Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara Jeritan yang Terpasung

11 September 2025   04:30 Diperbarui: 10 September 2025   18:43 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: travel.detik.com

Markus menepuk meja ketika membaca berita di ponselnya, "Ini keterlaluan! Pemuda desa itu merusak citra investasiku." Ia menatap para Majus, "Lakukan sesuatu. Buat dia jera." Salah satu Majus tersenyum dingin, "Kami sudah siapkan laporan polisi. Ia akan dituduh menyebar kebencian. Biarkan hukum menjeratnya." Markus tersenyum puas, "Bagus, kali ini dia akan belajar."

Sore itu, aparat mendatangi rumah Mus. "Anda Mus?" tanya salah satu petugas. "Ya, ada apa?" Mus berdiri tenang. "Anda ditahan karena dugaan melanggar UU ITE." Ibunya menangis, "Anakku tidak salah! Ia hanya menulis kebenaran!" Sahabat-sahabatnya berteriak, "Ini tidak adil!" Namun, borgol sudah mengikat tangan Mus, dan ia dibawa pergi dengan wajah tetap tegak.

Di balik jeruji besi, Mus berbicara pada dirinya sendiri, "Kini aku dipenjara bukan karena mencuri atau membunuh, tapi karena kata-kata. Betapa rapuh negeri ini jika kebenaran dianggap ancaman." Seorang tahanan di sebelahnya berkata, "Kau tampak kuat, anak muda." Mus tersenyum kecil, "Aku harus kuat, sebab yang kuperjuangkan bukan untukku seorang, melainkan untuk mereka di luar sana."

Di pantai yang kini berpagar tinggi, Markus berjalan bersama tamu-tamu hotelnya. "Lihatlah, pantai ini kini eksklusif, hanya untuk orang-orang pilihan." Seorang tamu berkata kagum, "Indah sekali, sepi dan tenang." Markus tertawa, "Ya, tidak ada nelayan, tidak ada keributan, hanya kenyamanan." Sementara di kejauhan, warga desa berdiri, menatap dengan mata perih karena mereka terasing di tanah sendiri.

"Kita tidak bisa tinggal diam!" seru Yanto di rumah Mus. "Kita harus bersatu. Mari buat gerakan untuk membebaskan Mus!" Seorang warga berkata ragu, "Tapi bagaimana kalau kita ikut ditangkap?" Yanto menatap mereka tegas, "Justru karena Mus dipenjara, kita harus bersuara. Kalau tidak, kita semua akan dipenjara tanpa jeruji."

"Bebaskan Mus! Bebaskan Mus!" demikian teriak masyarakat di ruas jalan yang hari itu diguyur hujan. Seorang aktivis berkata melalui pengeras suara, "Kasus Mus adalah bukti bahwa rakyat dibungkam atas nama investasi. Kita tidak bisa membiarkan ini terus terjadi!" Massa bertepuk tangan, dan media mulai menyorot gerakan ini. Nama Mus kini dikenal jauh di luar desanya.

Markus menatap layar televisi di ruangannya, wajahnya pucat. "Bagaimana mungkin seorang pemuda desa bisa membuat keributan sebesar ini?" gumamnya. Salah seorang Majus menenangkan, "Tenang, Markus, publik akan lupa seiring waktu." Markus menggeleng, "Tidak, mereka semakin ramai. Aku takut bisnis ini hancur."

Di penjara, Mus menulis dengan pena pinjaman, "Jika kebenaran dipenjara, maka kebohongan sedang merayakan pesta." Seorang sahabat yang menjenguk membacanya, "Mus, ini luar biasa. Aku akan menyebarkannya ke luar." Mus tersenyum, "Biarkan kata-kata ini terbang melewati jeruji, biarkan mereka tahu aku tidak diam."

Di depan jalan itu, mereka memandang ke alun-alun yang sudah dijaga ketat petugas. Salah seorang dari masyakat yang berdemo berteriak lantang dengan pengeras suara di tangannya: mari bersatu bebaskan Mus! Jika kebenaran dipenjara, maka kebohongan sedang merayakan pesta!" teriaknya. Massa bersorak, "Hidup Mus! Hidup rakyat!" Jurnalis melaporkan, "Kalimat Mus kini menjadi semboyan perlawanan."

Ribuan orang berkumpul di balai desa. "Kami menuntut Mus dibebaskan!" teriak warga. Seorang ibu berdiri di depan aparat, "Anakku tidak bersalah, ia hanya memperjuangkan hak kami!" Aparat menatap kaku, tapi desakan massa terlalu besar, suara mereka menggema hingga pusat kota.

Para Majus duduk melingkar dalam ruang rapat yang biasanya dipenuhi tawa kemenangan, kini berubah jadi tempat wajah-wajah tegang dan keringat dingin. "Tekanan publik sudah tidak bisa dibendung," kata salah satu dengan nada gusar, "banyak media lokal dan nasional terus menyorot, bahkan akademisi ikut menulis kritik di koran dan jurnal mereka." Yang lain menimpali dengan suara berat, "Gerakan ini terlalu besar, setiap hari semakin banyak orang turun ke jalan, menuntut pembebasan Mus."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun