Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Playing Victim Dijadikan Ruang Popularitas

13 Mei 2025   06:45 Diperbarui: 13 Mei 2025   06:45 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: youtube.com

KETIKA PLAYING VICTIM DIJADIKAN RUANG POPULARITAS

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Di era media sosial yang serba cepat ini, istilah playing victim semakin sering terdengar dan bahkan menjadi bagian dari percakapan sehari-hari. Istilah ini merujuk pada perilaku seseorang yang sengaja memposisikan diri sebagai korban, meskipun kenyataannya tidak selalu demikian. Pada awalnya, perilaku ini mungkin muncul sebagai bentuk mekanisme bertahan atau pelarian dari masalah, tetapi kini banyak yang memanfaatkannya sebagai strategi untuk menarik perhatian dan simpati publik.

Dengan bantuan algoritma media sosial yang cenderung mengedepankan konten-konten emosional, perilaku playing victim bertransformasi menjadi alat untuk mendapatkan popularitas instan. Fenomena ini memunculkan pertanyaan kritis: sejauh mana keinginan untuk terlihat sebagai korban telah mengaburkan batas antara kejujuran dan manipulasi di ruang publik? Ulasan artikel ini akan membahas bagaimana playing victim dimanfaatkan sebagai ruang popularitas, dampaknya bagi individu dan masyarakat, serta pentingnya literasi digital dalam menghadapi fenomena ini.

Maraknya fenomena ini di media sosial sering menampilkan figur publik yang berujung saling menyalahkan sambil memposisikan diri sebagai pihak yang paling terluka. Hal ini sering kali dirancang secara sadar untuk meraih perhatian dan simpati publik. Ada beberapa faktor pendorong di balik maraknya perilaku ini, salah satunya adalah kebutuhan untuk mendapatkan validasi dan pengakuan dari lingkungan sekitar. Di era digital, algoritma media sosial pun memainkan peran besar dengan mengutamakan konten yang memancing emosi, terutama yang bernuansa sedih atau penuh konflik, sehingga semakin banyak orang tergoda memanfaatkan narasi korban demi menaikkan interaksi, likes, atau followers.

Namun, dampak dari fenomena ini tidak bisa dianggap remeh. Bagi individu pelaku, ada risiko ketergantungan pada pengakuan eksternal yang dapat menggerus kepercayaan diri sejati dan memperlemah kemampuan menyelesaikan masalah secara mandiri. Sementara itu, bagi masyarakat luas, banjir narasi korban palsu dapat menimbulkan kelelahan empati, membuat publik semakin skeptis dan sulit membedakan mana penderitaan yang otentik dan mana yang dimanipulasi. Bahkan yang lebih serius, ruang bagi korban nyata justru terancam tertutupi oleh derasnya arus drama yang direkayasa demi popularitas.

Motivasi di balik playing victim sering kali berakar pada keinginan untuk menarik perhatian, mendapatkan simpati, atau meraih keuntungan tertentu, baik secara emosional maupun materi. Banyak orang memanfaatkan peran sebagai korban untuk menghindari kritik, membangun citra baik, atau bahkan memperoleh popularitas di media sosial. Dengan memposisikan diri sebagai pihak yang tersakiti, mereka berharap publik lebih mudah memihak tanpa mempertanyakan kebenaran di balik cerita yang dibagikan.

Dalam menghadapi situasi ini, tantangan besar muncul bagi publik, terutama dalam mengasah literasi digital dan empati yang cerdas. Masyarakat perlu lebih kritis dalam menyaring informasi, tidak mudah terpancing emosi, dan mampu memberikan dukungan pada pihak yang memang layak menerima. Dengan demikian, tanggung jawab publik bukan hanya terletak pada kemampuan membaca berita secara cermat, tetapi juga pada sikap bijak untuk tidak ikut memperkuat budaya playing victim yang merusak ruang sosial bersama.

Pada kenyataannya, fenomena playing victim yang dijadikan alat meraih popularitas mencerminkan wajah media sosial yang semakin kompleks, di mana batas antara kejujuran dan manipulasi makin kabur. Di tengah derasnya arus informasi dan emosi, kita sebagai publik ditantang untuk lebih bijak dalam merespons setiap narasi yang muncul, tanpa langsung terjebak dalam drama yang sengaja dibangun demi simpati.

Penting bagi kita untuk mengedepankan empati yang cerdas, mampu memilah mana penderitaan yang tulus dan mana yang hanya sekadar panggung popularitas. Dengan demikian, ruang sosial digital tidak hanya menjadi arena pencitraan, tetapi juga wadah yang lebih sehat untuk saling mendukung dan menguatkan.

Harapannya, publik dapat menjadi semakin cerdas dan kritis dalam menyikapi berbagai informasi yang beredar di media sosial. Alih-alih langsung percaya atau terpancing emosi, masyarakat diharapkan mampu memverifikasi kebenaran sebuah narasi dan melihat konteks di baliknya. Oleh karena itu, publik memiliki peran penting dalam menyikapi fenomena playing victim dengan sikap kritis dan bijak. Masyarakat diharapkan tidak mudah terpancing emosi, mampu memverifikasi informasi, dan tidak ikut menyebarkan drama yang belum jelas kebenarannya. Dengan mengedepankan empati yang cerdas dan kehati-hatian, publik dapat membantu menciptakan ruang media sosial yang lebih sehat dan otentik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun