Mohon tunggu...
Salam Rahmad
Salam Rahmad Mohon Tunggu... Jurnalis - brain food

be kind.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Militansi Rumah Singgah Al-Barkah, Surganya Anak Terminal

24 Oktober 2019   10:00 Diperbarui: 19 Februari 2020   14:21 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Karena saya tidak berpendidikan, saya terinspirasi untuk mendirikan sekolah agar tidak di bodohi orang. Mayoritas orang dari kampung saya (Baduy) hanya jadi pembantu, termasuk saya." Itulah kata-kata pertama yang diucapkan Nur saat ditanya mengenai tujuannya membangun rumah singgah untuk anak-anak jalanan dan warga sekitar di daerah Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur.

Nur bukanlah seorang pendatang baru yang merantau untuk mengadu nasib di Jakarta. Ia sudah tinggal di Jakarta sejak 33 tahun lalu. Bermodal nekat pergi ke Jakarta tidak lantas membuatnya menyurutkan niat dalam mencari rezeki untuk penghidupan yang layak. Bercermin dari dirinya yang hanyalah seorang tamatan sekolah dasar, ia enggan para generasi penerus bangsa nantinya hidup seperti dirinya hanya karena tidak dapat merasakan bangku pendidikan akibat himpitan ekonomi.

Berawal menjadi seorang pembantu membuat hatinya tergerak melihat masih banyak anak-anak yang putus sekolah karena perekonomian keluarga yang tidak mendukung. Dari kejadian-kejadian yang dialaminya, ia mulai bertekad untuk mendirikan sekolah untuk anak-anak kurang mampu.

Lika-liku kehidupan yang dijalani Nur memang berat dalam mendirikan rumah singgah ini. Ia harus berjualan seperti membuat majalah dan TTS (Teka-Teki Silang) yang dijualnya di Terminal Pasar Senen.

Jerih payahnya selama 25 tahun menabung akhirnya terwujud untuk mendirikan rumah singgah bagi naak-anak kurang mampu namun ingin tetap bersekolah sebagaimana mestinya. Selain mendirikan rumah singgah tersebut, rupanya ia juga membangun warung khusus untuk anak-anak tersebut secara cuma-cuma dan dananya untuk rumah singgah itu sendiri karena ia merasa mempunyai tanggung jawab dengan anak-anak termarjinalkan tersebut. Penghasilan yang diperoleh dari hasil warung itu digunakan untuk membayar listrik, air, dan kebutuhan harian rumah singgah.

Baginya, perubahan dalam diri seseorang itu akan tumbuh pada orang itu sendiri, "kalau bukan dari diri saya yang merubah, siapa lagi?". Nur mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi dan dua anaknya yang lain saat ini tengah mengenyam pendidikannya di pesantren. Ia mempunyai karakter yang tegas baik di mata keluarga maupun lingkungan. Sosoknya yang tegas menjadikannya sebagai orang yang taat pada aturan norma dan hukum agama.

Nur selalu membekali anak muridnya untuk selalu berbuat kebaikan dan taat pada perintah agama. Namun, bagi mereka yang melanggar aturan yang sudah ditetapkan, maka akan menerima punishment (hukuman). Meskipun kabar baiknya bahwa sebagian besar anak di rumah singgah sudah taat pada aturan tersebut.
 
Pengalaman hidup yang dilaluinya memang terbilang keras, karena ia besar di lingkungan terminal yang kesehariannya tak asing dengan kehidupan gelap seperti mabuk-mabukan dan berjudi. Namun, ia memiliki prinsip hidup dengan tidak mengikuti pergaulan yang tidak sehat itu. Nur bertekad mengubah stigma masyarakat akan kejam dan kerasnya kehidupan di terminal. Beliau mengungkapkan, tidak semua kehidupan di terminal itu buruk. Salah satu wujud nyatanya adalah ketulusan hati yang dimilikinya untuk mendirikan rumah singgah.

Sebagai pendiri sekaligus pengajar, Nur memiliki penghasilan tambahan berupa warung yang harus ia kelola. Letak warungnya tidak jauh, hanya sekitar 200 meter dari rumah singgah tersebut. Hal ini bertujuan agar ia tetap bisa mengunjungi rumah singgah. Baginya uang bukanlah sesuatu yang harus ia kejar di dalam kehidupan ini, tetapi bagaimana dalam hidup ia dapat bermanfaat dan peduli dengan sesama, khususnya anak-anak yang kurang mampu dan tidak dapat berbuat banyak. Baginya, mereka adalah generasi penerus, yang akan hancur sia-sia jika tidak memperoleh pendidikan baik dari segi ilmu pengetahuan, maupun akhlak, moral, dan agama.

Rumah Singgah Al-Barkah sudah berdiri 19 tahun lamanya dan memiliki 40 orang anak didik yang beragam latar belakangnya seperti anak jalanan, anak sekitar terminal bahkan anak yang ditelantarkan orang tuanya di terminal. Berdiri sejak tahun 2000, tentu banyak rintangan yang harus dihadapi seperti penggusuran karena bangunan tersebut berdiri diatas tanah pemerintah yang mengharuskannya pindah ke tempat lain.

Hingga kini, rumah singgah tersebut tetap berdiri di tempat baru yang hanya beralaskan lantai papan dan dinding kayu dengan desain bangunan bergaya rumah panggung.

Dengan hanya bermodalkan satu lampu yang bergantung di atap, rumah singgah ini tetap terasa terang karena di sinari semangat anak-anak yang tak pernah padam. Bagi mereka, belajar dengan kondisi sederhana pun sangat membahagiakan karena banyak orang-orang yang masih peduli dengan mereka, diantaranya dengan memberikan sumbangan buku, alat tulis, hingga mengajarkan mereka untuk mengaji.

Terlebih dalam bulan suci Ramadhan banyak dari para relawan datang berbondong-bondong untuk berbagi kebahagiaan bersama anak-anak jalanan tersebut. Di samping mendapat ilmu yang bermanfaat, mereka juga diberi bingkisan hadiah berupa baju yang masih layak untuk digunakan di hari raya Idul Fitri nantiya.

Keakraban dan kekeluargaan terasa hangat ketika berada di rumah singgah. Halaman yang dibuat walau tidak terlalu besar, tetapi diisi dengan canda tawa anak-anak yang bermain ayunan bersama. Mereka biasanya didampingi oleh tangan kanan Nur, yakni Heri. Tidak hanya saat bermain dan belajar,

Heri juga menjemput dan menemani anak-anak dalam perjalanan dari rumah menuju rumah singgah yang ditempuh dengan berjalan kaki. Banyaknya bus yang berlalu-lalang di kawasan terminal membuat Nur, sang pemilik tanggung jawab besar menugaskan Heri untuk tetap mengawasi anak-anak. Dengan keterbatasan yakni kelumpuhan di salah satu tangannya, tidak lantas membuat Heri menolak amanah tersebut.

Tak hanya Heri yang mendedikasikan dirinya untuk mengajar anak-anak jalanan di rumah singgah tersebut, tetapi terdapat mahasiswa dari 17 kampus berbeda di kawasan Jakarta dan sekitarnya yang terdaftar sebagai pengajar di rumah singgah tersebut. Hal ini tentu disambut baik oleh Nur, karena mahasiswa tersebut harus memahami prosedural penegasan yang Nur buat yaitu kerelaan untuk mengajar tanpa mendapatkan upah serta tidak diizinkan untuk mengejar kepentingan dan keuntungan pribadi dari rumah singgahnya itu.
 
Nur memiliki segudang impian untuk mewujudkan cita-citanya sedari dulu untuk menghasilkan manusia yang unggul dalam takwa dan intelektual melalui rumah singgah yang dibangunnya. Namun, alangkah terkejutnya Nur mengetahui di zaman sekarang ini anak-anak mulai kehilangan jati diri karakter nasionalismenya.

Generasi milenial sekarang ini lebih banyak berinteraski di dunia maya ketimbang di dunia nyata yang sebenarnya. Banyak fenomena-fenomena sosial yang bisa menjadi perhatian khusus masyarakat dalam melihat kesenjangan sosial terutama dalam hal pergaulan keseharian. Dunia pergaulan yang keras menuntut mereka untuk mengikuti arah pergaulan buruk seperti anak-anak yang semestinya bersekolah namun terpaksa mencari nafkah di jalanan demi menyambung hidup.

Di samping itu, dalam dunia pergaulan tak luput dari permasalahan, banyak dari mereka yang terlalu larut dalam dunia gelap yang membuatnya lupa akan membawa dampak buruk bagi dirinya. Kurangnya effort (usaha) dari pemerintah dalam menangani permasalahan pendidikan non-formal di Jakarta dirasa kurang karena bagi Rumah Singgah Al-Barkah ini sendiri mengalami kesulitan dalam pengajuan dana seperti pengurusan berkas.

Harapan terbesar Nur saat ini, khususnya bagi generasi sekarang untuk saling berbagi kepada siapapun tanpa memandang SARA, karena mereka itu adalah tunas bangsa, sehingga kita harus mengajarkan apa yg kita bisa lakukan untuk anak-anak tersebut. Seseorang akan menjadi kuat apabila mentalnya sudah ditempa sejak kecil tanpa bergantung kepada orang lain selamanya. Ilmu yg bermanfaat adalah satu hal yg harus diberikan untuk membentuk karakter anak bangsa.


Penulis:

Salam Rahmad


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun