Mohon tunggu...
Saifoel Hakim
Saifoel Hakim Mohon Tunggu... Freelancer

Orang biasa yang hidup biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Cryptocurrency

Menukar Mata dengan Kripto: Ironi Tekno dan Kemiskinan

14 Mei 2025   13:29 Diperbarui: 14 Mei 2025   13:29 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cryptocurrency. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Pagi itu saya mendapati antrean mengular di depan sebuah ruko kecil di Rawalumbu, Bekasi. Bukan antrean sembako atau vaksin gratis, tapi antrean untuk scan retina. Di ujung antrean, ada bola logam mengilap bernama Orb, alat yang konon bisa "melihat" identitas kita lewat mata, bagian tubuh yang paling pribadi.

Yang antre? Kebanyakan wajah-wajah yang akrab di mata saya: pengemudi ojol, ibu-ibu rumah tangga yang biasanya ribut soal minyak goreng, pemuda pengangguran, bahkan beberapa bapak berpeci habis jamaah. Saya ke sana karena diajak tetangga yang antusias menceritakan soal imbalan uang tunai yang bisa didapat dengan "cuma" menyerahkan retina. Modal tatapan, cuan datang.

Saya nggak ikut antre. Cukup duduk di motor dan memperhatikan kerumunan sambil ngopi sachet. Saya sudah baca beberapa berita soal Worldcoin, tapi melihatnya langsung tetap bikin hati nyesek. Ini bukan adegan film fiksi ilmiah. Ini kenyataan yang tengah berlangsung di kota-kota sekitar Jakarta.

Bayaran untuk scan mata itu? Sekitar Rp265 ribu. Buat sebagian orang, mungkin itu cuma harga makan malam di kafe hipster. Tapi buat sebagian lainnya, itu setara dengan isi dapur satu minggu, bayar token listrik, atau ongkos anak sekolah. Syaratnya? Tatap bola logam itu. Biarkan ia mengambil peta paling intim dari tubuh kita: retina mata.

Worldcoin dan Janji yang Terdengar Mewah

Worldcoin adalah proyek dari Sam Altman, bosnya OpenAI. Misi mereka terdengar seperti dongeng digital: menciptakan identitas global berbasis iris, agar siapa pun---termasuk yang tak punya KTP atau rekening bank---bisa ikut andil dalam ekonomi digital masa depan.

Alatnya---si Orb itu---dipasang di berbagai negara. Imbalan dari scan retina adalah Worldcoin, semacam aset kripto yang nilainya bisa dicairkan lewat dompet digital. Di Indonesia, praktiknya cukup sederhana: scan retina, verifikasi, lalu saldo muncul di akun. Bahkan bisa dicairkan ke rupiah.

Tapi tunggu, apa semua orang paham benar dengan apa yang sedang mereka tukarkan? Apakah mereka tahu bahwa data retina adalah data biometrik yang tak bisa diperbarui seperti password? Atau mereka cuma tahu satu hal: ada uang, yuk ikutan.

Ketika Realitas Ekonomi Lebih Nyaring dari Risiko Digital

Yang bikin miris bukan teknologinya, tapi siapa yang berdiri di barisan antrean itu. Orang-orang yang sehari-hari berjibaku dengan cuaca, jalan rusak, dan harga bahan pokok. Bukan mereka yang paham apa itu blockchain, kriptografi, atau sistem desentralisasi. Mereka datang bukan karena tertarik pada proyek digital global, tapi karena butuh uang. Sesederhana itu.

Dan di titik inilah saya merasa ada yang keliru. Proyek yang katanya inklusif ini justru seperti menjebak. Mereka yang paling tidak tahu, jadi yang paling mudah dirayu. Teknologi canggih digunakan untuk "menggoda" yang rentan. Mereka tidak tertarik pada janji utopis masa depan digital, mereka hanya ingin bertahan hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cryptocurrency Selengkapnya
Lihat Cryptocurrency Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun