oleh Saiful Asyhad, S.H.
Perempuan umumnya diidentikkan dengan konco wingking. Akibatnya, mereka sama pula dengan orang yang hanya menjadi makmum bagi suaminya. Walhasil, mereka pun jadi pasif dan nyaris tidak mengambil peran di dalam kehidupan bangsanya.
Pandangan seperti itu sedikit demi sedikit tumbang oleh kenyataan dalam keseharian. Betapa banyak sekarang ini perempuan yang beriringan dengan kaum pria dalam berkarir. Bahkan, kaum hawa itu kini menjadi tulang punggung keluarga karena tuntutan pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh kaum wanita.
Lebih jauh lagi, perempuan yang putri-putri kiai pun kini berjuang bersama-sama dengan ayahandanya dalam menghidupi pesantrennya. Sudah bukan hal yang langka dalam realita sosial, ning-ning itu berjibaku dalam berbisnis dengan nawaitu khusus untuk sangu ibadah. Lebih spesifiknya ya menghidupi keberlangsungan pesantrennya. Maka, di mana-mana sudah banyak kita temui toko-toko busana muslim dengan nama-nama islami. Misalnya: Rizquna, Rizqua, Rahmatuka, dan sebagainya.
Nah, yang lebih mencengangkan adalah hafizah menjadi penggerak roda ekonominya. Perempuan yang sudah hafal Al-Qur'an 30 juz itu juga menceburkan dirinya dalam kancah pemberdayaan pondok pesantrennya. Meski mereka harus menghafal minimal 3 juz setiap hari, tapi setiap hari pula mereka tetap menyempatkan diri untuk mengatur toko-tokonya. Paling tidak, seminggu sekali, mereka mengecek secara langsung kondisi riil tokonya yang biasanya dijalankan langsung oleh mbak-mbak dan kang-kang ndalem. Santri-santri putri dan putra yang menjadi kepercayaannya itulah ujung tombak toko Bu Nyai.
Aktivitas perdagangan mereka pun unik. Misalnya, naik turunnya harga barang-barang hanya ditentukan tiap awal bulan Rajab. Jadi, hanya setahun sekali mereka mematok harga tiap barang dagangannya.
Kemudian, zakat tijarah atau perdagangan mereka hitung sebelum Hari Raya Idul Fitri. Zakat itu mereka salurkan sendiri kepada fakir miskin di sekitar toko mereka. Juga untuk anak yatim piatu yang tak mampu, dan lembaga-lembaga sosial lainnya. Dengan demikian, masyarakat di sekitar mereka merasa dipedulikan.
Sementara itu, keuntungan hasil usaha sisanya disumbangkan seluruhnya untuk kepentingan pesantren. Misalnya, intensif bulanan untuk ustadz dan ustadzah, biaya hidup mbak-mbak dan kang-kang ndalem, pembangunan gedung baru untuk menampung santri-santri baru yang terus bertambah tiap tahun, dan lain-lain. Jadi, segala aktivitas ekonomi yang Bu Nyai lakukan itu benar-benar untuk sangu ibadah kepada Allah Swt.
Bagi para Bu Nyai sebagai pendamping para kiai, hidup itu harus terus dilandasi dengan niat ibadah kepada-Nya. Hal yang paling membahagiakan bagi pendamping kiai yang juga hafizah itu adalah keberhasilan santri-santri putrinya dalam mendirikan dan mengembangkan dunia pesantren tahfiz di daerah masing-masing di seluruh Indonesia. Makin banyak pondok tahfiz yang disemaisuburkan oleh alumninya, makin besar pula rasa bahagia di dalam hati Bu Nyai.
Bagaimana dengan anak-anaknya? Mereka yang dari bayi diasuh langsung oleh Bu Nyai dibantu mbak-mbak dan kang-kang ndalem. Jika sudah balita, anak-anak mereka itu pun biasanya memilih mbak atau kang ndalem yang paling dicocoki untuk diajak bersama-sama seharian penuh oleh buah hati kiai dan Bu Nyai itu. Dengan begitu, aktivitas dakwah kiai dan Bu Nyai tidak terkuras habis untuk keluarga intinya.
Dari uraian di atas, kita tahu betapa peran kiai dan utamanya perempuan pendampingnya yang hafizah dalam menarbiyah para santri putra dan putri di pesantren. Alumni yang mereka hasilkan itulah yang nantinya menjadi penyebar dan pengembang Islam di dalam masyarakatnya ketika sudah boyong ke rumah. Berkat tangan dingin Bu Nyai yang hafizah, lahirlah hafizah-hafizah yang terus mengumandangkan Al-Qur'an di seluruh pelosok negeri Indonesia. Merekalah yang menjadi pilar-pilar kokohnya moral bangsa karena mereka juga menarbiyah masyarakat sebagaimana para kiai dan Bu Nyai. Mulut-mulut mereka terus memunajatkan doa untuk keselamatan bangsa dan negara., tidak hanya umat Islam. Kedua belah tangan mereka juga terus menengadah ke atas demi makbulnya doa yang senantiasa mereka panjatkan setiap hari.
Bagi masyarakat Indonesia, Bu Nyai yang hafizah itu merupakan penyelamat hati mereka dengan selalu ingat kepada Allah Swt. Juga penyejuk kalbu mereka dengan siraman rohani dalam acara Semaan Al-Qur'an yang rutin diadakan tiap selapanan. Mereka pun tak akan lupa atas jasa-jasa Bu Nyai yang hafizah yang telah mencerahkan diri mereka dalam menatap kehidupan duniawi dan akhirat. Sungguh, itu suatu jasa yang amat sangat besar dalam menciptakan Indonesia yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur. Mereka telah menyumbangkan secara nyata baktinya demi wujudnya Indonesia sebagai negeri yang madani. Dan akhirnya, tercapailah cita-cita pendiri negeri ini, yaitu Indonesia yang adil dan makmur.
Tulisan ini saya persembahkan secara khusus untuk Almarhumah Hj. Addiniyah Khodijah Idris, pendiri Pondok Pesantren Putri fit Tahfizhi wal Qiraat (P3TQ) Lirboyo, Kota Kediri, yang pada awal Januari 2023 nanti diperingati 100 hari wafat beliau.