Mohon tunggu...
Salmah Salmah
Salmah Salmah Mohon Tunggu... -

Praktisi kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tenaga Kesehatan: Harus Punya Sikap “Melayani”

30 Oktober 2014   15:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:10 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Beberapa hari yang lalu, Saya membaca sebuah berita yang “lagi-lagi” menggambarkan buruknya situasi pelayanan kesehatan kita. Berita yang dilansir oleh tribunnews.com Makassar tanggal 28 okt 2014 tersebut mengisahkan tentang seorang bayi yang meninggal di sebuah rumah sakit saat sedang menjalani perawatan. Diberitakan, bayi yang sejatinya menjalani perawatan di inkubator tersebut meninggal dunia setelah sempat terpanggang di inkubator selama 2 hari. Pada saat meninggal, ditemui kulit punggung dan paha bayi dalam keadaan melepuh (Baca: Kulitnya Melepuh dalam Inkubator, Bayi Berusia 5 Hari Akhirnya Meninggal).

Jika dirunut lagi, kasus ini hanyalah salah satu contoh saja dari berbagai kejadian yang tidak diharapkan di sebuah pelayanan kesehatan. Berbagai kasus kejadian tidak diharapkan karena berbagai penyebab acapakali terjadi yang melibatkan petugas kesehatan terutama dokter, perawat maupun bidan. Tidak hanya di institusi pelayanan kesehatan milik pemerintah, tetapi juga milik swasta/ perorangan. Lalu apa sebenarnya yang terjadi dengan pelayanan kesehatan kita?

Ya, isu dan perhatian publik terhadap pelayanan kesehatan di tanah air sedemikian besar sehingga selalu menjadi sorotan media. Hal tersebut tidak terlepas dari semakin kritisnya para pelanggan pelayanan kesehatan yang mempunyai ekspektasi tinggi terhadap kemajuan pelayanan kesehatan di negeri ini.

Apalagi di era JKN saat sekarang. Pembaharuan sistem, regulasi dan kebijakan di sektor kesehatan telah memberikan kesempatan pada masyarakat utuk mengenal dan memanfaatkan institusi pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit. Alangkah memprihatinkan, jika seorang yang dimotivasi utuk memanfaatkan puskesmas ataupun rumah sakit, malah mendapatkan kekecewaan ketika mengakses pelayanan kesehatan tersebut.

Baik buruknya sebuah pelayanan kesehatan, sangat ditentukan oleh Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan-nya. Kuantitas SDM, selalu menjadi masalah klasik yang ditemui terutama di rumah sakit. Mulai dari ketersediaan dokter spesialis hingga dokter umum, perawat, bidan maupun profesi kesehatan lainya. Hal ini paling sering terjadi di daerah, justru di saat masyarakat tidak mempunyai alternatif lain untuk berobat.

Salah satu contoh: bahkan di satu kabupaten bisa saja tidak ada dokter spesialis menetap untuk suatu jenis pelayanan spesialistik dasar (seperti: penyakit dalam, bedah, anak dan kebidanan/ kandungan). Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan, pihak rumah sakit terpaksa mengupayakan dokter spesialis yang part time dengan rumah sakit tetangga. Bisa dibayangkan, ketika seorang dokter spesialis harus merangkap beberapa rumah sakit, dapat dipastikan adanya overload dalam beban kerja. Alhasil pelayanan kesehatan yang diberikan tidak maksimal, tergesa-gesa bahkan bisa saja terjadi loose of control terhadap pasiennya.

Lain halnya dengan ranah keperawatan. Sistem manajemen kerja yang belum terintegrasi dengan baik, mengakibatkan adanya tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas. Tidak hanya antara jenjang kompetensi dalam 1 profesi, bahkan juga antara 1 profesi dengan profesi lain. Belum lagi persoalan administrasi yang kerap menjadi bagian tugas dari perawat.Kembali lagi, ujung-ujungnya adalah beban kerja yang meningkat.

Lalu bagaimana dengan kualitas? Sistem pendidikan, penerapan standar kompetensi yang belum optimal mengakibatkan munculnya para praktisi kesehatan yang tidak kompeten di bidangnya. Tentu saja hal ini sangat berbahaya, mengingat bidang pekerjaaan kesehatan yang berhubungan dengan nyawa dan kelangsungan hidup manusia.

Namun dibalik permasalahan kuantitas dan kualitas di atas, ada hal mendasar yang turut membangun pelayanan kesehatan ini, yaitu mental/ sikap pemberi pelayanan kesehatan itu sendiri. Dalam suatu sesi perkuliahan manajemen SDM kesehatan yang Saya ikuti, sang dosen mengatakan bahwa sikap dasar yang harus dimiliki oleh seorang tenaga kesehatan adalah “melayani”. Yups, sebuah sikap yang mempunyai makna luas, tidak hanya menyangkut lahiriah/ performa saja tetapi juga mental yang tertanam dalam jiwa seorang pemberi pelayanan kesehatan. Statement ini mengisyaratkan, bahwa kompetensi yang handal saja tidak cukup untuk mencapai pelayanan kesehatan yang excelent, tetapi juga harus dibarengi dengan keikhlasan dari hati. Lalu sudahkah kita menerapkannya dalam keseharian? Tanya pada diri sendiri...

Menyikapi permasalahan SDM Kesehatan, membutuhkan intervensi yang komprehensif. Penambahan dan pemerataan jumlah SDM Kesehatan diharapkan menjadi prioritas pemerintah agar dapat mencakup kebutuhan kesehatan masyarakat. Di samping itu, perlu diupayakan perbaikan sistem pendidikan kesehatan yang terintegrasi dan memenuhi standar agar melahirkan tenaga-tenaga kesehatan yang profesioal. Sementara itu, penerapan yang optimal terhadap undang-undang dan kode etik profesi, regulasi, serta standar kompetensi tenaga kesehatan akan menjadi pengawas bagi tenaga kesehatan untuk tidak lalai dalam menjalankan tugas.

Di sisi lain, mengoptimalkan kualitas dan kinerja tenaga kesehatan yag sudah ada dapat dijadikan sebagai langkah cepat dan strategis dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Dalam bukunya, Ilyas (2012) mengatakan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja seorang dokter/ perawat maupun bidan. Faktor tersebut adalah karakteristik pribadi, motivasi, pendapatan dan gaji, keluarga, organisasi, supervisi dan pegembangan karir. Faktor-faktor ini, harus menjadi perhatian khusus bagi pimpinan, pemerintahan dan pembuat kebijakan agar melahirkan tenaga kesehatan yang profesional, kompeten dan mempunyai sikap mental “melayani”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun