehatkan jiwa, mendukung tumbuh kembang anak dengan gembira, dan menumbuhkan kebahagiaan bagi semua warga sekolah.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun