Mohon tunggu...
Saidna Zulfiqar
Saidna Zulfiqar Mohon Tunggu... -

Simple, Easy going, dll

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Be A Positive Thinker

8 Februari 2016   03:50 Diperbarui: 8 Februari 2016   05:03 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saidna Zulfiqar bin Tahir. Apakah anda takut terhadap setan/hantu? Pernahkah anda bertemu dengan hantu? Lucunya adalah; kita belum pernah bertemu dengan hantu tapi takut dengannya. Hal itu disebabkan karena kita masih bingung dalam membedakan antara pikiran dan perasaan. Kadang kita melakukan sesuatu berdasarkan perasaan namun menganggapnya sebagai hasil fikiran, ataupun kadang kita berfikir tentang sesuatu, namun dalam merealisasikannya lebih dominan menggunakan perasaan.

Sebenarnya pikiran tidak berbeda dengan perasaan. Perbedaannya hanya terletak pada prinsip kerjanya. Kalau perasaan menggunakan prinsip kerja berdasarkan kesenangan maka pikiran menggunakan prinsip kerja kelogisan/benar-salah. Apa yang dipikirkan itu tidak berhubungan dengan enak-tidak enak, nikmat-tidak nikmat, atau senang-tidak senang, tetapi berbicara tentang benar-salah, baik-buruk. Sehingga secara alamiah, berpikir akan mengarahkan individu untuk melakukan respon berdasar kebenaran. Lantas bagaimana dengan orang yang lebih memilih satu hal yang salah meski ia tahu itu adalah salah. Seperti ketika orang mencuri, melacur, membunuh dan menganiaya, sebenarnya ia tahu bahwa itu adalah perbuatan yang salah tapi mengapa tetap dipilih sebagai respon. Penyebabnya adalah karena ada interupsi dari perasaan. Orang tersebut tidak memilih kebenaran tapi kesenangan. Dengan melakukan perbuatan yang salah mereka merasakan kesenangan atau kepuasan, serta baik dan buruk.

Perbuatan baik dan buruk itu berbeda tipis bagaikan pisang goreng yang ditaburi coklat dan keju. Ada orang yang memandang baik jika pisang itu digoreng saja, ada pula yang memandang baik jika dijadikan pisang lumpur, adapula orang yang terlalu cepat menjudge bahwa pisang lumpur itu adalah suatu kesalahan produk (ini belum masuk pada bab benar-salah, bro) dan Ada pula yang tidak menyukai pisang sama sekali sebagai sesuatu yang baik maupun buruk. Misalnya pada masalah poligami, perceraian (thalaq) atau makan sambil ngangkang (yang kesemua itu belum dijudge sebagai perbuatan benar atau salah karena masih ada pembolehan). Boleh jadi hal itu adalah baik bagi si pelaku, tapi tidak baik menurut pandangan orang lain dan sebaliknya. Semua itu menunjukkan kesan bahwa sesuatu yang disebut baik atau buruk sangat realtif sekali, karena bergantung pada pandangan dan penilaian masing-masing orang dalam merumuskannya, dan sepertinya kebaikan dan keburukan itu terkesan anthropocentris karena bertolak dari sesuatu yang menyenangkan, menguntungkan dan membahagiakan manusia. Dengan demikian, nilai baik atau buruk menurut pemahaman tersebut bersifat subyektif, karena bergantung kepada individu yang menilaianya. Namun sangat confused, jika sesuatu yang baik dan buruk itu dibawa ke ranah benar dan salah, karena bisa jadi penilaian seseorang terhadap baik dan buruk itu telah menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam bab benar-salah tanpa disadarinya.

Penentuan Benar dan Salah kadang membuat kita tergolong orang yang benar atau salah atau benar-benar salah atau benar-benar disalahkan. Hal ini disebabkan karena perbedaan pandang terhadap kebenaran itu sendiri. Indera dengan keterbatasannya dijadikan asas penentu benar dan salah (subjektivitas correspondencism) sehingga sulit membedakan mana data, fakta atau realita dan kebenaran. Koherensi dan konsistensi juga merupakan tolak ukur yang kurang tepat atas perubahan dunia serta isi dan manusianya yang serba satria baja hitam. Sedangkan manfaat dan kegunaan (pragmatis) sesuatu dan seseorang itu juga masih terbatas pada keinginan dan kebutuhan untuk dijadikan sebagai standar kebenaran. Alhasil, tidak ada kebenaran mutlak di bumi ini, sehingga manusia berlomba memeluk agama sebagai sumber kebenaran hakiki yang bersumber dari Tuhan dengan segala standar-Nya tentang benar-salah, baik-buruk, dan indah-jelek yang kadang pula dicampuradukkan untuk membenarkan atau menyalahkan. Padahal progresif Tuhanlah sebagai pemberi standar dan penilai atau juri dari segala juri telah dirampok dan diberi label baru oleh manusia. Namun Tuhan maha pemaaf untuk selalu memberikan porsi yang besar bagi para pencari kebenaran meski sering salah dan disalahkan.

Cara pandang sesuatu bisa dari sisi positif, bisa juga dari sisi negative, atau yang sering kita dengar dan kenal dengan “negative and positive thinking”. Yang patut digaris bawahi di atas bahwa secara alamiah, berpikir akan mengarahkan individu untuk melakukan respon berdasarkan kebenaran atau kebaikan. Jika ungkapan ini benar-benar digarisbawahi, maka tidak ada yang namanya “negative thinking”, karena kodrat manusia adalah berfikir untuk melakukan respon berdasarkan kebenaran. Dengan kata lain, “negative thinking” adalah hasil pemikiran yang tercemari oleh perasaan enak atau tidak enak, senang atau tidak senang, dan baik atau buruk.

Haruskah kita berusaha membangun positif thinking? kayaknya tidak perlu dibangun, karena semua telah menjadi kordrat penemu kebenaran, kecuali jika alur fikirannya telah jauh keluar dari rel-rel kebenaran, ataupun telah lama (positif thinking-nya) terbuai pulas bersama mimpi-mimpi indah. Sehingga simplisitas untuk be a positive thinker adalah konsisten dengan ajaran-ajaran agama, itulah yang dinamakan positif thinking.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun