Mohon tunggu...
Handika Weh
Handika Weh Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance in the world

Seorang penulis recehan yang terlahir di bumi Pasundan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Numerik Sampai Mengenal Apa Itu Ceurik Bersama Mimih

16 November 2020   20:25 Diperbarui: 16 November 2020   20:49 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.



Jika ditanya apa ketakutan dari seorang anak muda berusia 20 tahun ini, jawabannya adalah takut kehilangan sosok perempuan yang di sebut Ibu sebelum saya bisa mewujudkan mimpi saya dan mimpi mereka melihat anaknya sukses dan bahagia.

Saya memanggilnya dengan sebutan mimih, salah satu kata yang paling banyak terucap dari mulut saya sampai saat ini, ketika sedang menangis karena ingin mainan atau berantem sama teman semasa kecil. Maka Mimih adalah nama pertama yang aku sebut dan orang pertama yang mengusap air mataku.

Hal pertama yang Mimih ajarkan adalah jangan merugikan orang lain, Ia selalu melarangku untuk membuat teman menangis, mencuri mainan ataupun berkata kasar dan menyinggung teman atau orang lain semasa kecil dulu.

Selain itu ada salah satu hal yang tak akan pernah terlupa sampai kapanpun, dulu sebelum saya masuk Sekolah Dasar dan masih unyu-unyu gimana, saya adalah anak pertama yang mampu menghitung angka dari 1 - 100 diantara teman-teman sebaya saya. Sebuah kebanggaan dan rasa senang tersendiri mempunyai kelebihan tersebut. Bahkan tetangga menjuluki saya sebagai anak cerdas, bangga bukan. Padahal Mimih sih yang cerdas, karena kita sering bermain sambung angka sampai aku hapal banget Mih, kalau aku salah pasti Mimih cubit hidung aku sambil ketawa, hihihi.

Sempat pas SD, kalau gak salah awal masuk kelas 1 ada tugas dari Pak Guru menggambar semua huruf alfabet di kertas gambar dan Ia meyuruh mewarnai setiap abjad yang berdekatan dengan warna yang berbeda, karena tidak selesai maka tugas tersebut dijadikan PR. Akhirnya saya mencoba menggambar tugas tersebut di rumah. 

Dan hasil nya 1 penghapus utuh habis namun tugas belum selesai dan semua huruf nampaknya seperti aksara pra sejarah yang tak terbaca dan sulit dipahami. Di situ Mimih datang, melihat anaknya terlihat frustasi membuatnya datang dengan mulut tersenyum dan kesannya ingin tertawa, hihihi maklum anak kecil kan labil hehehe.

Kurang dari 30 menit gambar itu sudah jadi dan tinggal mewarnai, kemudian Mimih menghapusnya dan menyuruh aku untuk menggambar ulang dari bekas hapusan tersebut. Dari situ sampai kelas 12 SMA saya senang menggambar huruf doodle atau huruf dengan gaya gitu lah.

Dan hal yang paling luar biasa dari sosok Ibu yang saya panggil Mimih adalah ketika Ia pernah menangis oleh orang yang paling Ia cintai. Saya waktu itu masih kecil, belum mengerti apa itu perpisahan ataupun perceraian. Mereka bertengkar, sebelumnya aku tidak pernah melihat Bapak seperti ke Mimih atau aku hanya melihat yang itu saja.

Entahlah tapi saat itu saya merasa kesepian. Dua orang yang paling menyayangi saya dan saya sayangi harus berbeda rumah, berbeda kampung dan berpisah. Tidak ada yang lebih kejam bagi seorang anak melihat ibu dan ayah mereka bertengkar dan berpisah. Dan setiap harinya saya sering ceurik (menangis dalam bahasa sunda) dalam senyum.

Kemudian waktu itu saya ikut Mimih, setelah beberapa lama ada orang yang baik banget, Dia dulu sering membelikan mainan dan makanan, pokoknya baik deh dan ditunggu banget oleh anak kecil seumuran saya pastinya. Katanya Dia ingin menikahi Ibu saya, dari situ saya berpikir sebagai anak kecil berusia 5 tahun bakal punya dua ayah dong. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun