Nama asliku Muhaimain Iskandar. Nama ini pemberian orang tua saya sejak lahir. Sebutan nama kearab-araban seperti nama saya di Jawatimur tempat kelahiran saya sudah jamak. Mayoritas penduduk Jawa Timur Pasca Tragedi kemanusiaan 30 September 1965 berduyun duyun melekatkan nama pada anaknya yang baru lahir dengan nama Arab.
Maka orang tua saya pun ikut-ikutan memberikan nama kepada saya , dengan nama Arab. Sedang kedua orang tua saya sendiri masih memakai nama lokal khas Jawa Timur tempo dulu. Ibu saya bernama Juminten, sebuah nama yang tak ada padanannya di luar Jawa Timur. Juminten adalah nama khas yang sering dipakai penduduk Jawa Timur sebelum penduduk Jawa Timur dibombardir oleh nama impor dari arab.
Bapak saya bernama Mujiono. Sama dengan nama Juminten, Mujiono adalah produk lokal nama Jawa Timur tempo dulu. Kesamaannya, kedua nama orang tua saya adalah nama khas orang jawa timur sebelum Islamisasi nama menggurita.
Saya sebagai Anak bungsu dari tiga bersaudara. kedua kakak saya pun diberi nama-nama yang di impor dari Arab. Kakak yang pertama bernama Imam Syahrowi dan kakak kedua bernama Nurhasanah. Saya tidak mengerti mengapa kedua orang tua saya memutus begitu saja ketersambungan nama anak-anakny dengan nama mereka yang khas Jawa Timur.
Saya pikir kedua orang tua saya seenaknya sendiri asal ikut-ikutan dalam memberikan nama pada ketiga anaknya. Padahal nama ibu saya masih bersinambung dengan nama kakek saya yang bernama “Sarminto”. Sedang nama bapak saya masih ada titik temu kejawaannya dengan nenek saya yang bernama ‘Ngatini’. Tetapi kenapa saya yang diberikan nama Muhaimin Iskandar yang jelas tidak ada kesinambungannya dengan nama Juminten dan Mujiono. Ternyata apa yang saya alami atas kepunyaan nama Arab tersebut, juga banyak dipakai oleh teman-teman sebaya waktu itu (era 70-an sampai 80-an).
Lalu apa sebenarnya yang terjadi di balik pemberian nama Muhaimin Iskandar (sosio-historis dan kultural)?
Di tahun 1970, 1980, sampai 1990-an demam panggilan nama bermerek Arab di Desa saya telah terjadi. Di tahun-tahun tersebut diiringi dengan pertumbuhan pesat Islamisasi (santrinisasi) dan pertanda mulai memudarnya Jawanisme. Disamping Arabisasi, faktor modernisasi juga terlibat meminggirkan nama-nama yang ber-merk lokal Jawa Timur.
Tanda-tanda kemenangan islamisasi yang dipelopori kaum sarungan (baca santri) terlihat pada momen-momen penting di desaku yang bisa aku catat:
“Di dusun Tanjungan, desa Balung Lor, asal dusun ayah saya dibesarkan sebelum tahun 1970-an masih di dominasi oleh kaum abangan (berafliasi pada PNI dan PKI, bahasa sehari-hari campur sari dari bahasa jawa mataraman dan using banyuwangi). Setiap pemilihan kepala desa dari tahun 11920 sampai 1966 selalu dimenangkan oleh kelompok abangan. kaum santri beberapa kali (berafiliasi dg partai Masyumi sampai partai NU) mencalonkan diri tak pernah berhasil jadi pemenang. Bisa dikatakan sebelum tahun 1970-an kaum santri di tingkat desa tidak berposisi sebagai penguasa pemerintahan desa. Namun sejak 1990-an nama-nama kepala desa dengan merek arab mulai bermunculan. Konon setelah penumpasan serentak nyawa orang-orang komunis Indonesia, banyak orang abangan ketakutan dan menyembunyikan identitasnya dengan rame-rame meniru cara sosio-kultural kaum santri”
Situasi politik nasional pasca Gestapu (1966) merubah drastis politik kultural dimana-mana. Banyak orang abangan yang sebelumnya banyak menjadi penguasa di birokrasi pemerintahan disingkirkan dan tak diberi tempat lagi oleh kelompok militer. Namun pula kaum santri juga tak di beri tempat dalam birokrasi. Biasanya kaum santri menjadi patner utama dalam kebijakan yang menyangkut soal pertanian. Jadi bukan berarti kekalahan kaum abangan dijalur birokrasi menjadi kemenangan kaum santri. Karena jalur birokrasi masih dikuasai oleh orang militer. ‘
Kaum abangan terus terdesak sampai di jalur kultural dan kepercayaan. Stigmatisasi sebagai orang yang berbau komunis terus dikumandangkan oleh berbagai pihak. Sehingga gerakannya dalam mengekspresikan identitasnya benar-benar terancam. Mau tidak mau pilihan satu-satunya mengekpresikan diri didalam ruang batin (gerakan kebatinan) .Mereka hanya bisa beralibi jika praktek ritualnya diketahui publik, bahwa apa yang dilakukannya sekedar untuk menjaga dan menghormati tradisi nenek moyongnya.