KRISIS KEDISIPLINAN: ATURAN ADA, KETEGASAN TIADA, SIAPA YANG DISALAHKAN?
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Dalam kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, maupun berbangsa, keberadaan aturan menjadi fondasi utama dalam menciptakan keteraturan, keadilan, dan rasa aman. Setiap institusi, baik itu sekolah, kantor pemerintahan, komunitas, hingga lembaga keagamaan memiliki seperangkat tata tertib, kode etik, atau peraturan yang dirancang dengan maksud menuntun perilaku anggota agar selaras dengan visi, nilai, dan tujuan bersama.
Namun ironisnya, dalam praktik keseharian, aturan yang sejatinya menjadi penuntun moral dan perilaku itu sering kali kehilangan maknanya yaitu ketegasan dalam penegakan. Fenomena pelanggaran yang terus berulang tanpa konsekuensi yang jelas seolah mengabarkan bahwa aturan ada hanya untuk ditulis, bukan untuk ditegakkan.
Lalu pertanyaannya: ketika krisis kedisiplinan mulai menggerogoti dari dalam, siapa yang sepatutnya disalahkan? Apakah mereka yang melanggar, atau mereka yang membiarkan pelanggaran itu terjadi? Apakah krisis ini murni akibat lemahnya karakter individu, atau karena sistem yang terlalu lunak dan permisif? Pertanyaan-pertanyaan ini mengajak kita untuk tidak sekadar menunjuk jari, tetapi sejenak menengok ke dalam diri, adakah kita sendiri sedang menjadi bagian dari lingkaran ketidaktegasan itu?
Fakta di lapangan, krisis kedisiplinan tampak jelas dalam berbagai bentuk yang nyaris dianggap wajar. Di sekolah, misalnya, siswa datang terlambat tanpa sanksi yang konsisten. Di kantor, pegawai bermalas-malasan, absen tak tepat waktu, atau melanggar aturan berpakaian tanpa teguran berarti. Bahkan dalam lembaga pemerintah sekalipun, pelanggaran etika kerja sering kali hanya berakhir pada pembinaan lisan yang tak berdampak.
Dari sisi aturan memang ada dan kadang tertulis rapi di papan pengumuman, buku panduan, atau dokumen resmi, namun penerapannya bergantung pada "mood" atau kedekatan personal dengan atasan. Ketidaktegasan ini bukan hanya membuat aturan kehilangan wibawa, tetapi juga menumbuhkan sikap yang terlalu longgar atau terlalu memberi kebebasan sehingga dari pelanggaran kecil terus berkembang menjadi pembangkangan besar.
Akar dari krisis kedisiplinan bukan semata pada pelanggar aturan, melainkan lebih dalam lagi yakni pada ketidaktegasan sistem dan lemahnya keteladanan dari para pemangku kebijakan. Ketika pelanggaran tidak ditindak secara konsisten, maka pesan yang diterima adalah sebuah aturan bisa dinegosiasikan. Pemimpin atau otoritas yang seharusnya menjadi panutan justru sering kali tidak memberi contoh yang baik, bahkan tak jarang ikut melanggar.
Dampak dari krisis kedisiplinan sangat terasa dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari menurunnya etos kerja hingga runtuhnya kepercayaan terhadap institusi. Ketika pelanggaran dibiarkan tanpa konsekuensi, maka akan muncul rasa ketidakadilan di antara mereka yang berusaha taat. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan lingkungan yang tidak sehat, di mana perilaku tidak disiplin dianggap normal dan tidak lagi memalukan. Produktivitas menurun, hubungan antaranggota menjadi renggang, dan rasa tanggung jawab perlahan menghilang. Lebih dari itu, krisis kedisiplinan dapat mencoreng reputasi lembaga dan menanamkan budaya kerja asal-asalan yang sulit diperbaiki.