ISU "MATAHARI KEMBAR" DI LANGIT KEKUASAAN: SIAPA PEMILIK CAHAYA SEJATI?
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Belakangan ini muncul isu "matahari kembar" yang santer dibicarakan publik. Sorotan ini mencuat setelah sejumlah menteri Kabinet Merah Putih menyambangi kediaman Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), di Solo, Jawa Tengah, tak lama setelah perayaan Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriah. Kunjungan itu menimbulkan berbagai spekulasi politik, terutama terkait gestur simbolik yang dianggap mencerminkan keberpihakan pada poros kekuasaan di luar jalur formal pemerintahan. Banyak pandangan publik yang menafsirkan pertemuan tersebut bukan sekadar silaturahmi lebaran, melainkan sinyal awal tentang kontestasi pengaruh di antara dua kutub kekuasaan, yang satu berada di lingkar kekuasaan formal, dan yang lainnya mencoba tetap bersinar dari balik bayang-bayang.
Isu "matahari kembar" mencerminkan kegamangan arah kepemimpinan dalam satu negeri, ketika dua tokoh kuat seolah berlomba menjadi pusat pengaruh. Dalam konteks ini, yang terjadi bukan sekadar dinamika politik biasa, melainkan tarik-menarik kuasa yang bisa menimbulkan perpecahan. Metafora "matahari kembar" lazim digunakan untuk menggambarkan situasi di mana dua pusat kekuasaan muncul secara bersamaan dalam satu wilayah otoritas, menciptakan ketegangan dan kebingungan arah.
Dalam konteks kenegaraan, fenomena ini mencuat ketika muncul dua tokoh dengan pengaruh besar mencoba mendominasi ruang kepemimpinan, baik secara formal maupun simbolik. Keduanya berusaha menjadi sumber cahaya bagi arah bangsa, namun pada saat yang sama justru menimbulkan bayang-bayang persaingan yang tajam. Di tengah kondisi seperti ini, muncul pertanyaan yang menggelayut di benak publik: siapakah sebenarnya pemilik cahaya sejati?
Media turut menambah terang cahayanya dengan memperbesar polarisasi ini dalam memberitakan setiap gerak langkah dua matahari tersebut secara kontras. Publik pun ikut terseret dalam arus pertarungan cahaya antara "matahari kembar" ini. Tak sedikit yang terjebak dalam polarisasi, memilih salah satu sosok sebagai representasi harapan, sementara yang lain dianggap ancaman. Di tengah riuhnya opini dan bias informasi, rakyat justru menjadi korban kebingungan arah, tak tahu mana cahaya yang benar-benar menerangi dan mana yang hanya memancarkan silau semu.
Dampak dari isu "matahari kembar" tak hanya menjadi wacana elite, tetapi turut berimbas serius pada persatuan dan stabilitas bangsa. Ketika dua tokoh dengan pengaruh besar saling berebut pengaruh di ruang publik maupun pemerintahan, imbasnya merembes hingga ke lapisan masyarakat bawah. Polarisasi yang tercipta membuat rakyat terbelah dalam loyalitas yang tidak sehat, bukan karena perbedaan gagasan, tetapi karena sikap ikut-ikutan dalam kultus personal. Institusi pemerintahan pun tak luput dari dampaknya; kebijakan menjadi bias arah, roda birokrasi berjalan tidak serempak, bahkan antarpejabat saling mencurigai satu sama lain.
Lebih jauh, potensi instabilitas politik meningkat ketika kelompok-kelompok pendukung bersikap militan, memperuncing konflik di media sosial hingga ruang-ruang kehidupan sehari-hari. Dalam suasana seperti ini, ruang dialog yang konstruktif semakin menyempit, tergantikan oleh adu klaim dan narasi yang menyesatkan. Jika dibiarkan, isu ini tak hanya menggerogoti kepercayaan publik terhadap pemimpin, tetapi juga merusak tatanan demokrasi yang sehat dan beradab.
Di tengah isu perebutan sorotan antara dua "matahari kembar", penting untuk merenung sejenak dan mencari jalan tengah. Refleksi terhadap situasi ini mengajarkan kita bahwa kepemimpinan yang baik bukanlah tentang siapa yang paling terang, tetapi siapa yang mampu mengarahkan cahaya untuk kebaikan bersama. Kedua tokoh, meski berbeda jalan, bisa saja memiliki kontribusi positif jika mereka memilih untuk saling melengkapi, bukan saling mengalahkan.
Ruang rekonsiliasi politik yang mengedepankan dialog dan kerjasama bisa menjadi solusi terbaik, dengan menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Jalan tengah ini tidak hanya akan membawa kedamaian bagi tubuh pemerintahan, tetapi juga meredakan ketegangan di masyarakat yang semakin terpolarisasi. Yang lebih penting lagi, ini akan mengingatkan kita semua bahwa persatuan dan stabilitas jauh lebih berharga daripada merebutkan cahaya yang hanya sementara.