SUARA JERITAN YANG TERPASUNG
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Di sebuah sore yang teduh, angin laut berhembus pelan membawa aroma asin yang khas, sementara debur ombak menyapu garis pasir dengan irama yang menenangkan. Namun, di balik keindahan itu, tersimpan keresahan yang terus menggelayuti hati seorang pemuda desa bernama Mus. Ia duduk termenung di tepi pantai, menatap jauh ke samudra luas seolah mencari jawaban atas pergulatan batin yang tak kunjung reda.
"Mus, kau lagi-lagi duduk di tepi pantai ini?" tanya Ibu sambil menatap anaknya yang termenung. "Ibu tahu, tempat ini bagimu bukan sekadar pasir dan ombak, tapi tidakkah kau lelah memperjuangkannya sendirian?" Mus tersenyum lirih, "Ibu, pantai ini bukan hanya milikku, ini napas warga kita. Jika aku berhenti, siapa lagi yang akan menjaga rumah kita dari kerakusan orang-orang yang hanya melihat uang?"
"Selamat siang, warga desa," suara lantang Markus terdengar di balai desa. "Saya datang membawa harapan, bukan ancaman. Bayangkan jika pantai ini berubah jadi destinasi wisata kelas dunia, kalian akan ikut bangga, bukan?" Mus yang duduk di pojok berdiri, "Bangga? Bangga melihat anak-anak kami tak bisa lagi bermain di pasir? Bangga melihat perahu kami terhalang pagar hotelmu? Itu bukan harapan, Tuan Markus, itu penjara."
Warga saling berbisik, satu menunduk, satu lagi bergumam, "Tapi katanya akan ada lapangan kerja." Yang lain menjawab lirih, "Tapi akses pantai kita tertutup." Markus tersenyum tipis melihat kegamangan mereka, "Tenanglah, aku sudah mengurus semua dengan pejabat kabupaten. Semuanya resmi, legal." Mus menatap tajam, "Resmi bagimu, tapi tidak adil bagi kami."
"Mus, tolonglah, jangan terus menentang. Kau akan membuat dirimu celaka," bisik sahabatnya, Yanto, seusai rapat. "Aku tahu Markus bukan orang sembarangan, ia bisa membeli siapa pun." Mus menepuk bahu Yanto, "Justru karena itu aku harus melawan. Kalau semua diam, kita akan kehilangan lebih dari sekadar pasir, kita kehilangan harga diri."
Markus berbicara dengan para Majus di ruang rapat mewah, "Aku tidak mau ada suara sumbang dari anak desa bernama Mus itu. Kalian sudah kupercayakan segalanya, pastikan dia diam." Seorang Majus menjawab tenang, "Tenang, Tuan Markus, hukum ada di pihak kita. Sedikit saja dia salah bicara di media sosial, kami bisa jerat dengan pasal ITE." Markus mengangguk, "Bagus, aku tidak ingin bisnis ini diganggu."
"Ibu, kau lihat jalan aspal mulus di depan hotel Markus itu?" kata Mus sambil menunjuk. "Ya, tapi lihat juga kampung kita, tetap berlumpur bila hujan." Ibu menghela napas, "Mereka membangun hanya untuk tamu mereka, bukan untuk kita." Mus menghela napas panjang, "Inilah wajah pembangunan yang timpang, Bu. Hotel bersinar, rakyat terpinggirkan."
Suatu ketika di rumah sahabatnya, Mus berkata dengan semangat, "Aku menulis di media sosial, 'Pantai adalah hak rakyat, bukan monopoli kapital.' Biar semua orang tahu, kita tidak rela hak kita dirampas." Yanto menatapnya khawatir, "Kau berani sekali, Mus. Bagaimana kalau tulisanmu dianggap menghina?" Mus menatap layar ponselnya, "Lebih hina lagi kalau kita diam saat kebenaran dipasung."